Masjidil Haram

Masjidil Haram

Minggu, 09 November 2008

Proses Lahirnya Syahadat dalam Al-Alaq

1. Loyalitas dan pengingkaran (al-wala’ wal bara’)

Termasuk tuntutan kalimat syahadat adalah membebaskan manusia dari loyalitas kepada selain Allah, seperti loyalitas kepada thaghut, kaum musyrikin, kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum sekuler, kaum munafik, serta penganut ajaran-ajaran atau isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam.

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنْيْنَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقَاةً (آل عمران : 28)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir manjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memlihara diri dari sesuatu yang ditakuti mereka.” (QS Ali Imran : 28; 149; al-Maidah :80-81; al-Mujadalah : 22; an-Nahl : 30).
Tujuannya agar manusia memurnikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, serta bersikap bara’ (lepas diri) dari selain mereka. Hatinya terpenuhi oleh perasaan ini, hanya mendukung penganut kebenaran dan iman, bergembira dengan kemenangan mereka, mendoakan kebaikan bagi mereka, bersedih dengan musibah yang mereka hadapi, di pertarungan apapun yang terjadi antara al-haqq dan al-bathil.

Karena itu diantara tanda orang mukmin adalah gembira terhadap kemenangan dien Muhammad shalla-llahu 'alaihi wa sallam dan bersedih karena kemundurannya. Sedangkan di antara tanda-tanda munafik ialah gembira terhadap kekalahan dien Islam dan bergembira karena kemenangannya.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فيِ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ وَمِنْهُمْ : رَجُلاَنِ تَحَابَّا فيِ اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ (رواه مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya hari dimana tak ada naungan kecuali naungan-Nya, (diantara mereka) adalah : dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah dengan mana mereka berkumpul dan berpisah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dari sini terlihat bahwa orang-orang munafiq tidak mampu mengendalikan dirinya ketika melihat kehancuran menimpa orang-orang mukmin. Ia riang gembira dan berusaha menampakkan kegembiraan hatinya. Sebab, loyalitas telah diperuntukkan bagi selain mukmin. Sedangkan hatinya dipenuhi dengan kedengkian dan kemunafikan. Ia mengungkapkan perasaan-perasaan ini dengan cara-caranya yang khas. Apabila ia seorang politikus, ia ungkapkan dengan terang-terangan atau terselubung. Jika ia seorang jurnalis, ia ungkapkan dengan pemberitaan yang menjengkelkan. Jika ia berada diantara sesamanya, teranglah apa yang ditutup-tutupi.

Maka, wajib seorang muslim mencintai muslim lainnya yang beratuhid, mengharapkan kemenangan untuknya, mendoakan kebaikan baginya, saling berbagi rasa dengannya, dan memberikan pembelaan untuknya. Ini harus disadari bahwa semua perkara tadi merupakan ajaran dien yang dengannya Allah disembah. Juga merupakan hak sudara muslimnya tanpa harus melihat hasil pertempuran, apakah menang atau kalah. Karena, bimbang dalam memberikan wala’ (loyalitas) itu merupakan tanda kemunafikan. Jika melihat kemenangan milik orang-orang mukmin, mereka bantu dan dukung. Namun, jika melihat orang-orang kafir menang, mereka akan menolong mereka.

الَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللهِ قَالُوْا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (النساء : 141)

“(Yaitu) orang-orang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan), mereka balik berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” (QS An-Nisa’ : 141).

Demikianlah orang munafik bersikap mendua dan menipu, bahkan Dasamuka (berwajah sepuluh). Kadang kala ia juga mengucapkan perkataan yang bisa memuaskan kedua pihak, supaya sama-sama tetap dapat bergabung dengan pihak mana pun yang kelak menang.

Jika kita melihat apa yang menimpa umat Islam, khususnya pada masa kelemahan dan penyiksaan mereka, kita akan melihat kepala-kepala munafik muncul. Mereka menampakkan taring-taringnya, lalu memberikan dukungan dan bantuan kepada orang-orang musyrik dan sekuler. Mereka kerahkan segala yang Allah berikan untuk menolong orang-orang musyrik. Kebalikan dari sikap para Nabi, sebagaimana yang diucapkan Musa ‘alaihis salam.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِلْمُجْرِمِيْنَ (القصص : 77)

“Ya Rabb-ku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (QS al-Qashash : 17).

Fakta ini menunjukkan bahwa mayoritas orang yang mengaku Islam belum merealisasikan tauhid dengan benar. Dalam jiwa mereka belum menancap bara’ kepada orang-orang musyrik dan sekuler. Bahkan, mereka cenderung atau sudah tampak jelas membantu musyrik untuk menyerang muslim. Inilah bentuk nifaq i’tiqadi (kemunafikan dalam akidah) yang bisa mengeluarkan mereka dari agama Allah.

Mereka bangga dengan tingginya kalimat sekuler. Berkebalikan dengan janji Musa ‘alaihis salam, mereka justru berkata, “Wahai Rabb-ku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku pasti akan menggunakannya untuk membantu mereka (kaum musyrikin) dalam menghancurkan orang-orang mukmin”. Na’dzu billah.

Sesungguhnya wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan) adalah perkara fundamental. Ilmuwan berkata, “Tidak terdapat dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang lebih banyak setelah ayat-ayat tentang uluhiyah melebihi ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan wala’ dan bara’. (Hakadza ‘Allamal Anbiya Laa Ilaaha Illallah, karya Syekh Salman bin Fahd al-‘Audah).
Wallahu ‘alam bish-shawab.

2.
Pembatal-pembatal syahadat (nawaqidhu asy-syahadah)

Kata nawaqidh adalah bentuk jamak dari asal kata naqidh, artinya “yang merusak”. Maka kata nawaqidh syahadah berarti yang merusak dan membatalkan makna syahadat, dimana meyakini, mengucapkan dan mengamalkan makna syahadat tidak secara otomatis membuat ia disebut muslim, serta bebas dari semua yang menyalahi Islam.

Sehingga apabila salah satu dari hal-hal yang membatalkan syahadat itu ada pada diri seseorang, maka ia tidak dapat disebut muslim dan tidak diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan muslim, melainkan diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan kepada orang-orang kafir atau musyrik. Ini bila pembatal syahadat itu terdapat dalam dirinya sejak awal.

Tetapi ia disebut murtad bila melakukan salah satu pembatal syahadat setelah masuk Islam. Sekalipun ia telah meyakini kebenarannya dengan hatinya, mengucapakan dengan lisannya dan melaksanakannya dengan raganya.

Pertama, ketidaktahuan (jahl) akan makna syahadat. Dengan demikian, mengucapkan syahadat tanpa mengetahui maknanya sama sekali tidak bermanfaat baginya.

Kedua, keraguan (syakk) akan sebagian atau seluruh makna syahadat. Karena dengan begitu ia sebenarnya menganggap kebolehan dan ketidakbolehannya sama saja. Bahkan andaikan pun ia menganggap salah satu atas yang lain, hal itu tetap membutuhkan keyakinan.

Ketiga, mempersatukan (syirk) Allah dengan sesuatu selain Dia.

إِنَّنِيْ بَرَآءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ . إِلاَّ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ . وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فيِ عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (الزخرف : 26-28)

"Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS az-Zukhruf : 26-28).

Dan ini menuntut adanya pengetahuan tentang syirik dan batasan-batasannya, agar kita dapat menghindari syirik dan para pelakunya.

Keempat, kedustaan dalam akidah (nifaq), yakni menampakkan iman dan menyembunyiakn kekufuran.

يَقُوْلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسِ فيِ قُلُوْبِهِمْ (الفتح : 11)

“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS al-Fath : 11).

Lawan dari nifaq adalah mengetahui makna syahadat tauhid, menerimanya dengan hatinya, melaksanakan semua kewajiban yang menjadi konsekensinya, sedang hatinya jujur dengan apa yang diucapkan oleh lisannya.

Kelima, membenci terhadap syahadat dengan segala maknanya, memusuhi orang-orang yang meyakini kebenarannya dan para penyerunya, serta berusaha menjauhkan manusia darinya dengan jalan menyeru kepada hal-hal yang bertentangan dengan kalimat itu, serta mendukung dan mencintai para penyeru tersebut dan menjadikan mereka sebagai sekutu selain Allah.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ (البقرة : 165)

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS al-Baqarah : 165; at-Taubah : 21).

Keenam, meninggalkan makna dan lafazh syahadat serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah menjadi konsekuensinya, baik secara umum maupun parsial, dimana ia tidak melaksanakan rukun Islam dan perbuatan Islami; sekalipun ia mengkalim bahwa ia memahami, meyakini dan mencintai maknanya, serta memusuhi semua yang menyalahinya serta para pelakunya.

Ketujuh, menolak makna dan lafazh syahadat serta keyakinan akan kebenarannya. Karena kaum musyrikin Arab sebenarnya mengetahui makna syahadat, tetapi menolaknya dan tidak menyukainya.

إِنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَتَارِكُوْا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُوْنٍ (الصافّات : 36)

“Apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaaha illallah’ (tiada tuhan selain Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila’.” (QS ash-Shaffat : 36). (Lihat: al-Madkhalu li Dirasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘alaa Madzhabi Ahlissunnah wal Jama’ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al Buraikan).

3. Syarat diterimanya syahadat (syuruthu qabuuli asy-syahadah)

Syarat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka yang disyaratkan itu tidak sempurna dan tidak terwujud. Jadi, syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka sya-hadat dianggap tidak sah; yang pertamakali diucapkan Allah, malaikat dan ahli ilmu penegak keadilan. Orang yang tak memiliki ilmu tentang ayat-ayat Allah, takkan bisa bersyahadat.

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُو الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ

Syarat sahnya syahadat itu ada tujuh:

Pertama, mengetahui (al-‘ilmu) makna syahadat dengan dua dimensinya, penafian (laa) dan penetapan (illaa). Yaitu bahwa ia harus mengetahui dimensi penafian dalam muatan kalimat syahadat, yang dalam hal ini adalah penafian semua sembahan selain Allah; dan dimensi penetapan, yang dalam hal ini penetapan hak uluhiyah hanya bagi Allah semata.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (محمد : 19)
“Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS Muhammad : 19). Lawan dari pengetahuan ini adalah ketidaktahuan (al-jahl) akan makna syahadat.

Kedua, keyakinan (al-yaqin), yakni tahu secara sempurna akan makna syahadat tanpa keraguan sedikit pun. Jadi, imannya tak mengandung sesuatu yang bertentangan dengannya dalam hati.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فىِ سَبِيْلِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ (الحجرات : 15)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al-Hujurat : 15). Lawan keyakinan adalah keraguan (asy-syakk).

Ketiga, keikhlasan. Kata ini diambil dari kata susu murni (al-laban al-khalish), yang tidak lagi dicampuri kotoran yang merusak kemurnian & kejernihannya. Ikhlas berarti membersih-kan hati dari segala yang kontradiktif dengan makna syahadat.

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ (البيّنة : 5)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali hanya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah : 5).

Keikhlasan adalah lawan syirik (asy-syirk). Keikhlasan laksana tak menerima lamaran lain, dan syirik adalah perselingkuhan.

Keempat, kejujuran (ash-shidq), yaitu bahwa lahirnya tidak menyalahi batinnya. Keduanya harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara ilmu dan amalnya, antara doa dan usahanya, antara apa yang ada dalam hati dengan yang ada dalam raga. Maka tidak ada sesuatu yang dikerjakan oleh raga yang menyalahi apa yang diyakini oleh hati.

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْآ إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (الأنعام : 82)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya.” (QS al-An’am : 82).

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً (الأحزاب : 23)

“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak berubah (janjinya).” (QS al-Ahzab : 23).

Rasulullah Saw juga bersabda :
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه البخاري عن معاذ بن جبل رضي الله عنه)
“Siapa yang mengucapkan : Tiada tuhan selain Allah dengan jujur dalam hatinya, maka ia masuk surga.” (HR al-Bukhari dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu).

Lawan kejujuran adalah an-nifaq, yaitu menampakkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam batinnya, atau bahwa ia menyimpan kekufuran dalam hatinya tetapi menampakkan iman dalam lisan dan raganya.

Kelima, cinta (al-mahabbah), yakni mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan segala apa yang dari keduanya berupa ilmu dan amal, serta mencintai orang-orang yang beriman.

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا ِللهِ (البقرة : 165)

“Dan orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah.” (QS al-Baqarah : 165).

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ (المائدة : 54)

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS al-Maidah : 54).

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنيِ يُحْبِبْكُمُ اللهُ (آل عمران : 3)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS Ali Imran : 3).

Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ : أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ ... (رواه البخاري ومسلم عن أنس بن مالك رضي الله عنه)

“Ada tiga hal yang bila terdapat dalam diri seseorang, niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu selain keduanya, dan bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya semata karena Allah, ……” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Cinta itu disamping rela berkorban untuk yang dicintai, ia adalah amanah. Yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam Selain itu murka terhadap para pelaku atau pembawa ajaran dengan segala ilmu dan amal yang mereka bawa.

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فىِ اللهِ وَالْبُغْضُ فىِ اللهِ (رواه الطبراني عن ابن عبّاس وعكرمة رضي الله عنهم)

“Ikatan iman yang terkuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” (HR ath-Thabrani dari Ikrimah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum)

Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam juga menyebut bagian ketiga dari syarat mendapatkan manisnya iman dalam hadits terdahulu.

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فيِ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكَرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فيِ النَّارِ - الحديث
“Dan bahwa ia membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya daripadanya, sama seperti ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Lawan dari cinta adalah benci (al-karahah) terhadap semua kata dan orang yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya serta Islam.

Keenam, ketundukan (al-inqiyad), yaitu tunduk dan menyerah-kan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dengan mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya. Lawannya adalah penolakan atau ketidakmauan (al-imtina’).

إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَتَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ (فصّلت : 30)
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat : 30; an-Nuur : 63; al-Ahzab : 36).

Ketujuh, penerimaan (al-qabul), yakni kerendahan, ketundukan dan penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya akan melahirkan ketaatan dan ibadah kepada Allah, dengan jalan meyakini bahwa tidak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran Islam.
Lawan dari penerimaan adalah pembangkangan dan penolakan (ar-radd), yaitu berpaling dan membangkang dari ajaran-ajaran Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam dengan hatinya, sehingga ia tidak ridha dan tak menerima ajaran-ajaran tersebut.

Perbedaan antara ketundukan (al-inqiyad) dan penerimaan (al-qabul) adalah bahwa ketundukan itu pekerjaan fisik, sedang penerimaan itu adalah pekerjaan hati.

4. Mendalami makna syahadat (fiqh asy-syahadah)

Syahadat adalah landasan ke-Islam-an seseorang. Ibarat sebuah bangunan rumah, syahadat adalah pondasi. Rumah yang tidak memiliki pondasi yang kuat, sekalipun genting-gentingnya bagus, maka rumah itu akan mudah roboh oleh teriknya panas, guyuran air hujan dan terpaan badai. Sesungguhnya selemah-lemah rumah adalah sarang laba-laba. Syahadat laksana hishnun matin (benteng yang kokoh) atau al-‘urwah al-wutsqa (tali yang kuat).

Orang yang bersyahadat dengan benar dan menghayati segala konsekuensi yang terkandung di dalam kalimat pendek itu (kalimah thayyibah), ia akan teguh dalam menghadapi fluktuasi kehidupan.

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ (العنكبوت : 41)

Perumpamaan orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya selemah-lemah rumah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (kebenaran, syahadat).” (QS Al-Ankabut : 41).

َمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا (البقرة : 256)

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah), maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS al-Baqarah : 256).

Diatas pondasi yang kuat ini akan tegak pula sistem kehidupan Islami. Sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer dan juga sistem akhlak. Kehidupan yang tidak berlandaskan akidah ibarat membangun istana pasir. Membangun di atas permukaan balon.

Jika kembali pada aurat al-‘Alaq, maka syahadat adalah sebuah keputusan final. Keputusan ini bukan diperoleh karena tekanan eksternal dirinya, tetapi lahir dari motivasi dirinya sendiri (motivati intristik), lewat iqra’. Iqra’ adalah melihat, menimbang, menerawang, berfikir (ijtihad), merenung, melatih diri dengan latihan ruhani (mujahadah), dan mengorbankan apa yang dimilikinya untuk pencarian itu (jihad), membanding (muqaranah), mengukur, tentang diri, Rabb, dan alam raya. Akhirnya sampailah di ujung perjalanan. Itulah dia, syahadat kebenaran. Itulah keyakinan secara total (al-yaqinu kulluhu). Itulah gelora keimanan.

إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ (الزخرف : 86)

"akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS az-Zukhruf : 86).

Tidak mengherankan jika aspek terpenting dalam kehidupan, pendidikan misalnya, tanpa landasan kebenaran terasa hampa. Dalam kehidupan yang lebih luas menjadi kering. Masyarkat sipil berwatak militer, manusia modern berkarakter primitif. Manusia yang secara fisik sehat, tetapi batinnya kesakitan. Hidup dalam kesepian di tengah keramaian.

Kehidupan sekarang memerlukan injeksi yang membangunkan hati (yaqzhah), gelora jiwa (thumuhat), dan menggerakkan cita rasa. Tokoh Islam, Mohammad Iqbal, mengomentari kondisi pendidikan sekarang, “Pengajaran dan pendidikan modern tak mengajarkan air mata pada mata, dan tidak mengajarkan kekhusyu’an pada hati nurani”.

Mentransformasikan kebenaran iman merupakan langkah mendasar untuk menyelamatkan kehidupan. Iman adalah bekal untuk menggapai keridhaan dan pengakuan Allah. Iman adalah jembatan menuju akhirat. Kita tidak akan mampu menuju surga yang dipenuhi oleh hal-hal yang dibenci (huffat bil makarih) tanpa iman. Sebagaimana kita takkan berdaya menghindarkan diri dari api neraka yang diselimuti dengan sesuatu yang menggiurkan tanpa kekuatan iman.

Hanya iman yang bisa melahirkan perikemanusiaan manusia. Imanlah yang memfungsikan tujuan dihadirkannya manusia di dunia, yaitu menyembah Allah dan membuatnya mencintai ibadah, hingga mengabdi menjadi sesuatu yang menyenangkan. Iman yang mengantarkan kita untuk mendekati Allah dengan melaksanakan kewajiban dan sunnah. Bertolak dari sini akan menimbulkan cinta timbal balik antara makhluk dan al-Khaliq. Allah menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul. Jika ia memanggil-Nya dengan seruan, Dia menyambutnya, dan jika ia meminta-Nya, Dia mengabulkannya.

Iman adalah bekal untuk menggapai kebahagiaan di dunia. Iman yang bisa menemani harta, tahta, wanita, segala aspek kehidupan menjadi bermakna. Dunia tanpa disinari oleh cahaya iman akan membuat pemburunya kecewa. Betapa banyak sesuatu yang pesonanya menggiurkan, lalu mereka membanting tulang untuk meraihnya dengan suatu harapan bahwa disana terdapat kebahagiaan yang diidamkannya, namun setelah ditemuinya hanya berupa fatamorgana. Dikira air oleh orang yang kering kerongkongannya, karena kehausan, tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Yang diburu hanyalah bayangan semu (QS an-Nuur : 39).

Hanya Allah yang memberikan manusia ketenangan batin. Dan ketentraman jiwa hanya diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya yang beriman.

الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ (الرعد : 28)

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allah. Bukankah dengan meningat Allah hati menjadi tenang.” (QS ar-Ra’du : 28).

Kadang-kadang dengan uang dan harta orang memperoleh kelezatan duniawi (mata’). Bisa memenuhi apa saja yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi, kebahagiaan sejati (ni’mat) tidak dijajakan di mall dan super market, tidak pula dapat dibeli dengan uang, atau diperoleh dengan pengaruh dan jabatan. Sebab kebahagiaan, ketenangan itu muncul dari dalam jiwa. Bukan suatu wujud barang yang dapat diambil di tempat tertentu. Kebahagiaan sejati adalah seperti yang dirasakan oleh Ibrahim bin Adham pada penghujung tahajjud-nya.

نَحْنُ فيِ لَذَّةٍ لَوْ عَرَفَهَا الْمُلُوْكُ لَقَاتَلُوْنَا عَلَيْهَا حَسَدًا

"Kami hidup bahagia, sekiranya para raja itu mengetahui kebahagiaan ini, pastilah mereka menguliti kami karena dengki"

Dengan kemajuan IPTEK, manusia bisa hidup dalam dunia yang serba otomatis. Hanya dengan menekan tombol, manusia di ujung timur bisa saling kontak dengan manusia di ujung barat, besi keras menjadi lunak, benda yang bergerak menjadi diam. Tetapi ilmu pengetahuan tidak mampu menjamin kebahagiaan. Sekalipun ilmu menjanjikan sarana material kehidupan, tetapi tidak memandu bagi tujuan dan tugas hidup itu sendiri. Untuk apa ia harus hadir di muka bumi ini? Ilmu dan teknologi hanya menghasilkan apa yang disebut wasilatul hayat (sarana kehidupan), sedangkan iman melahirkan minhajul hayat (pedoman kehidupan).

Tujuan dan tugas kehidupan adalah wilayah garapan iman. Iman yang menumbuhkan pada diri manusia rindu kepada kebenaran dan kesucian, serta membenci kefasikan. Iman yang mendorong jasmani menuju ke tingkat rohani yang lebih tinggi di sisi Allah. Iman yang memberi kekuatan pemuda untuk membentengi diri dari gejolak nafsu biologis, sebagaimana kekuatan iman Yusuf ‘alaihis salam dalam menghindari godaan para wanita selebritis, sehingga lebih memilih penjara daripada takluk melawan gejolak dirinya.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُوْنَنِيْ إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّيْ كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ (يوسف : 33)

“Ya Tuhanku, penjara lebih aku senangi daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS Yusuf : 33).

Iman yang mendidik manusia memiliki sikap berkorban, seperti pengorbanan Ismail ‘alaihis salam untuk siap melepas nyawanya demi perintah Tuhan (QS ash-Shaffat : 102). Iman merobah sikap individualis, egois menjadi jiwa patriotisme dalam sejarah klasik dan modren (QS Thaha : 112; az-Zilzalah : 7; an-Nisa’ : 40). Fenomena isytisyhad (bom syahid) yang dilakukan para pemuda di belahan bumi yang lain belakangan ini, membuktikan bahwa ajaran klasik iman masih relevan untuk memberikan pelajaran nyata dan pukulan telak kepada simbol dikatator internasional (malikun jabbar).

Iman yang bisa melahirkan akhlak terpuji. Kehilangan akhlak akan meruntuhkan diri sendiri, kata Ali bin Abi Thalib. Bangsa yang tidak bermoral laksana bangunan tanpa pondasi. Kata sastra Arab, “Bila moral bangsa itu terkena musibah, maka adakanlah upacara ta’ziyah”. Sebab morallah nyawa mereka, jika ia tiada maka wujud mereka pun tiada.

َإِنَّمَا اْلأُمَمُ اْلأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ * وَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

"Suatu ummat hanya berdiri tegak, selama akhlaknya bermutu tinggi. Ia akan runtuh, apabila akhlaknya menghilang."

Selama pembuat kebijakan berusaha menerapkan aturan kehidupan hanya dengan undang-undang dan surat-surat keputusan, tapi lupa bahwa manusia itu hanya bisa dikendalikan realitas yang ada pada dirinya bukan dari pengaruh eksternal maka surat-surat keputusan itu tidak bermanfaat. Egoisme, hawa nafsu, tetap mengungguli kebaikan. Kejahatan jadi tak terkendali. Seorang pakar hukum Inggris mengatakan, “Tanpa undang-undang masyarakat tidak stabil, tanpa moral undang-undang tidak berlaku, dan tanpa iman moral tidak berjalan”.

Iman yang berhasil membangun kekuatan jiwa untuk mengha-dapi problem yang selalu dicemaskan oleh kebanyakan manu-sia. Musibah, kesempitan rezeki, jodoh dan ajal. Mukmin yakin bahwa semua itu berada dalam genggaman Allah, tanpa diku-rangi dan ditambah. Seandainya seluruh manusia bekerjasama untuk mendatangkan manfaat dan kecelakaan pada seseorang, mereka tidak akan mampu mewujudkannya sedikitpun kecuali yang telah dituliskan-Nya.

Iman yang memperkuat tali kekeluargaan lalu menyatukannya dalam naungan persaudaraan cinta kasih. Jika belakangan ini timbul konflik yang bermuara pada perbedaan ras, warna kulit, bahasa, etnis, daerah, strata sosial, keturunan, kekayaan, maka iman menyingkirkan perbedaan itu. Kemudian menjadikan ikatan iman menjadi ikatan yang mendarah daging. Sehingga mukmin mencintai saudaranya seiman melebihi kecintaan kepada sudara kandung, bahkan anak kandungnya sendiri (QS Hud : 46; al-Hujurat : 10). Dalam naungan ukhuwah iman, akan lenyap pertentangan, kecemburuan sosial, kedengkian dan penyakit hati lainnya.

Iman tak hanya menjaga kesucian jiwa dari dengki (ukhuwah paling rendah), melainkan memberi muatan hati dengan cinta kasih yang diserap dari sifat suci cinta kasih Allah (mahabbatullah). Yaitu cinta yang ditanam dalam hati orang yang loyal kepada-Nya. Cinta itu menerbangkan pemiliknya yang membumi menuju realitas yang Maha Tinggi. Dicerminkan dalam komunitas yang tidak ditemukan dalam masyarakat manapun yaitu sikap mengutamakan orang lain lebih dari dirinya (itsaar). Sekalipun dirinya dalam kondisi kekurangan. Ia rela menjadikan dirinya sebagai sasaran senjata musuh untuk memagari saudaranya seiman (QS al-Hasyr : 9).

5. Berhukum dengan ilmu-Nya

Allah memperkenalkan sifat-Nya yang terakhir adalah al-‘Alim (Maha Pandai). Kata ‘ilm dari segi bahasa berarti kejelasan. Segala yang terbentuk dari akar kata ‘ilm mempunyai ciri yang menonjol ‘kejelasan’. Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat). Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.

Allah tidak dinamakam a’rif tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lamu (Dia mengetahui). Biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu – untuk Allah – dalam hal-hal yang diketahui-Nya. Berikut ini adalah diantara
obyek-obyek pengetahuan yang disandarkan kepada Allah dalam al-Qur’an.

يَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ (البقرة : 77, 235, 284)
“Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan.” (QS al-Baqarah : 77, 235, 284).

يَعْلَمُ مَا فيِ اْلأَرْحَامِ (النجم : 19)
“Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim.” (QS an-Najm : 19).

مَا تَحْمِلُ كَلُّ أُنْثَى (الرعد : 9)
“Allah mengetahui apa yang di kandung oleh setiap wanita.” (QS ar-Ra’d : 9).

مَا فيِ أَنْفُسِكُمْ (آل عمران : 29)
“Allah mengetahui apa yang ada dalam dirimu.” (QS Ali Imran : 29).

مَا فيِ السَّمَاوَاتِ وَمَا فيِ اْلأَرْضِ (الحجّ : 70)
“Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS al-Hajj : 70).

خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ (المؤمن : 19)
Allah mengetahui kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada.” (QS al-Mu’min : 19)

يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى (الأعلى : 7)
“Yang mengetahui yang lahir dan tersembunyi.” (QS al-A’laa : 7).

Sedangkan manusia dikeluarkan dari perut ibunya tidak mengetahui apa-apa. Kemudian Allah membuat instrumen yang bisa digunakan untuk meraih pengetahuan.

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ (النحل : 78)

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (QS an-Nahl : 78).

إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى اْلأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَآءَكُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (النجم : 23)
“Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan saja dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sedangkan petunjuk telah datang dari Tuhan mereka.” (QS an-Najm : 23).

Tiada sikap yang patut bagi makhluk yang bodoh terhadap Tuhan Yang Maha ‘Alim, kecuali berhukum dengan aturan-Nya (ber-tahkim). Sikap Tuhan kepada makhluk dinamakan Tauhid Rububiyah. Sedangkan sikap hamba kepada Allah dengan (ibadah, menyembah), mengagungkan (ta’zhim), dan tunduk kepada hukum-Nya (tahkim) disebut dengan Tauhid Uluhiyah. Inilah makna syahadat (persaksian). Tiada Tuhan yang disembah, diagungkan, dipatuhi hukumnya kecuali Allah.

Syahadat pada surat pertama ini secara eksplisit tidak terlihat, akan tetapi dimunculkan dengan menggerakkan pendengaran, penglihatan dan hati. Kelahiran syahadat ini tidak dipaksakan, tetapi lewat perintah iqra’. Syahadat adalah pintu pertama memasuki Islam. Syahadat bentuk kedekatan tingkat tinggi kepada Allah (ihsan).

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم)

“Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu (muraqabatullah).” (HR Muslim).

6. Mengagungkan Allah (ta’zhim)

Berikutnya Allah memperkenalkan diri dengan sifat fi’li-Nya yang Maha Mulia (al-akram), berbentuk superlatif (bentuk mubalaghah, penyangatan). Allah memiliki segala sifat kesempurnaan, sedangkan manusia makhluk, tempatnya salah dan lupa (mahallul khatha’ wan nis-yan), karena manusia tebuat dari segumpal darah (min ‘alaq). Dari bahan dasar ini manusia memiliki banyak kelemahan. Dalam diri manusia dipenuhi dengan lubang kotoran. Kotoran lubang mata, kotoran telinga, kotoran hidung, kotoran, lubang muka (qubul), kotoran lubang belakang (dubur), dll. Jika topeng yang menutupi kita, terbuka alangkah hinanya fisik kita, tidak ada harganya, ora ana ajine (Bhs. Jawa).

Kata al-akram biasa diterjemahkan dengan “Yang Maha Pemurah” atau “Semulia-mulia”. Jika kembali ke akar kata “karama” yang menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti : memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat kebangsawanan.

Ada perbedaan dalam perintah “membaca” pada ayat pertama dan perintah yang sama pada ayat ketiga. Ayat pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala pengertiannya), yaitu membaca demi Allah. Sedang ayat satunya menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan dan pengulangannya. Dengan bacaan yang ikhlas, Allah akan menganugrahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman dan beragam wawasan, sekalipun obyek bacaannya itu-itu saja.

Sedangkan manusia ‘min ‘alaq’ (dari segumpal darah), hina, menjijikkan. Maka tidak ada sikap lain kepada al-Akram melainkan at-ta’zhim, mengagungkan dan memuliakan-Nya.

7. Menyerahkan diri (taslim)

Kemudian Allah memperkenalkan perbuatan-Nya yang kedua yaitu al-Khaliq (Pencipta). Semua makhluk tidak bisa menolak fenomena penciptaan ini (zhahiratul khilqah). Ubun-ubun kita berada dalam genggaman-Nya (nashiyati bi-yadihi). Ada sebuah sastra Arab yang melukiskan orang tua yang ingin kembali kepada masa muda, tetapi itu hanya sebuah angan-angan (mustahil terjadi).

أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابُ يَعُوْدُ يَوْمًا * سَأُخْبِرُهُ بِمَا فَعَلَ الْمُشِيْبُ

"Duhai, sekiranya masa muda itu terulang hari ini, aku akan mengabarkan apa yang dilakukan oleh orang yang telah beruban dan pikun". Dalam terminologi Bahasa Arab kata laita memiliki makna lit-tamanni (angan-angan, mustahil). Sedangkan kata la’alla mengandung arti lit-tarajji (harapan, realistis).

اللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدَ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ (الروم : 54)
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS ar-Rum : 54).

Jadi masa kecil yang masih lemah, masa muda yang kuat, dan kembali lemah pada masa tua, meninggal, adalah pergiliran dan perguliran siklus kehidupan yang harus kita jalani. Sedikitpun kita tidak bisa menolak rencana besar Allah tersebut. Sekalipun mulut kita menolak. Jadi secara phisik kita ini tunduk pada ketentuan Allah (aslam).

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ (البقرة : 28)

Bagaimana kamu mengingkai kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah : 28).

Secara fisik, fenomena penciptaan Allah berjalan secara teratur tanpa ada yang bisa menghalanginya. Dari ayat diatas, manusia akan melewati lima fase kehidupan. Pertama, di alam ruh. Kedua, di alam dunia. Ketiga, di alam barzakh. Keempat, di alam kiamat. Kelima, di alam akhirat. Sesungguhnya kita milik Allah dan kita akan kembali kepada Allah. Jadi kehidupan kita sekarang ini belum final.

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا (الكهف : 47)

“Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS al-Kahfi : 47)

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى (طه : 55)

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS Thaha : 55).

وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا (نوح : 14)

“Yang menciptakan kamu secara periodik.” (QS Nuuh :14)

Seorang ahli sastra Arab mengatakan bahwa dunia ini bukan masa akhir.

إِذَا حَمَلْتَ إِلىَ الْقُبُوْرِ جَنَازَةً فَاعْلَمْ بِأَنَّكَ مَحْمُوْلٌ
وَإِذَا وَلَّيْتَ أُمُوْرَ قَوْمٍ فَاعْلَمْ بِأَنَّكَ مَعْزُوْلٌ
Jika engkau membawa jenazah ke kuburan, ingatlah (suatu saat) engkau akan digotong. Dan jika engkau diserahi urusan kaum, ingatlah (suatu saat) engkau akan di ma’zulkan.

أَفَغَيْرَ دِيْنِ اللهِ يَبْغُوْنَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فيِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا (آل عمران : 83)

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa.” (QS Ali Imran : 83).

Alam dan seisinya tunduk kepada aturan Allah (sunnatullah). Alangkah sombongnya jika kita makhluk kecil di bagian alam ini menolak aturan-Nya? Sikap yang benar bagi makhluk yang lemah adalah pasrah (taslim) kepada Dzat Yang Mengatur dan Mengendalikan alam ini.

8. Sebagai abdi (‘ibadah)

Jika men-tadabburi kandungan surat al-‘Alaq : 1-5, sungguh kita akan memperoleh pelajaran yang fundamental. Kajian akidah yang diajarkan oleh para Rasul setiap masa. Dengan kajian ini tidak saja membangun dasa-dasar ilmu pengetahuan (the bacic of knowledge), pula membangun dasar-dasar kepribadian (the basic of knowing).

Intisari studi (dirasah) surah al-‘Alaq : 1-5 adalah penempatan posisi Rabb dan kedudukan al-insan secara proporsional. Allah adalah sebagai subyek (pencipta, Maha Mulia, Maha Pandai) dan manusia sebagai obyek. Awal sebuah kerusakan (chaos) terjadi di dunia ini ketika manusia tidak bersedia menerima dirinya sebagai obyek, bahkan memposisikan dirinya sebagai subyek. Makhluk memposisikan diri seperti al-Khaliq. Hina tetapi merasa diri mulia, masih memerlukan pujian dan sanjungan. Hanya memiliki ilmu sedikit (wa ma utitum minal ‘ilmi ila qalilan), dipinjami kekuasaan, menolak aturan Tuhan Yang Maha Mengetahui (al-‘Alim) dan Maha Mulia (al-Akram).
Ketika manusia (al-insan) lupa diri (nis-yan), maka tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan, ketika itu ia meng-cover diri (kafir, menutup diri) dari perkembangan sekitarnya. Sehingga ia lemah dalam merespon setiap perubahan, perkembangan yang terjadi (dhu’ful istijabah lil mutaghayyirat). Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir (menutupi fitrahnya sendiri).

Dinosaurus punah di muka bumi ini karena kelemahnnya dalam merespon perkembangan di luar dirinya. Hewan-hewan lain yang hidup berdampingan dengannya dianggap sebagai ancaman, bukan anugerah. Sikap menutup diri inilah salah satu bentuk thagha’ (sikap melampaui batas).

Puncak kerusakan kepercayaan adalah syirk (selingkuh) dan puncak kerusakan akhlak adalah sombong, thagha’, meminjam istilah Imam al-Ghazali. Syirik identik dengan selingkuh dan sombong adalah sikap menolak kebenaran (batharul haqq) dan meremehkan orang lain (ghamthun naas). Kelemahan apapun yang dimiliki oleh manusia, sifat dasarnya akan menonjol yaitu al-uns (cenderung harmonis), sehingga memudahkan untuk membangun kerjasama (ta’awun) dengan pihak manapun dan terhadap siapapun, kecuali jika dalam dirinya ada sebiji sawi sifat sombong. Tidak akan masuk surga apabila dalam diri manusia terdapat sebiji sawi sifat sombong (al-Hadits).

Jika kita menengok kehidupan masa lalu, nenek moyang kita dahulu juga disibukkan oleh persoalan di luar dirinya, menaklukkan alam, mengusir binatang buas, kehidupan berpindah-pindah (nomaden). Sehingga ketika muncul gejolak dirinya, cenderung menerapkan hukum rimba. Yang menang siap menindas yang kalah, yang kalah bersedia untuk hidup menderita. Demikian pula perkembangan disiplin ilmu yang berkaitan dengan kedirian manusia (ilmu psikologi) terlambat ditemukan, dibandingkan dengan ilmu sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Manusia yang tak tahu diri dan tak tahu Tuhan dikategorikan jahiliyah. Jadi, jahiliyah pada ayat diatas tidak identik dengan buta aksara, buta budaya (ummi). Masyarakat jahiliyah dahulu dikenal pakar sastra, dan pakar pidato murtajal (tanpa teks), dan yang berhasil memperoleh juara, hasil karyanya ditempel di dinding Ka’bah. Jahiliyah artinya tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan.

Di dalam surat pertama Al-Qur’an ini Allah memperkenalkan dirinya dengan perbuatannya yaitu Rabb. Proses pengenalannya tidak dipaksakan, tetapi lewat instrumen yang telah disediakan oleh Allah kepada manusia (pendengaran, penglihatan, hati) agar diaktifkan. Sehingga akan melahirkan kesadaran siapa Rabb itu sesungguhnya.

Secara bahasa Rabb berarti mendidik (at-tarbiyah), merawat memperhatikan, dan mengembangkan menuju kesempurnaan (al-‘inayah war ri’ayah wat tarqiyah). Sifat tersebut bersumber dari induk sifat Tuhan, ar-Rahman ar-Rahim. Allah memiliki 100 % sifat rahmat. Dan satu persen darinya dicurahkan kepada makhluknya diantaranya kepada ibu dan kepada makhluk hidup yang lain. Jika kita ingin mengenal perbuatan Rabb, maka ingatlah kasih sayang orang tua kepada anaknya. Seperti yang sering kita doakan.
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
“Wahai Rabb kami, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kasih sayangilah keduanya sebagaimana keduanya merawatku sejak kecil.”

أَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ (لقمان : 13)
“Hendaklah engkau bersyukur kepada-KU dan kepada orang tuamu.” (QS Luqman : 13).
Bukti kesyukuran kita pada orangtua ialah sikap yang mengun-dang ridhanya. Demikian pula wujud syukur kita pada Allah.

Kesadaran akan kedalaman rububiyyatullah yang ditransfer 1% pada ibu, akan mengantarkan sikap mencari (siapa yang menghadirkan diri di dunia), merindukannya (yarju liqa-a rabbihi) dan siap menjadi abdinya (‘ibadah). Berbuat yang disenanginya, meninggalkan sikap yang dibencinya. Seseorang yang dipelihara sejak kecil, dikarunia kenikmatan, diselamatkan dari berbagai petaka, kemudian tidak bisa berterima kasih, maka manusia seperti ini di sebut manusia yang lalai (ghofil), tidak tahu balas budi. Air susu di balas dengan air tuba. Ditolong malah menjerumuskan (ditulung menthung, bhs Jawa).

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa