Masjidil Haram

Masjidil Haram

Rabu, 14 Januari 2009

Jaminan Allah Bagi yang Ber-Quran

Tidak gila

Gila adalah perbuatan yang menyalahi kebiasaan, ukuran, kriteria umum (khariqul ‘adah). Jika merujuk kepada hadits, diterangkan bahwa diantara orang yang tidak dikenai dan bebas dari taklif (beban tugas) menjalankan syariat diantaranya adalah ‘anil jununi hatta ya’qila (orang gila sampai akalnya berfungsi). Orang gila tidak dikenai taklif karena akalnya tidak normal.

Maksud ayat “ma anta bi ni’mati rabbika bi majnun” adalah bahwa dengan nikmat Islam ini maka kamu tidak akan melakukan pekerjaan hina. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah yang menjelaskan kriteria wanita yang harus dijadikan calon istri meliputi hartanya, kecantikannya, keturunannya. Jika semua sifat tidak terkumpul pada satu orang, maka beruntunglah kamu dengan memilih yang beragama, taribat yadaaka (‘agar kedua tanganmu tidak berdebu’). Taribat dari kata turab artinya debu; yadaaka artinya kedua tanganmu (usaha yang kamu lakukan). Jika agama tidak dijadikan alternatif pilihan, kedua tanganmu berdebu (mengerjakan pekerjaan yang hina). Tidak pantas dilakukan oleh makhluk yang berakal. Postur tubuhnya seperti manusia tapi karakternya seperti anjing (kalb), kera (qird) dan himar (keledai).

وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلىَ اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ (الأعراف : 176)

“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya) dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu mengusirnya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga.” (QS al-A’raf : 176).

Jika kata majnun (gila) dikaitkan dengan kata janna pada surat al-An’am : 72, yang artinya menutupi, maka sakit gila menjadikan seseorang dalam dunia ini sia-sia. Karena dia tidak dikenai tugas dan kewajiban (taklif). Oleh karena itu perintah dan larangan tidak akan masuk hatinya, karena instrumen kemanusiaannya tertutup.

Dengan Al-Qur’an hati manusia menjadi lapang, terbuka. Sehingga mudah tersentuh dengan kebenaran. Jika khilaf ia menyesal dan bersegera kembali kepada Allah. Hatinya bersih, terbebas dari berbagai kontaminasi virus hati (amraadhul qalb). Orang Yahudi jarang sekali yang masuk Islam karena hatinya keras (qaswatul qalb). Sekeras-keras batu jika dipecahkan, maka di tengah-tengahnya akan mengeluarkan air.

Memperoleh pahala yang tak terputus

Ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada orang lain, utamanya Al-Qur’an, akan menjadi pembela pemiliknya di akhirat kelak (hujjatun lahu).
Pada suatu hari ada seorang ulama’ mendelegasikan tugas kepada muridnya untuk menghadiri sebuah mu’tamar (komferensi). Tetapi, dalam majlis itu yang hadir hanya seorang. Murid tersebut ragu-ragu apakah acara ini diteruskan. Setelah dikonsultasikan kepada gurunya, dijawab sesungguhnya jika anda bisa menyadarkan seorang yang hadir ini lebih baik daripada satu forum.

Mengajarkan ilmu Al-Qur’an kepada orang lain pahalanya akan abadi. Karena semakin banyak ilmu seseorang semakin kuat dorongannya untuk melaksanakan kebaikan. Maka, Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam berdoa tidak ingin ditambahi kekayaan tetapi mohon kepada Allah agar ditambahi ilmu. Harta yang diifakkan akan habis, sedangkan ilmu yang diajarkan akan bertambah. Lebih-lebih dari murid pertama juga aktif mengajarkannya kepada orang lain. Maka mesin pahala tidak akan berhenti berputar.

Rata-rata umur umat Muhammad antara 60 tahun sampai 70 tahun. Yang menjadikan umur pendek mereka dinilai setara dengan umur umat sebelumnya yang panjang-panjang, karena semangat dalam mengembangkan Islam ini. Sesuai dengan karakteristik Islam itu sendiri yang terus berkembang. Ibarat air akan mencari dataran rendah untuk dialiri. Tinta ulama laksana darah para syuhada. Jangan mencerca orang yang berilmu, karena darahnya akan beracun (menimbulkan bahaya).

فَوَاللهِ َلأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمُرِ النَّعَمِ (رواه البخاري عن سهل بن سعد رضي الله عنه)
“Maka demi Allah, sungguh bila Allah memberikan hidayah kepada seseorang karena (usaha) kamu, itu lebih baik bagi kamu dari pada unta-unta merah (kendaraan kebanggaan orang-orang Arab).” (HR al-Bukhari, dari Sahal bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu).

Orang yang mengamalkan Al-Qur’an dan mengajarkannya dia akan meninggal dalam keadaan syahid. Maksud syahid disini adalah ketika di alam barzakh bumi tidak memakan jasadnya. Makna yang lain, sekali pun secara fisik kematian telah memisahkan kita, tetapi nama baiknya tetap terngiang-ngiang di telinga orang-orang yang ditinggalkan.

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang menciptakan kebiasaan baik dalam Islam, maka ia mendapat pahala sebagaimana orang yang mengerjakannya, tanpa mengurangi jatah pahala mereka sedikitpun.” (HR. Muslim).

Memiliki akhlaq yang agung

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘akhlak’ diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Kata akhlaq adalah jama’, yang bentuk tunggalnya khuluq. Kata khuluqin ‘azhim pada surat al-Qalam dinilai sebagai konsiderans pengangkatan Nabi Muhammad sebagai Rasul. Dialah satu-satu Rasul yang dijuluki dengan asmaul husna (nama-nama Tuhan yang baik) secara dobel, ra-ufun rahiim.

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ (التوبة : 128)

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sengat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min.” (QS at-Taubah : 128).

Yang dimaksud rahim disini sayang kepada orang beriman dan ra-uf disini belas kasih kepada umatnya yang berdosa (asy-syafaqatu ‘alal mudznibin). Oleh karena itu, ketika naza’ (hampir dicabut nyawanya), yang ditanyakan oleh Rasulullah bukan anaknya, tapi “ummati… ummati…” (umatku, umatku).

Budi pekerti yang amat agung. Akhlaq adalah sikap hidup, karakter atau perangai. Awalnya latihan terus menerus (mujahadah) akan kesadaran bahwa yang baik adalah baik dan yang buruk adalah buruk. Lalu terbiasa condong/memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Setelah kebaikan dilakukan secara berkesinambungan (istimrar) menjadi kebiasaannya dan akhirnya kebaikan itu inhern dengan dirinya. Disini kebaikan menjadi sikap hidup. Ada yang berpendapat budi pekerti adalah perpaduan antara sikap lahir dan batin. Budi yang halus (adab) adalah sikap batin, pekerti yang halus adalah sikap hidup.

Bahasa yang halus dikenal dengan budi bahasa. Disini maksudnya budi jadi isi jiwa, makna yang terkandung dalam hati, lalu diucapkan dengan bahasa yang terpilih. Bahasa adalah lambang sebuah peradaban. Ungkapan seseorang menunjukkan isi hatinya.

Keteguhan Nabi, ketenangan serta kesabaran dari tuduhan gila umatnya. Dia tidak kehilangan akal adalah termasuk akhlaq yang agung. Diantara keberhasilan dakwah beliau adalah kemampuan menahan hati menerima celaan semena-mena dari orang yang bodoh (safih).

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ : كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلىَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُحْكِيْ نَبِيًّا مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ : اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لاَ يَعَلْمُوْنَ (متّفق عليه)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata : “Seakan-akan aku lihat kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam ketika beliau menceritakan salah seorang Nabi dari Nabi-nabi yang banyak itu, dia dipukul oleh kaumnya sampai berdarah-darah, disapunya darah yang mengalir di wajahnya itu lalu berdoa, “Ya Allah, ampuni kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak tahu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Akhlaq Rasulullah yang menonjol disini adalah muhsin (tetap berbuat baik kepada yang bersikap jelek kepadanya) (QS Ali Imran : 134), yaitu memaafkan dan mendoakan.

Bahkan beliau bersabda dalam redaksi hadits yang lain, “Maafkanlah orang yang menzhalimimu, berilah orang yang mengharamkan pemberian denganmu, dan sambunglah hubungan terhadap orang yang selama ini memutuskan hubungan denganmu”.

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Sesungguhnya Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Al-Qur’an, baik perintahnya maupun larangannya, telah menjadi sikap hidup dan melekat ke dalam tabiat asli beliau. Perintah Al-Qur’an dikerjakan, larangannya ditinggalkan. Semuanya dihiasi oleh budi pekerti yang agung, malu, dermawan, berani, pemaaf, menahan marah. Pendeknya semua budi yang indah."

Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan sebuah hadits dengan sanadnya dari Urwah bin Zubair, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata, “Tidak sekalipun pernah Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam memukul khadam, dan tidak pernah memukul perempuan, bahkan tidaklah menjadi kesukaannya memukul, kecuali memukul dalam perang fi sabilillah. Dan kalau beliau memilih dua hal, pasti beliau pilih mana yang paling mudah, asal jangan dosa. Dan tidaklah beliau membalas dendam, kecuali kalau aturan Allah dilanggar orang. Kalau aturan Allah dilanggar, saat itulah beliau baru membalas, bukan untuk dirinya melainkan untuk agama Allah”.

Ada sahabat yang mengatakan, ketika pertama kali kita kenal Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam kita takut kepadanya, setelah lama kita bergaul dengannya kita mencintainya.

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ أَخْلاَقًا وَخِيَارُهُمْ لِنِسَآئِهِمْ (رواه الترمذي)

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaqnya. Dan orang terhitung orang baik-baik ialah yang bersikap baik terhadap isterinya.” (HR at-Tirmidzi).

Akhlaq di sini mencakup dimensi yang lebih dalam dan luas. Mengendalikan jiwa, berkata jujur, ihsan dalam berbuat, amanah dalam bermuamalah, berani berpandapat, adil dalam menetapkan hukum, berpegang teguh dengan kebenaran, keinginan (‘azam) yang kuat untuk melakukan kebaikan, menyuruh kepada kebaikan, mencegah kemungkaran, menjaga kebersihan, menghormati peraturan dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa.

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa