Ditulis oleh Admin | |
Minggu, 06 April 2008 | |
Perintah membaca dengan beragam maknanya pada ayat pertama surat al-‘Alaq diteruskan dengan “bismi rabbik” yang bermakna ‘dengan nama Tuhanmu’. Bi disini ada yang mengatakan hanya sekedar sisipan, ada yang berpendapat mengandung arti mulabasah (penyertaan), berarti “bacalah disertai dengan Nama Tuhanmu!” Bismi rabbik adalah satu ungkapan. Sudah menjadi kebiasaan orang Arab sejak zaman dahulu hingga kini mengaitkan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan. Ini dimaksudkan untuk memberikan kesan (atsar) yang baik atau katakanlah memberikan “berkat” (tambahan kebaikan material dan immaterial) untuk pekerjaan itu. Juga untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata demi ‘dia’ yang disebut namanya itu. Kebiasaan orang-orang Arab, ketua parlemen membuka sidang-sidang resmi dengan mengucapkan “bismillah wa bismi asy-sya’b” (atas nama Allah dan atas nama rakyat). Demikian pula anak lahir diberi nama tokoh tertentu, agar anak kelak memiliki harapan dan mencontoh sifat-sifat terpuji dari tokoh itu. Mengaitkan pekerjaan dengan nama Allah mengantarkan pelakunya ikhlas karena-Nya. Agar amalnya menghasilkan keabadian. Tanpa ketulusan semua amal akan punah. وَقَدِمْنَآ إِلىَ مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَنْثُوْرًا (الفرقان : 23) “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (tanpa keimanan dan keikhlasan) itu, lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS al-Furqan : 23). كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فيِ اْلأَرْضِ (الرعد : 17) “Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” (QS ar-Ra’du : 17). Menyertakan pekerjaan dengan nama Allah akan berbekas sepanjang zaman. Sebagaimana manusia yang dididik oleh Rasulullah dengan nama Allah, metode Allah, dan karena Allah melahirkan proses pertumbuhan yang menjengkalkan hati orang-orang kafir. “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka : kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS al-Fath : 29). |
Demikian pula, apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan aktifitas, maka hendaklah hal tersebut didasarkan pada bismi rabbika. Ayat tersebut akhirnya berarti “Jadikanlah seluruh kehidupanmu (duduk, berdiri dan berbaring), wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, demi Allah”.
Dengan sifat Tuhan yang berbentuk perbuatan (fi’li), seperti ‘rabb’, maka perintah membaca disini dengan nama Tuhan yang bersifat mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki makhluk-Nya, memberikan jejak secara otomatis untuk diikuti. Dan, Rabb yang menciptakan (al-Khaliq), mendidik, merawat, mengembangkan, meningkatkan, memperbaiki makhluk-Nya, wajar jika Dia yang berhak memilikinya (al-Malik). Fenomena rububiyyatullah, khalqiyyatullah dan mulkiyyatullah adalah kenyataan yang tidak bisa dihalangi oleh siapa pun.
Membangun tradisi ilmiah (iijadu al-bi’ah al-‘ilmiyyah)
Islam membentuk sikap mental ilmiah dengan berbagai cara.
1. Mencela taklid
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Marilah mengikuti (apa yang diturunkan) Allah dan (marilah mengikuti) Rasul. Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan (apakah mereka akan mengikuti juga nenek-moyang mereka) walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS al-Maidah : 104).
2. Menolak persangkaan
“Dan mereka tidak mengetahui sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS an-Najm : 28).
“Jauhilah persangkaan karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan.” (Muttafaq ‘Alaih)
3. Menolak emosi, hawa nafsu, dan pertimbangan pribadi, menetapkan prinsip netral dan obyektif
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS al-Qashash : 50).
4. Memberikan perhatian kepada pengamatan, berpikir, dan perenungan
أَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فيِ مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللهُ مِنْ شَيْءٍ (الأعراف : 185)
وَفيَ أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ (الذاريات : 21)
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُوْا فيِ اْلأَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ (آل عمران : 137)
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّك الَّذِيْ خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1-5)
6. Menganjurkan untuk mempelajari berbagai bahasa
Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dan proyek perencanaan ekonomi dan pertaniannya yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan dalil dan bukti yang sangat jelas tentang hal ini.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم عن عائشة رصي الله عنها)
فَاسْأَلْ بِهَ خَبِيْرًا (الفرقان : 59)
وَلاَ يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيْرٍ (فاطر : 14)
11. Mengizinkan untuk mengambil semua ilmu duniawi yang bermanfaat dari sumber manapun meski dari non-Muslim sekali pun (infitahiyah).
12. Melarang dengan keras dan memarangi khurafat, khayalan, sulap, sihir, dan sejenisnya.
Ilmu dalam perspektif Islam (al-‘ilmu fi miizanil Islam)Dengan definisi ini jelaslah perbedaan ilmu dengan tsaqafah. Tsaqafah adalah pemahaman terhadap berbagai disiplin ilmu secara global (ijmal), sedangkan ilmu adalah pemahaman khusus lagi mendalam terhadap salah satu cabang ilmu dari berbagai jenis ilmu lainnya. Karena itu ilmu merupakan kebutuhan primer bagi manusia seperti kebutuhan makan dan minum, maka Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadapnya; tingkat perhatian yang tidak dijumpai dalam agama sebelumnya maupun dalam sistem buatan manusia manapun, baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Dengan melihat Kitabullah dan Sunah Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam kita akan menemukan contoh dalam teksnya dengan jelas.
Al-Qur’an mensejajarkan antara ikrar dan persaksian orang-orang yang berilmu dengan persaksian Allah dan malaikat.
شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ (آل عمران : 18)
"Allah menyatakan bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian).” (QS Ali Imran : 18).
Orang-orang mukmin yang berpengetahuan lebih utama dan lebih tinggi kedudukannya pada hari kiamat daripada orang-orang mukmin yang tidak berpengetahuan.
“(Niscaya) Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujadalah : 11).
Orang yang berilmu berbeda dengan orang yang tidak berpengetahuan.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الزمر : 9)
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS az-Zumar : 9).
Ketakwaan dan rasa takut kepada Allah yang sebenarnya hanya akan dicapai oleh para ulama’.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS Fathir : 28).
Ahli ilmu adalah orang yang menjadi saksi atas orang-orang yang berbuat durhaka.
قُلْ كَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِنْدَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ (الرعد : 43)
“Katakanlah : Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku (dan kamu dan antara orang) yang mempunyai ilmu al-Kitab.” (QS ar-Ra’du : 43).
Penguasaan terhadap ilmu adalah sumber kekuatan.
قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَآتِيْكَ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ طَرْفُكَ (النمل : 40)
Hakikat dan keagungan akhirat hanya diketahui oleh para ulama’.
وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ (العنكبوت : 43)
Allah menyifati kitab suci-Nya, bahwa Dia menjelaskannya berdasarkan kepada ilmu.
Kisah-kisah yang dipaparkan dalam ayat-ayat al-Qur’an juga bersumber kepada ilmu.
“Maka sesungguhnya akan Kami habarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali jauh (dari mereka).” (QS al-A’raf : 7).
Allah menciptakan manusia dan Dia mengajari mereka pandai berbicara.
“Dia (Allah) telah menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS ar-Rahman : 3-4).
Banyak pula hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu. Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ilmu yang diperintahkan dalam Islam bersifat mutlak. Keutamaan ilmu bertingkat-tingkat sesuai dengan obyek dan bidang bahasannya. Dan ilmu yang paling utama adalah ilmu agama, dengannya manusia dapat mengenal dirinya dan Tuhannya, menyingkap jalan hidupnya, dan mengetahui hak dan kewajibannya.
Asas-asas pengetahuan ada lima yaitu : guru, murid, ilmu, metode, sarana dan prasarana (QS al-‘Alaq : 1-5).
Membaca Pilar membangun Peradaban‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita, “Yang pertama sekali mendahului kedatangan wahyu kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi-mimpi yang benar. Setiap mimpi beliau selalu terbukti (kebenarannya) secara nyata, seterang cahaya di pagi hari. Setelah itu beliau terdorong untuk ber-khalwat di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam dan kembali lagi kepada keluarganya untuk mengambil bekal menyendiri berikutnya. Hingga suatu ketika datang kepada beliau ‘al-Haqq’, Kebenaran Mutlak, yaitu dengan datangnya malaikat yang menyampaikan Iqra’ dan seterusnya.” (HR al-Bukhari).
Mimpi yang benar, menurut Nabi Muhammad shalla-llahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, adalah 1/46 bagian wahyu kenabian. “Secara kebetulan”, waktu enam bulan yang beliau alami sebelum turunnya Iqra’ merupakan 1/46 dari masa kenabian Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam yang berlangsung selama 23 tahun itu.
“Dari mana engkau mendengar suara tersebut?” tanya Waraqah. “Dari atas,” jawab Nabi. Waraqah kemudian berkata, “Yakinlah bahwa suara itu bukan bisikan setan, karena setan tidak akan mampu datang dari arah atas (simbol ketinggian Tuhan), tidak pula dari arah bawah (tempat menundukkan kening untuk bersujud). Suara itu adalah suara dari malaikat.” Hal ini sejalan dengan al-Quran, surat al-A’raf : 17.
Makna ini menunjukkan bahwa iqra’ (bacalah) tidak mengharuskan adanya teks tertulis (malfuzh) yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar orang lain. Jadi iqra’ bisa bermakna membaca teks dan sesuatu yang tidak tertulis (malhuzh).
Dalam kamus-kamus bahasa, ditemukan aneka ragam arti dari kata iqra’, antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya. Kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat menghimpun (informasi).
Perintah membaca disini tidak disebutkan obyeknya. Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya (maf’ul), maka obyek yang dimaksud bersifat umum. Mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.
Oleh karenanya obyek dari perintah membaca (iqra’) disini menjangkau bacaan suci yang bersumber dari Tuhan (ayat tanziliyah) maupun ayat kauniyah. Baik yang tertulis, bisa dilafalkan (malfuzh) maupun yang tidak tertulis (malhuzh). Membaca alam raya, masyarakat, sejarah, diri sendiri, firman Tuhan, majalah, koran, dan lain-lain.
Muhammad Abduh mengatakan bahwa iqra’ bukan perintah yang membebani (amr taklifi) yang membutuhkan obyek, tetapi perintah disini merupakan suruhan untuk aktif (amr takwini). Kun fa yakun (jadilah engkau wahai Muhammad orang yang dapat membaca, maka jadilah ia).
Sejalan dengan pendapat terakhir diatas, Buya Malik Ahmad mengatakan bahwa membaca menghendaki adanya gerakan yang dinamis, produktif dan kreatif. Bukan sebatas mengeja. Agaknya pendapat inilah yang selaras dengan perintah Tuhan pada surat al-‘Alaq.
Membaca dengan beragam artinya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi serta syarat utama membangun peradaban. Ilmu, baik yang diperoleh dengan usaha manusia, ‘ilmu kasbi (acquired knowledge) sesuai dengan perintah membaca pada ayat pertama, maupun ‘ilmu ladunni (abad, perennial), suatu ilmu yang diberikan atas kemurahan Allah ketika hati yang membaca dalam keadaan suci. Tetapi kedua ilmu itu hakikatnya milik Allah.
Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru (New Testament). Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Sementara peradaban Islam yang gemilang dipicu oleh daya kekuatan yang tumbuh dari al-Qur’an, yang berarti bacaan yang sempurna.
Kegiatan membaca ayat al-Qur’an melahirkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga, kegiatan “membaca” alam raya ini menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacaannya sama. Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh generasi terdahulu, dan alam raya yang mereka huni adalah sama, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.
Sungguh, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia, karena ia adalah jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna (yarf’ul insana ila arqaa madarijiha).
Beralasan, bila dikatakan bahwa membaca adalah syarat utama membangun peradaban. Semakin luas pembacaan, makin tinggi peradaban dan sebaliknya. Tidak berlebihan pada suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai ‘makhluk membaca’, suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi yang telah ada seperti ‘makhluk sosial’ atau ‘makhluk berfikir’.
Membaca dalam tinjauan al-Qur’an (al-qira’ah fi dhaw’il Qur’an)
Membaca pada hakikatnya langkah esensial untuk penyaluran fitrah manusia. Sekalipun manusia tidak diperintah untuk membaca, dengan sendirinya memiliki bawaan bisa membaca. Karena sesuatu yang melekat pada diri manusia adalah selalu ingin tahu. Anak kecil saja sering mengajukakan berbagai pertanyaan yang membuat kita terpojok. Pertanyaan itu muncul sebagai wujud respon dari apa yang dilihat, diraba, diamati, dibaca dan yang disaksikan.
Sebelum Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu, terlebih dahulu telah disiapkan sarana-sarana yang mendukung terlaksananya sebuah perintah (amr). Bahkan kaidah ushul fiqh mengatakan :
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ (السجدة : 9)
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) ruh (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS as-Sajdah : 9).
Jadi ayat diatas dapat dipahami bahwa aktifitas mendengar, melihat dan hati adalah kegiatan ruhani. Jika manusia secara fisik berwujud, tetapi ketiga potensi tersebut tidak diaktifkan maka ia bagaikan bangkai yang berjalan. Perhatikanlah seruan ahli sastra Arab berikut ini.
يَا خَادِمَ الْجِسْمِ كَمْ تَسْعَى لِخِدْمَتِهِ * أَتَطْلُبُ الرِّبْحَ مِمَّا فِيْهِ خُسْرَانُ
أَقْبِلْ عَلَى النَّفْسِ فَاسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا * فَأَنْتَ بِالنَّفْسِ لاَ بِالْجِسْمِ إِنْسَانُ
Berikut dipaparkan seruan Allah agar manusia selalu membaca dengan redaksi ra-aa.
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُوْنَ . ءَأَنْتُمْ تَخْلُقُوْنَهُ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (الواقعة : 58-59)
“Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” (QS al-Waqi’ah : 58-59).
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُوْنَ . ءَأَنْتُمْ تَزْرَعُوْنَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ . لَوْ نَشَآءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَ (الواقعة : 63-65)
“Maka terangkanlah kepadaku apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya? Kalau Kami Kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur, maka jadilah kamu heran tercengang.” (QS al-Waqi’ah : 63-65).
أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَ . ءَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوْهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ
أَفَرَأَيْتُمُ الَّذِيْ تُوْرُوْنَ . ءَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِؤُنْ . نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِلْمُقْوِيْنَ (الواقعة : 71-73)
“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya. Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS al-Waqi’ah : 71-73).
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَبُنَيَّ إِنِّيْ أَرَى فيِ الْمَنَامِ أَنِّيْ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (الصافات : 102)
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya-Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS ash-Shaffat :102).
Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazhar, fikr, dabbara, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya.
أَفَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلىَ اْلإِبِلَ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلىَ السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلىَ اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (الغاشية : 17-20)
“Tidakkah mereka melihat kepada onta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan.” (QS al-Ghasyiyah : 17-20).
Perintah membaca ini mencakup dengan akal, emosi dan hati nurani. Perintah yang diawali dengan komunikasi dua arah yang efektif melahirkan sikap ketaatan yang tinggi. Ajakan yang dimulai dengan pendekatan, akan memunculkan militansi. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang bisa memuaskan otak pemikir, mempertajam perasaan para sufi, memperbaiki akhlak yang keras hati, menghidupkan rasa keindahan bagi pecinta seni.
Manusia yang enggan mengaktifkan institusi pendengaran, penglihatan dan hati maka ia laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat. Ibnu Taimiyah mengatakan manusia yang pasif laksana telah mati sebelum meninggal. Karena hatinya tertutup dari hidayah.
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا (محمد : 24)
“Maka apakah mereka tidak men-tadabburi al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS Muhammad :24).
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ (الأعراف : 179)
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf : 179).
Membaca tidak sekedar untuk memadati otak sehingga hanya menjadi pengetahuan (daya tahu) yang bersifat teoritis. Membaca menuntut adanya aksi, iradah (daya mau). Keluasan ilmu pengetahuan tanpa disertai kemauan mengamalkan maka ilmu itu akan menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya (hujjatun ‘alaihi) kelak di depan Mahkamah Ilahi.
Kualitas bacaan berbanding lurus dengan mutu amal. Kebenaran membaca sangat mempengaruhi keabsahan amal. Perbedaan kesimpulan bacaan mempengaruhi perbedaan kesempurnaan amal. Amal yang tak berdasarkan bacaan (taqlid) adalah salah, atau dikatagorikan dengan bid’ah (membuat amal ibadah tanpa contoh sebelumnya). Amal yang benar merujuk pada kelengkapan referensi yang utuh (ittiba’). Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bacalah dan beramallah”.
Dalam ilmu hukum seseorang yang melihat bahaya, kemudian dia tidak bergerak untuk menanggulangi bahaya itu (diam), sekedar sebagai penonton dan tidak segera beraksi maka ia akan menjadi tertuduh. Disini korelasi yang menunjukkan makna iqra’ yang menuntut adanya gerakan (aksi).
“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak sanggup maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup juga maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu).
Nabi shalla-llahu 'alaihi wa sallam memberikan gelar orang Islam yang enjoy dengan melihat kemaksiatan yang tersebar di sekitarnya tanpa upaya merubahnya dengan ‘ayaithanun akhrash’ (syetan yang bisu).
Dalam memberikan standar membaca ini, Imam al-Ghazali membagi manusia menjadi empat kelompok.
وَرَجُلٌ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَهُوَ غَافِلٌ فَاتْرُكْهُ
وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ فَهُوَ جَاهِلٌ فَأَرْشِدْهُ
وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ فَهُوَ جَاهِلٌ مُرَكَّبٌ فَارْفُضْهُ
Dalam kacamata al-Qur’an, jika membaca sesuatu hanya dari kacamata lahiriyah saja, maka seseorang mudah berburuk sangka terhadap Tuhan. Karena pendalamannya terhadap obyek bacaan dangkal. Bukankah kita seringkali tertipu oleh panca indra kita sendiri. Dari kejauhan kita melihat air, setelah didatangi ternyata fatamorgana. Kita mengira bayangan kita tetap, padahal bergerak. Padahal betapa sering kita memperoleh nikmat dengan dibungkus kulit yang pahit. Blessing in disguis (disana ada berkah terselubung).
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (البقرة : 216)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyenangi sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah : 216).
Fenomena ini terjadi antara Nabi Musa dan Nabi Haidhir. Dari rentetan peristiwa kedua Nabi Allah itu terlihat perbedaan yang sangat tajam kualitas bacaan masing-masing. Sehingga melahirkan kualitas amal (sikap) yang bertolak belakang pula.
Keduanya berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang masih dibawah umur, belum patut mendapat hukuman, apalagi hukuman mati. Tetapi anak laki-laki itu dibunuh oleh guru nabi Musa. Tidakkah wajar protes Nabi Musa seperti yang disebutkan dalam cerita itu?
Kejadian yang ketiga tidak kurang ganjilnya. Nabi Musa bersama gurunya itu telah kehabisan bekal, mereka memasuki sebuah negeri lalu mereka mengharapkan mereka bersedia memberikan makan barang sedikit, tapi penduduk negeri itu begitu teganya menolak memberikan jamuan. Lalu kedua orang yang lapar itu kemudian menemukan dinding yang hampir roboh, lalu dinding itu diperbaiki oleh guru Nabi Musa dan ditegakkannya kembali. Lalu apakah aneh kalau timbul gagasan Nabi Musa untuk meminta upahnya dari pemilik dinding itu untuk membeli makanan sekedar penahan lapar ?
Karena peristiwa-peristiwa tadi dibaca Musa hanya dari segi lahiriyah saja, tampak oleh beliau ketidakadilan, jiwa beliau memberontak sehingga tidak bisa lagi menahan kesabarannya, beliau lupa akan perjanjian dengan gurunya itu sebelumnya lalu beliau mengajukan protes keras.
أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف : 79)
“Adapun perahu itu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di lautan itu. Dan aku hendak merusaknya karena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil tiap-tiap perahu tanpa ganti rugi.” (QS al-Kahfi : 79)
Pada ayat ini Nabi Haidhir lebih menonjol kecerdasan rasionalnya. Merusak perahu lebih banyak ia perankan sendiri – dengan redaksi ayat – fa-aradtu an a’iibaha. Kecerdasan intlektual menghasilkan ‘ilmu kasbi (ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, penelitian eksperimen, menggunakan teori ilmiah, dan lain-lain). Ini sejalan dengan perintah iqra’ (bacalah) pada ayat pertama surat al-‘Alaq.
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا . فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمُا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكاَةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (الكهف : 80)
“Adapun anak laki-laki itu, maka kedua orang tuanya adalah orang yang beriman, maka kami khawatir bahwa anak itu akan mendorong kedua orang tuanya itu pada kesesatan dan kekufuran. Maka kami ingin agar Tuhan mereka menggantikan anak itu dengan yang lebih baik kesuciannya dan lebih berbakti.” (QS al-Kahfi : 80).
Pada ayat ini Allah dan Haidhir sama-sama terlibat dalam aktifitas. Dengan menggunakan redaksi ayat fa aradnaa (kami ingin), seolah-olah Haidhir bisa membaca atas kemurahan Allah (al-Akram) berupa ilham, intuisi (feeling).
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فىِ الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِيْ ذَلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (الكهف : 82)
“Adapun dinding itu, maka itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta simpanan bagi keduanya, sedang bapaknya dahulu adalah orang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai kepada kedewasaan mereka dan mengeluarkan harta simpanan mereka itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan tidaklah aku melakukannya menurut kehendakku sendiri. Demikianlah arti perbuatan-perbuatan yang anda tidak mampu bersabar terhadapnya.” (QS al-Kahfi : 82).
Pada ayat ini Haidhir memiliki kecerdasan yang paling tinggi (kecerdasan supra-rasional), dengan redaksi ayat fa araada rabbuka (maka Tuhanmu berkehendak), seakan-akan Haidhir bisa membaca keinginan Tuhan.
Setelah Nabi Musa dijelaskan rahasia di balik kejadian-kejadian yang semula dirasakan tidak adil, bahwa perahu yang dilobangi itu sekedar supaya terlihat rusak sehingga tidak dirampas oleh raja yang lalim, bahwa anak laki-laki yang dibunuh itu seandainya terus hidup sampai dewasa akan menjadi anak yang durhaka yang akan menjerumuskan kedua orang tuanya yang shalih ke dalam kesesatan dan kekufuran, lalu sesudah itu Allah menggantinya dengan anak yang lebih suci dan berbakti, bahwa dinding itu bukanlah milik orang-orang yang tidak bersedia menjamu mereka, tetapi kepunyaan dua anak yatim yang belum dewasa, tidak tahu menahu tentang sikap yang tidak patut dari penduduk negeri itu.
Ya. Setelah dijelaskan semua peristiwa-peristiwa itu bagi Nabi Musa, maka keadaan berbalik menjadi 180 derajat. Kini bukan saja Nabi Musa menganggap kejadian itu seadil-adilnya, tetapi didalamnya mengandung kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana.
Dari rentetan kejadian diatas kita memahami bahwa kualitas pengamatan yang dimiliki Nabi Haidhir berbeda jauh dengan mutu penglihatan Nabi Musa, sehingga melahirkan tindakan yang semula sulit dikompromikan.
Islam mengecam seseorang yang berbuat tanpa kelengkapan informasi (ilmu). Mengatakan tahu padahal tidak tahu; mengatakan melihat, tapi tidak melihat; mengatakan mendengar tetapi tidak mendengar; mengatakan faham tetapi tidak faham; sehingga ia beramal hanya mengikuti dorongan hawa nafsunya. Karena aktifitas sama’, bashar, dan af-idah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.
وَلاَ تّقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً (الإسراء : 36)
“Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’ : 36).
Sistematika Wahyu http://www.hidayatullah.or.id