Masjidil Haram

Masjidil Haram

Jumat, 07 November 2008

Mengenal Manusia

Makna “al-‘alaq” secara kebahasaan (lughatan)
Pada ayat kedua aurat al-‘Alaq Allah menampakkan perbuatan-Nya “khalaqal insana min ‘alaq” (Dia menciptakan manusia dari segumpal darah). Dari ayat ini menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu al-Khaliq (Pencipta) dan manusia adalah makhluk yang diciptakan dari segumpal darah.
Pengenalan disini tidak hanya tertuju kepada rasio manusia, tetapi juga kepada kesadaran batin dan intuisinya, bahkan seluruh totalitas manusia. Pengenalan dengan mata hati diharapkan membimbing akal dan fikiran sehingga anggota tubuh dapat menghasilkan perbuatan yang baik dan memeliharanya.
Kata “al-insan” yang berarti manusia terambil dari akar kata “uns” (jinak, senang dan harmonis), atau ia terambil dari akar kata “nis-yun” yang berarti lupa. Atau terambil dari akar katanya “naus” yaitu pergerakan atau dinamika. Makna-makna diatas memberikan gambaran tentang potensi yang dimilikinya, lupa, kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika, makhluk yang sewajarnya melahirkan rasa senang, jinak dan harmonis pada pihak-pihak lain.
Berbeda dengan “basyar” yang juga diterjemahkan manusia, tetapi dari aspek fisik (QS al-Kahfi : 110). Tetapi pada ayat berikut mencakup fisik dan psikis.
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فىِ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ (التين : 4)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tiin : 4).
Al-Qur’an mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah, memperkenalkan jatidirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Ayat kedua surat al-‘Alaq menguraikan secara singkat hal tersebut, kemudian diperkuat oleh ayat yang lain berikut.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ . ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فيِ قَرَارٍ مَكِيْنٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (المؤمنون : 12-14)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian saripati itu Kami jadikan nuthfah dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian nuthfah itu Kami jadikan ‘alaqah. Lalu ‘alaqah itu kami jadikan mudhgah (segumpal daging) dan mudhghah itu Kami jadikan tulang. Selanjutnya tulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang berbentuk lain (yakni bukan sekedar fisik, ruh). Mahasucilah Allah, sebaik-baik Pencipta.” (QS al-Mu’minun :12-14).
Ayat diatas menyimpulkan proses kejadian manusia dari segi fisik dalam lima tahap : (1) nuthfah (pertemuan sperma dan ovum), (2) ‘alaqah, (3) mudhghah (segumpal daging), yakni pembentukan organ-organ vital yang dalam surat al-Hajj : 5 dirinci bahwa ada mudhghah mukhollaqah (terbentuk secara sempurna) dan ada pula ghairu mukhallaqah (terbentuk secara tidak sempurna), (4) ‘izham (tulang), (5) lahm (daging).
Kata ‘alaq’ dalam surat al-‘Alaq berarti menempel, melekat, berdempet serta masuk ke dinding rahim. Sekalipun ada yang mengatakan segumpal darah. Tetapi para ahli bahasa Arab menyatakan bahwa sesuatu diberi nama sesuai dengan sifatnya. Seperti hati di beri nama ‘qalb’ karena sifatnya yang berbolak-balik.

Makna “al-‘alaq” secara istilah (ishthilahan)

Ketika spermatozoa laki-laki menyatu dengan ovum (sel telur) perempuan, terbentuklah bahan dasar calon bayi. Sel tunggal ini, yang dalam ilmu biologi dikenal sebagai zygot, akan mulai berkembang dengan sendirinya melalui pembelahan dan akhirnya menjadi ‘sepotong daging’ (mudhghah).
Akan tetapi, zygot itu tidak menjalani masa perkembangannya dalam ruang hampa. Zygot melekat pada rahim bagaikan akar-akar yang tertancap dengan kokoh di tanah dengan sulur-sulur mereka. Melalui ikatan ini, zygot bisa memperoleh bahan-bahan dari tubuh ibunya yang amat penting bagi pertumbuhannya. Yang menarik, dalam Al-Qur’an, Allah selalu menyebut zygot yang berkembang di rahim sang ibu sebagai ‘alaq.

أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى . أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنىَ . ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى . فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنْثَى (القيامة : 36-39)

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan tidak terurus? Bukankah dia dahulu hanya setitik mani yang dipancarkan? Kemudian, mani itu menjadi ‘alaqah, lalu (Allah) menciptakannya dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS al-Qiyamah : 36-39).
Makna Arab untuk kata ‘alaqah adalah ‘sesuatu yang melekat di suatu tempat’. Kata ini secara harfiah dipakai untuk mengungkapkan lintah yang melekat di tubuh untuk mengisap darah. Tentu saja inilah kata terbaik yang memungkinkan untuk memaparkan keadaan zygot yang melekat di dinding rahim dan menyerap makanannya dari situ.
Al-Qur’an mengungkap lebih banyak lagi mengenai zygot. Dengan secara sempurna melekat di dinding rahim, zygot itu mulai tumbuh. Sementara itu, rahim si ibu terisi dengan suatu cairan yang disebut cairan amnion yang mengitari zygot. Corak terpenting cairan amnion (tempat pertumbuhan bayi) adalah melindungi bayi dari pukulan-pukulan yang berasal dari luar. Fakta ini terungkap dalam Al-Qur’an.

أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَآءٍ مَهِيْنٍ . فَجَعَلْنَاهُ فيِ قَرَارٍ مَكِيْنٍ (المرسلات : 20-21)

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari cairan yang hina, kamudian Kami tempatkan dia di tempat yang kokoh terlindung (rahim).” (QS al-Mursalat : 20-21; al-Mu’minun : 12-14; al-Infithar : 6-8).
Informasi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berasal dari satu sumber yang mengetahui pembentukan ini hingga serinci-rincinya. Omong kosong sajalah yang mengatakan mengenai kelahiran manusia secara kebetulan.

Kesan yang dimunculkan

Kesan ayat “khalaqal insana min ‘alaq” tidak hanya berbicara tentang reproduksi manusia tetapi menekankan tentang sifat bawaan manusia sebagai makhluk sosial, seperti dikemukakan sebelum ini bahwa diantara arti ‘alaq adalah “ketergantungan”. Sehingga dapat dipahami bahwa manusia itu makhluk yang telah diciptakan Allah dengan memiliki sifat ketergantungan kepada pihak-pihak lain sampai akhir perjalanan hidupnya. Al insanu makhlukun madaniyyun (keberadaan manusia karena keterikatan dengan orang lain), kata sosilolog muslim Ibnu Khaldun. Bahkan agama adalah hubungan interaksi yang baik (ad-diinu al-mua’amalah). Disamping itu, makhluk sosial tidak dapat hidup dalam bentuk apapun kecuali menggantungkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kata ‘alaq diartikan sebagai salah satu periode kejadian manusia, mengantarkannya kepada kesadaran tentang asal-usulnya. Sedangkan kesan dari kata itu menimbulkan kesadaran tentang ketergantungan kepada banyak pihak yang pada akhirnya memandu manusia menyadari keterikatan dengan lingkungannya, dunianya, bahkan menyadari kebesaran dan kekuasaan Allah Yang Maha Pencipta (al-Khaliq).
Ini pula yang membuka pintu pikiran (wijhah) dan mata batinnya (bashirah), orientasi (ittijah), pola pikir (tashawwur) manusia menuju pengenalan diri, lingkungan dan Sang Khaliq. Pengenalan (ma’rifat) tersebut merupakan jenis pengetahuan yang paling mendasar. Al-Qur’an memberikan pesan penting ini.

وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ (الحشر : 19)

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Tuhan, maka Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS al-Hasyr : 19).
Manusia yang lalai adalah manusia yang tidak mengingat asal kejadiannya, dan tidak menyadari siapa yang menghadirkannya di dunia ini. Ketika seseorang berjalan menelusuri padang sahara, kemudian tersesat, tiba-tiba datang seorang pemandu; maka yang pertama kali dia beri ucapan terima kasih adalah pemandu itu. Itulah Allah dan utusan-utusan-Nya.

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa