Masjidil Haram

Masjidil Haram

Selasa, 04 November 2008

Mengenal "Rabb"

Ditulis oleh Admin

Dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menunjukkan bahwa manusia itu ateis (mulhid). Karena keberadaan Tuhan begitu jelas, tidak perlu dibuktikan. Berikut dijelaskan hujjah eksistensi Tuhan.

Fakta sejarah (ad-dalil at-tarikhi)

Dari masa ke masa ditemukan hampir semua ummat manusia mempercayai kekuatan di balik alam ini (Tuhan). Hanya saja ungkapan wujud Tuhan digambarkan sesuai dengan tingkat peradaban manusia. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan) : bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.

Orang-orang Hindu mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Isis, Dewi Osiris, dan yang tertinggi Ra’. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang.

Para ahli filsafat setelah menerawang, berfikir, merenung, membanding, mengukur, menjangka, pendeknya memfilosofi, sampailah ia di ujung perjalanan. Yakinlah ada sesuatu Yang Maha Mutlak, Dialah ‘puncak ideal’ (kata Plato). Dialah ‘Tao’, yang tak dapat diberi nama (kata Lao Tze). Maka insaflah kelemahan dirinya.
Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, “Allah”. Tetapi dalam waktu yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala al-Lata, al-Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Definisi Allah bagi kaum jahiliyah berbeda dengan Allah menurut al-Qur’an.
Al-Qur’an datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Berbicara tentang Allah versi Allah saja terulang sebanyak 2697 kali.

Fakta fitrah (ad-dalil al-fithri)

Jangankan al-Qur’an, Kitab Taurat dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menjelaskan wujud Tuhan. Karena keberadaan-Nya sedemikian jelas dan terasa. Sehingga tidak perlu dijelaskan.

Kehadiran Tuhan merupakan bawaan (fithrah) manusia sejak asal kejadiannya.

َأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الروم : 30)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum : 30).

َإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا (الأعراف : 172)

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau tuhan kami), kami menyaksikan’"(QS Al-A’raf: 172).

Apabila kita berhenti sejenak dari kesibukan hidup, termenung seorang diri, terdengarlah suara dhamir (hati), mengajak kita berdialog untuk mengajak menyatu dengan totalitas wujud Yang Maha Mutlak.
Suara itu mengantar kita betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya. Dan betapa Maha Kuasa dan Perkasa Dia Yang Maha Agung itu. Suara itu adalah suara hati nurani. Setiap orang dengan berbagai kedudukannya memiliki fithrah itu. Fithrah yang terbawa sejak kelahirannya. Sekalipun seringkali – karena kesibukan dan dosa-dosa – ia terabaikan dan tertutup. Suaranya begitu lemah sehingga tak terdengar lagi.
Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka hilanglah semua unsur-unsur ketergantungan lain kecuali kepada Allah. Tiada tempat bergantung, menitipkan harapan, tempat mengabdi kecuali Allah. Tiada daya untuk mendatangkan manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak madharrat, kecuali bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (laa haula wa laa quwwata illa billahi ‘aliyyil ‘azhim).
Kemudian setelah itu tidak ada lagi rasa takut yang menghantui atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam (QS Fushshilat : 30; ar-Ra’d : 28).
Memang ada saat-saat dalam hidup ini – singkat atau panjang – dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya (QS al-Jatsiyah : 24), bahkan menolak kehadiran-Nya. Akan tetapi, keraguan itu akan beralih menjadi kegelisahan, khususnya ketika ia merenung dan tertimpa musibah (QS Yunus : 22). Jadi kebutuhan ber-Tuhan permanen, sementara mengingkari Tuhan bersifat temporal.
Beralasan, jika dikatakan bahwa mereka yang tak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang keras kepala. Ini dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan Namrud (QS al- Baqarah :258). Fir’aun, ketika berhadapan dengan Musa ‘alaihis salam bertanya, “Siapa tuhan semesta alam itu?” (QS asy-Syu’ara’ : 23).
Bukti pernyataan yang lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir’aun sendiri ketika ruhnya akan terlepas dari jasadnya. Al-Qur’an menjelaskan sikap Fir’aun yang ketika itu kembali ke fithrah, tetapi terlambat.

حَتىَّ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الَّذِيْ آمَنَتْ بِهَ بَنُوْ إِسْرَآءِيْلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ آْلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ (يونس : 90-91)

Hingga saat Fir’aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Yunus : 90-91).

Fakta indrawi (ad-dalil al-hissi)

Ada sebagian orang menuntut bukti wujud Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera melihat-Nya secara langsung. Nabi Musa ‘alaihis salam suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban permohonanya.

قَالَ لَنْ تَرَانِيْ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلىَ الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِيْ فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوْسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ (الأعراف : 143)

“Engkau sekali-kali tidak dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang pertama (dari kelompok) yang beriman’.” (QS al-A’raf : 143).
Kejadian itu membuktikan bahwa manusia agung pun tidak mampu melihat-Nya – paling tidak – dalam kehidupan di dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa kita mengakui sesuatu tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya “nyawa” bukan saja tanpa melihatnya bahkan mengetahui eksistensinya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan makhluk tak bisa melihat sesuatu.
Pertama, sesuatu yang dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir pada malam hari tidak mungkin ditemukan seseorang. Namun bukan berarti pasir tidak ada.
Kedua, sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya sinar matahari dibandingkan dengan kemampuan matanya untuk melihat. Tetapi bila malam tiba, dengan mudah ia dapat melihat. Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalm beberap saat saja, bahkan sesaat setelah melihatnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikian wajar jika mata kepalanya Tuhan Pencipta matahari.
Sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, Zi’lib al-Yamani.

قِيْلَ : هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَالَ : وَكَيْفَ أَعْبُدُ مَا لاَ أَرَاهُ؟ قِيْلَ : وَكَيْفَ تَرَاهُ؟ قَالَ : لاَ تَرَاهُ الْعُيُوْنُ بِمُشَاهَدَةِ الْعِيَانِ وَلَكِنْ تُدْرِكُهُ الْقُلُوْبُ بِحَقَائِقِ اْلإِيْمَانِ.

Ditanyakan, “Apakah anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihatnya?” Imam Ali menjawab, “Dia tak dapat dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankan mata kita sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bayangan kita lihat tetap, padahal bergerak. Dari kejauhan kita melihat air, ternyata fatamorgana. Binatang yang besar terlihat kecil dari kejauhan.

Fakta logika (ad-dalil al-‘aqli)

Banyak ayat-ayat yang menjelaskan argumen logika tentang keesaan Tuhan.

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا (الأنبياء : 22)

“Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa.” (QS al-Anbiya : 22).
Seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaannya. Karena jika masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang tidak disetujui olah yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan terwujud. Kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukan Tuhan. Dan apabila keduanya bersepakat, itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu. Fenomena keteraturan, ketetapan, petunjuk, rezeki, kasih sayang, moral, di alam raya ini adalah bukti keesaan Tuhan.

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَآءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الزمر : 29)

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang raja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar : 29).
Ayat ini menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingungnya dia. Majikan yang satu memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau mengintruksikan hal yang berbeda. Begitulah seterusnya, sehingga pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tak diketahui bagaimana menanggulanginya. Bandingkan dengan seorang budak lain yang hanya milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami dan kontradiksi.
Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia ingin hidup bebas. Sesungguhnya keinginan itu disamping mustahil, bertentangan dengan kemanusiaannya, karena berarti tidak ketika itu tidak mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan, ide – dalam arti dia kosong sama sekali dari keyakinan tertentu – dan keadaan demikian mencabut dari hakikat kemanusiaannya. Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia. Orang yang liberal, pasti dalam hidupnya dilandasi oleh keyakinan tertentu atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan tertentu (ide yang ada dalam hatinya). Wajar, jika al-Qur’an pada ayat diatas menggunakan istilah yang mengandung arti rajulan, budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain). (Allah dalam Kehidupan Manusia, karya Murtadha Muthahhari).
Keadaan ruwet yang dilukiskan oleh ayat diatas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah imannya, karena memiliki banyak keyakinan yang kontradiktif. Orang yang semacam ini didominasi sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga ia mengidap penyakit kejiwaan kepribadian terbelah (split personality). Akidah tauhid adalah kebutuhan jiwa manusia untuk memperoleh kepastian hidup.
Berikut rangkaian pertanyaan yang menunjukkan akan kebutuh-an asasi itu : “Siapa yang menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Siapa yang menjamin bahwa sekali waktu api itu tak membakar?”

Fakta tekstual (ad-dalil an-naqli)

Al-Qur’an secara harfiyah bermakna “bacaan sempurna” merupakan nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya atau tidak bisa menulis aksaranya , dan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak melebihi Al-Qur’an.
Tiada bacaan yang memiliki perhatian sedemikian rupa, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya melebihi Al-Qur’an.
Tiada bacaan yang dipelajari sedemikian serius, bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, kandungannya yang tersurat, yang tersirat bahkan sampai kesan yang ditimbulkannya, melebihi Al-Qur’an. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, dari generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tidak kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semuanya mengandung kebenaran. Al-Qur’an adalah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal, diperhalus ucapannya, dimana tempat yang terlarang atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Senandung Al-Qur’an “Kalamun” berikut yang dibaca para ulama’ usai ta’lim atau tadarrus Al-Qur’an secara bersama-sama.

كَلاَمٌ قَدِيْمٌ لاَ يُمَلُّ سَمَاعُهُ تُنَزَّهَ عَنْ قَوْلٍ وَفِعْلٍ وَنِيَّةِ
بِهِ أَشْتَفِيْ مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَنُوْرُهُ دَلِيْلٌ لِقَلْبِيْ عِنْدَ جَهْلِيْ وَحَيْرَتِيْ
فَيَارَبِّ مَتِّعْنِيْ بِسِرِّ حُرُوْفِهِ وَنَوِّرْ بِهِ سَمْعِيْ وَقَلْبِيْ وَمُقْلَتِيْ
وَهَبْ لِيْ بِهِ فَتْحًا وَعِلْمًا وَحِكْمَةً وَأَنِسْ بِهِ يَا رَبِّ فيِ الْقَبْرِ وَحْشَتِيْ

“Suatu firman yang qadim yang tidak ada bosan mendengarnya (yakni Kitab Suci Al-Qur’an). Dia suci (unggul atau tidak mungkin terdiri) dari segala ucapan, perbuatan, dan niat. Dengan Al-Qur’an kami minta kesembuhan dari segala penyakit. Cahayanya merupakan petunjuk bagiku dalam gulita dan gulana hati. Ya Rabbi, berikanlah kepadaku kenikmatan (kegembiraan) karena rahasia (misteri) huruf-hurufnya. Terangilah dengan Al-Qur’an pendengaran, nurani, dan ucapakanku. Anugerahkan kepadaku dengannya keterbukaan hati, ilmu, dan hikmah. Dan, tentramkan rasa takutku di dalam kubur, dengannya, ya Rabbi.”
Adakah bacaan ciptaan makhluk yang seagung itu? Al-Qur’an menantang :

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوْا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا (الإسراء : 88)

“Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Qur’an ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama.” (QS al-Isra’ : 88).

Masihkah kita meragukan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia?

sumber : http://hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa