Masjidil Haram

Masjidil Haram

Kamis, 27 November 2008

Karakteristik Konsep Allah

Rabbani

Konsep Allah memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan undang-undang lain buatan manusia, yaitu bersifat rabbaniyyah. Lebih tepatnya, rabbaniyyatul mashdar dan rabbaniyyatul ghayah (bersumber dari Allah dan tujuan akhir karena Allah).

Konsep Allah bercelupkan keagamaan, terbungkus oleh kesucian yang tiada taranya dan menanamkan kepada penganutnya rasa cinta dan hormat yang bersumber dari mata air keimanan dengan kesempurnaan, keluhuran dan kemuliaannya, bukan bersumber dari rasa takut terhadap kekuasaan legislatif dengan aparatnya.

Konsep itu bukan produk manusia yang kemampuannya terbatas dan terpengaruh oleh kondisi, tempat, dan waktu, terpengaruh oleh hawa nafsu, perasaan dan pertimbangan kemanusiaan.

Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Mencipta dan Memiliki semua makhluk, Pengatur semesta alam ini, Menciptakan manusia, Maha Mengetahui apa yang bermanfaat dan apa-apa yang maslahat serta yang bisa memperbaiki.
أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الملك : 14)

“Ingatlah, (Allah Yang Mencipta), Maha Mengetahui, dan Dia Maha Halus lagi Maha Awas.” (QS al-Mulk : 14).

Kaum muslimin meyakini bahwa konsep Allah paling sempurna, syamil, paling adil, paling mampu mewujudkan kebajikan dan menolak berbagai macam keburukan. Konsep Allah berhasil menegakkan kebenaran dan menumbangkan dan mencabut mafsadat ke akar-akarnya. Dan seorang muslim dapat merasakan kepuasan dengan keadilan dan kebajikannya.

Seorang muslim juga meyakini dalam lubuk hatinya bahwa Allah selalu mengawasi ketika ia tengah menjalankan konsep ini atau pada saat ia meninggalkannya. Dia meyakini bahwa Allah mencatat perbuatannya itu untuk di-hisab saat seluruh manusia dibangkitkan untuk melihat amal perbuatannya.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (الزلزلة : 7-8)

“Maka barangsiapa yang beramal kebajikan sebobot zarrah pun, ia psti akan melihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan sebesar zarrah pun, pasti ia akan menemuinya.” (QS Az-Zalzalah : 7-8).

Akhlaqiyah (membentuk moral)

Konsep Allah memiliki keunggulan membentuk moral dalam seluruh aspeknya, sebagai buah dari sifat rabbaniyah-nya. Dengan demikian, konsep Allah lebih mengutamakan akhlak dengan seluruh yang tercakup di dalamnya.

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه الحاكم)

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR al-Hakim).

Disini terlihat perbedaan antara konsep Allah dengan qanun dari sisi kandungan maupun tujuannya. Kandungan undang-undang buatan manusia adalah serangkaian hak-hak pribadi dan perorangan, sementara konsep Allah mencakup sekumpulan taklif (tugas). Dan, hukum syara’ adalah kalamullah yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (yang dikenai beban dan tugas).

Qanun memandang manusia dari segi hak-haknya, sedangkan konsep Allah melihat manusia dari segi kewajibannya. Tugas dan kewajiban ini ialah hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, maka ia harus menjaganya sesuai dengan penjagaannya terhadap hak-haknya atas orang lain. Selain itu, manusia dalam pandangan qanun sebagai penuntut, sedang dalam pandangan konsep Allah ia dituntut dan diminta tanggung jawab (mas’uliyah) karena ia makhluk yang diberi taklif, diperintah dan dilarang. Ia tidak diciptakan untuk main-main, sia-sia atau dibiarkan saja. Tetapi, ia memiliki hak dan kewajiban.

Adapun dari segi tujuan, qanun punya tujuan yang bermanfaat dan terbatas, yaitu langgengnya masyarakat dan teraturnya dan berbagai perkara di dalamnya terutama yang bersifat material serta menegakkan disiplin. Inilah yang diciptakan oleh para pembuat qanun, hatta walau pun kandungannya – bisa jadi –menuntut penyimpangan dari akhlak dan agama.

Selanjutnya, jika kita melihat konsep Allah, maka tujuannya di samping memelihara kelanggengan masyarakat dan keteraturan hubungan sesamanya, juga mewujudkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan ummat manusia. Mengangkat mereka ke derajat kemanusiaan yang luhur serta memelihara nilai-nilai akhlak dan ruhani yang tinggi.

Realistis (waqi’iy)

Ciri-ciri lain dari konsep Allah ialah bersifat realistis, dimana perhatiannya terhadap nilai-nilai luhur akhlaq tidak menghalanginya untuk menaruh perhatian terhadap realita yang ada. Mendiagnosis berbagai penyakit yang di deritanya sekaligus memberikan resepnya.

Konsep Allah tidak berdayung di lautan khayal. Juga tidak terbang di awang-awang dan di angkasa. Keteladanan yang semu yang membentuk manusia tanpa wujud seperti yang diperbuat Plato dengan Republic-nya. Dan seperti apa yang menjadi utopia ajaran komunisme tentang masyarakat yang kehilangan hak milik dan tidak membutuhkan suatu pemerintah, hukum pertahanan, keamanan dan penjara.

Konsep Allah diturunkan untuk manusia sesuai dengan kejadiannya, yang Allah ciptakan dengan fisik yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari langit; dengan rasa cinta yang melambung dan naluri yang merendah. Allah mengakui dorongan kedurhakaan dan ketakwaan yang senantiasa bertempur di dalam jiwa mereka.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا (الشمس : 7-8)

“Dan, demi jiwa dan apa-apa yang meluruskannya. Maka Dia mengilhaminya akan kedurhakaannya dan ketaqwaannya.” (QS Asy-Syams : 7-8).

Insaniyah (manusiawi)

Konsep Allah bersifat insaniyah dan ‘alamiyah. Makna insani-yah ialah ia diturunkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat humanistik-nya serta menjaga dari kedurjanaan sifat hewani agar tidak mengalahkan sifat kemanusiaannya. Untuk itu, maka disyariatkanlah semua bentuk ibadah bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Dengan demikian manusia bukan semata-mata raga yang terdiri dari unsur tanah yang membutuhkan makan, minum dan nikah, tetapi ia juga ruh yang luhur yang menempati raga itu.

Konsep Allah juga memelihara kemuliaan manusia yang dianugerahkan Allah Sang Pencipta, yang Menjadikannya khalifah di muka bumi dan yang Menyuruh malaikat bersujud kepadanya serta yang telah Mengabadikan kemuliaan itu dalam kitab-Nya.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ (الإسراء : 70)

“Dan sungguh Kami telah memuliakan bani Adam (manusia).” (QS al-Isra’ : 70).

Konsep Allah menaruh perhatian besar terhadap manusia seutuhnya, baik raga, jiwa maupun pikirannya. Konsep Allah memperhatikan raga manusia dengan mewajibkan pemelihara-annya dan melarang segala bentuk penyiksaan walaupun dengan ibadah.

Teratur (tanasuq)

Ciri konsep Allah lainnya adalah teratur. Yakni semua bagian-bagiannya masing-masing bekerja teratur, kompak dan seimbang dalam rangka mencapai satu tujuan bersama. Antara yang satu dengan lain tidak berbenturan tapi sejalan dan seirama, teratur dan rapi. Karakteristik ini bisa juga dinamakan dengan takamul (komperhensip).

Keteraturan dan keserasian dalam fenomena alam (khalqiyah) dan konsep Allah (kalimatullah) sebagai suatu keseimbangan (tawazun), kita temui sebagai suatu gejala yang tampak pada setiap apa-apa yang disyariatkan Allah, tampak pada setiap makhluq-Nya.

Universal (syumul)

Konsep Allah mencakup aspek ibadah yang mengatur hubungan dengan Rabb-nya. Masalah ini dijelaskan oleh fiqh ibadah yang terdiri dari bab thaharah, shalat, shaum, hajji, nadzar, udh-hiyyah (berkorban), ayman (sumpah) dan hal-hal lain yang tidak pernah dikenal dalam qanun.

Mencakup pula hukum kerumahtanggaan (nizhamul usrah), seperti nikah, thalaq, mengatur rumah tangga, nafkah, wasiat, waris, dan hal-hal yang termasuk dalam masalah pembentukan rumah tangga Islami dan segala upaya mempertahankannya, masalah ‘iddah, dan lain-lain. Hukum ini dikenal dengan Hukum Pribadi (al-ahwal asy-syakhshiyah).

Juga mencakup segi mu’amalah, transaksi seperti jual beli, gadai, hibah, utang-piutang, join dalam usaha (syirkah), luqathah (barang temuan), dan sejenisnya yang bertujuan mengatur hubungan antarindividu dalam menggunakan harta dan menjaga hak masing-masing yang semua ini sekarang dinamakan Hukum Sipil.

Ia juga mencakup bidang ekonomi seperti berkaitan dengan pengembangan harta atau pemakaiannya sebagaimana pula berkaitan dengan pengatutan Baitul-Maal, tentang pemasukan dan pengeluaran zakat, harta ghanimah, fai’, pajak, serta hal-hal yang diharamkan Allah seperti riba, menimbun harta, memakan harta orang dengan cara batil, dan sebagainya.

Konsep Allah juga mencakup tindak pidana dan balasannya yang telah ditentukan dengan nash dan hadis seperti qishash, dan hukuman-hukuman lain seperti potong tangan bagi pencuri, mencambuk atau merajam pezina, mencambuk peminum minuman keras dan orang yang menuduh orang lain berzina. Atau sanksi-sanksi yang ketentuannya diserahkan kepada ulil amri, para qadhi atau hakim, yang disebut dalam fiqh dengan hukuman ta’zir (dera). Inilah yang dikenal undang-undang kejahatan dan Hukum Pidana (jinayat).

Juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hukum, putusan, dakwaan, persaksian, iqrar (pengakuan), sumpah dan lainnya yang bertujuan menegakkan keadilan antar-umat manusia dan menyelesaikan suatu kasus atau perkara yang semua termasuk ke dalam apa yang disebut Hukum Acara.

Mencakup aspek undang-undang kepemimpinan, dasar kewajiban mengangkat pemimpin dan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi, cara pemilihannya, hak dan kewajibannya, hubungannya dengan dengan rakyat, hukum mentaatinya, serta bagaimana menghadapi pembangkang (oposisi) dan sejenisnya, yang bertujuan mengatur hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini termasuk ke dalam “Undang-undang Dasar”.

Mencakup masalah hubungan kenegaraan seperti mengatur hubungan negara Islam dengan negara-negara lain yang non-muslim, baik dalam kondisi perang maupun damai. Masalah yang berkaitan dengan penduduk non-muslim di negara Islam. Ini dibahas dalam fiqih Islam, dan sekarang ini semua tercakup ke dalam apa yang dinamakan Hukum Internasional.

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Jumat, 14 November 2008

Prinsip Syariat

Ditulis oleh Admin


ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُوْنَ . مَآ أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُوْنٍ . وَإِنَّ لَكَ َلأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُوْنٍ . وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ . فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُوْنَ . بِأَيِّكُمُ الْمَفْتُوْنُ . إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ .

“Nun, demi pena dan apa yang mereka tulis. Tidaklah engkau, dengan nikmat Tuhanmu, seorang gila. Dan sesungguhnya untukmu pahala yang tiada putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau adalah benar-benar atas budipekerti yang agung. Maka engkau akan melihat dan mereka pun akan melihat kelak. Siapa di antara kamu yang terganggu fikiran. Sungguh Tuhanmu, Dialah yang lebih tahu siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia pun lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk.”(QS Al-Qalam 1-7)

Definisi kebahasaan ‘qalam’ (lughatan)

Dari segi bahasa, kata ‘qalama’ berarti memotong ujung sesuatu. Dalam sebuah hadits yang menjelaskan ‘sunnah-sunnah fithriyah’ disebutkan diantaranya taqlimu al-azhafir (memotong ujung kuku). Tombak yang dipotong ujungnya sehingga meruncing dinamai maqaliim. Anak panah yang runcing ujungnya dan yang bisa digunakan mengundi dinamai pula qalam, sebagaimana firman-Nya :

وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُوْنَ أَقْلاَمَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ (آل عمران : 44)

“Padahal kamu tidak beserta mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang memelihara Maryam.” (QS Ali Imran : 44).

Demikian pula ditemukan dalam bentuk jama’ ‘aqlam’ bermakna ‘pena’ pada firman Allah berikut.

وَلَوْ أَنَّ مَا فيِ اْلأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلاَمٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَا نَفِدَتْ كَلِمَاتُ اللهِ (لقمان : 27)

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena-pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (keringnya), niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah”. (QS Luqman : 27).

Al-Quran secara umum menjelaskan bahwa ‘qalam’ adalah alat yang digunakan untuk menulis, yakni alat tulis apapun – termasuk komputer yang tercanggih. Demikian pula ‘qalam’ adalah alat untuk mengundi. Dalam surat al-Qalam, qalam adalah alat, tetapi yang dimaksudkan adalah hasil penggunaan alat tersebut, yakni “tulisan”.

Dalam kaidah bahasa Arab seringkali suatu kata yang berarti “alat” atau “penyebab” dimaksudkan untuk akibat atau hasil penggunaan alat itu. Dan suatu kata atau ayat yang singkat boleh jadi ditemukan rincian artinya dalam ayat yang lain (tafsir al-ayat bil ayat).

Maka, arti qalam pada surat al-‘Alaq dengan surat al-Qalam saling berkaitan, apalagi surat al-Qalam turun setelah akhir ayat kelima surah al-‘Alaq, menurut beberapa riwayat.

Penemuan pena serta tulis menulis merupakan satu anugerah Allah yang terbesar. Dengan tulisan, satu generasi dapat mentransfer ilmu dan pengalaman mereka kepada generasi berikut, sehingga manusia tidak terus-menerus mulai dari nol. Begitu pentingnya pena dan hasil tulisannya, para ahli membagi kehidupan manusia dalam dua periode. Periode pra-peradaban (prehostoric) dan periode peradaban (historic). Sedang batas pemisah antara keduanya adalah penemuan pena serta tulisan.

Mengenal tulisan (qalamullah) dan kemurahan Allah (karamullah)

Kalau merujuk arti qalam dalam bentuk jama’ ‘aqlam’ dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 27, yang dimaksudkan adalah ‘ilmullah (ilmu Allah). Ada yang berpendapat Al-Qur’an, as-Sunnah dan al-Islam. Konsep Allah adalah syariat (syara’a) Allah yang diperuntukkan hamba-hamba-Nya.

Dari wahyu pertama Al-Qur’an diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia (tanpa pena) yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau dasar usaha manusia (‘ilmu kasbi). Cara kedua dengan mengajar tanpa alat atau tanpa usaha manusia (‘ilmu laduni, ‘ilmu khafi).

Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu hanya dua tahun hidup bersama Nabi shalla-llahu 'alaihi wa sallam, tetapi paling banyak meriwayatkan hadits selain ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Abu Hurairah lebih banyak memperoleh ‘ilmu khafi (ilmu tersembunyi). Walaupun berbeda, keduanya dari satu sumber, yaitu Allah.

Setiap pengetahuan memiliki subyek dan obyek. Secara umum subyek dituntut peranannya untuk memahami obyek. Namun pengalaman ilmiah menunjukkan bahwa obyek terkadang memperkenalkan diri kepada subyek tanpa usaha sang subyek. Misalnya komet Halley yang memasuki cakrawala hanya sejenak setiap 76 tahun, muncul terakhir tahun 1986. Pada kasus ini, walaupun para astrologi menyiapkan diri dengan peralatan mutakhirnya untuk mengamati dan mengenalnya, sesungguhnya yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu dalam memperkenalkan diri.

Wahyu, ilham, intuisi, firasat, yang diperoleh manusia yang siap dan suci jiwanya, atau apa yang disebut kebetulan, yang dialami ilmuwan yang tekun, semuanya tidak lain kecuali bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus komet di atas.

Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan oleh wahyu pertama Al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan kepada Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam bukan lewat qalamullah tetapi atas karamullah (kemurahan Allah), karena wahyu turun bukan atas usaha beliau. Kadang langsung masuk ke dalam dadanya. Setelah dibacakan Allah, setelah itu tidak pernah lupa.

سَنُقْرِئُكَ فَلاَ تَنْسَى (الأعلى : 6)

Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa.” (QS al-A’laa : 6).

Seringkali Rasulullah menghendaki turunnya wahyu, tetapi tak kunjung diturunkan. Bahkan beliau pernah hampir saja menjatuhkan dirinya dari atas gunung, karena beban berat yang dipikul, sementara wahyu yang ditunggu tidak turun.

Kitab Ihya Ulumuddin, karya Imam al-Ghazali diperoleh justru ketika meninggalkan teori-teori ilmiah yang telah dipelajarinya selama ini. Buku Manhaj Tarbiyah Islamiyah, oleh Muhammad Quthb, disusun setelah mengalami stagnasi kejiwaan (Lihat: Wawasan Al-Qur’an, Prof. Dr. M. Quraisy Syihab, MA).

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Minggu, 09 November 2008

Proses Lahirnya Syahadat dalam Al-Alaq

1. Loyalitas dan pengingkaran (al-wala’ wal bara’)

Termasuk tuntutan kalimat syahadat adalah membebaskan manusia dari loyalitas kepada selain Allah, seperti loyalitas kepada thaghut, kaum musyrikin, kaum Yahudi, kaum Nasrani, kaum sekuler, kaum munafik, serta penganut ajaran-ajaran atau isme-isme yang bertentangan dengan ajaran Islam.

لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكَافِرِيْنَ أَوْلِيَآءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنْيْنَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فيِ شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقَاةً (آل عمران : 28)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir manjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memlihara diri dari sesuatu yang ditakuti mereka.” (QS Ali Imran : 28; 149; al-Maidah :80-81; al-Mujadalah : 22; an-Nahl : 30).
Tujuannya agar manusia memurnikan loyalitasnya kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin, serta bersikap bara’ (lepas diri) dari selain mereka. Hatinya terpenuhi oleh perasaan ini, hanya mendukung penganut kebenaran dan iman, bergembira dengan kemenangan mereka, mendoakan kebaikan bagi mereka, bersedih dengan musibah yang mereka hadapi, di pertarungan apapun yang terjadi antara al-haqq dan al-bathil.

Karena itu diantara tanda orang mukmin adalah gembira terhadap kemenangan dien Muhammad shalla-llahu 'alaihi wa sallam dan bersedih karena kemundurannya. Sedangkan di antara tanda-tanda munafik ialah gembira terhadap kekalahan dien Islam dan bergembira karena kemenangannya.

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فيِ ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ وَمِنْهُمْ : رَجُلاَنِ تَحَابَّا فيِ اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَافْتَرَقَا عَلَيْهِ (رواه مسلم عن أبي هريرة رضي الله عنه)

“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya hari dimana tak ada naungan kecuali naungan-Nya, (diantara mereka) adalah : dua orang laki-laki yang saling mencintai karena Allah dengan mana mereka berkumpul dan berpisah.” (HR Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dari sini terlihat bahwa orang-orang munafiq tidak mampu mengendalikan dirinya ketika melihat kehancuran menimpa orang-orang mukmin. Ia riang gembira dan berusaha menampakkan kegembiraan hatinya. Sebab, loyalitas telah diperuntukkan bagi selain mukmin. Sedangkan hatinya dipenuhi dengan kedengkian dan kemunafikan. Ia mengungkapkan perasaan-perasaan ini dengan cara-caranya yang khas. Apabila ia seorang politikus, ia ungkapkan dengan terang-terangan atau terselubung. Jika ia seorang jurnalis, ia ungkapkan dengan pemberitaan yang menjengkelkan. Jika ia berada diantara sesamanya, teranglah apa yang ditutup-tutupi.

Maka, wajib seorang muslim mencintai muslim lainnya yang beratuhid, mengharapkan kemenangan untuknya, mendoakan kebaikan baginya, saling berbagi rasa dengannya, dan memberikan pembelaan untuknya. Ini harus disadari bahwa semua perkara tadi merupakan ajaran dien yang dengannya Allah disembah. Juga merupakan hak sudara muslimnya tanpa harus melihat hasil pertempuran, apakah menang atau kalah. Karena, bimbang dalam memberikan wala’ (loyalitas) itu merupakan tanda kemunafikan. Jika melihat kemenangan milik orang-orang mukmin, mereka bantu dan dukung. Namun, jika melihat orang-orang kafir menang, mereka akan menolong mereka.

الَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِنَ اللهِ قَالُوْا أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ وَإِنْ كَانَ لِلْكَافِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْا أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ (النساء : 141)

“(Yaitu) orang-orang menunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang mukmin). Jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata, ‘Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?’ Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan), mereka balik berkata, ‘Bukankah kami turut memenangkan kamu, dan membela kamu dari orang-orang mukmin?” (QS An-Nisa’ : 141).

Demikianlah orang munafik bersikap mendua dan menipu, bahkan Dasamuka (berwajah sepuluh). Kadang kala ia juga mengucapkan perkataan yang bisa memuaskan kedua pihak, supaya sama-sama tetap dapat bergabung dengan pihak mana pun yang kelak menang.

Jika kita melihat apa yang menimpa umat Islam, khususnya pada masa kelemahan dan penyiksaan mereka, kita akan melihat kepala-kepala munafik muncul. Mereka menampakkan taring-taringnya, lalu memberikan dukungan dan bantuan kepada orang-orang musyrik dan sekuler. Mereka kerahkan segala yang Allah berikan untuk menolong orang-orang musyrik. Kebalikan dari sikap para Nabi, sebagaimana yang diucapkan Musa ‘alaihis salam.

قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُوْنَ ظَهِيْرًا لِلْمُجْرِمِيْنَ (القصص : 77)

“Ya Rabb-ku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa.” (QS al-Qashash : 17).

Fakta ini menunjukkan bahwa mayoritas orang yang mengaku Islam belum merealisasikan tauhid dengan benar. Dalam jiwa mereka belum menancap bara’ kepada orang-orang musyrik dan sekuler. Bahkan, mereka cenderung atau sudah tampak jelas membantu musyrik untuk menyerang muslim. Inilah bentuk nifaq i’tiqadi (kemunafikan dalam akidah) yang bisa mengeluarkan mereka dari agama Allah.

Mereka bangga dengan tingginya kalimat sekuler. Berkebalikan dengan janji Musa ‘alaihis salam, mereka justru berkata, “Wahai Rabb-ku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku pasti akan menggunakannya untuk membantu mereka (kaum musyrikin) dalam menghancurkan orang-orang mukmin”. Na’dzu billah.

Sesungguhnya wala’ dan bara’ (loyalitas dan permusuhan) adalah perkara fundamental. Ilmuwan berkata, “Tidak terdapat dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang lebih banyak setelah ayat-ayat tentang uluhiyah melebihi ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan wala’ dan bara’. (Hakadza ‘Allamal Anbiya Laa Ilaaha Illallah, karya Syekh Salman bin Fahd al-‘Audah).
Wallahu ‘alam bish-shawab.

2.
Pembatal-pembatal syahadat (nawaqidhu asy-syahadah)

Kata nawaqidh adalah bentuk jamak dari asal kata naqidh, artinya “yang merusak”. Maka kata nawaqidh syahadah berarti yang merusak dan membatalkan makna syahadat, dimana meyakini, mengucapkan dan mengamalkan makna syahadat tidak secara otomatis membuat ia disebut muslim, serta bebas dari semua yang menyalahi Islam.

Sehingga apabila salah satu dari hal-hal yang membatalkan syahadat itu ada pada diri seseorang, maka ia tidak dapat disebut muslim dan tidak diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan muslim, melainkan diperlakukan dengan hukum yang diberlakukan kepada orang-orang kafir atau musyrik. Ini bila pembatal syahadat itu terdapat dalam dirinya sejak awal.

Tetapi ia disebut murtad bila melakukan salah satu pembatal syahadat setelah masuk Islam. Sekalipun ia telah meyakini kebenarannya dengan hatinya, mengucapakan dengan lisannya dan melaksanakannya dengan raganya.

Pertama, ketidaktahuan (jahl) akan makna syahadat. Dengan demikian, mengucapkan syahadat tanpa mengetahui maknanya sama sekali tidak bermanfaat baginya.

Kedua, keraguan (syakk) akan sebagian atau seluruh makna syahadat. Karena dengan begitu ia sebenarnya menganggap kebolehan dan ketidakbolehannya sama saja. Bahkan andaikan pun ia menganggap salah satu atas yang lain, hal itu tetap membutuhkan keyakinan.

Ketiga, mempersatukan (syirk) Allah dengan sesuatu selain Dia.

إِنَّنِيْ بَرَآءٌ مِمَّا تَعْبُدُوْنَ . إِلاَّ الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَإِنَّهُ سَيَهْدِيْنِ . وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فيِ عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (الزخرف : 26-28)

"Sesungguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS az-Zukhruf : 26-28).

Dan ini menuntut adanya pengetahuan tentang syirik dan batasan-batasannya, agar kita dapat menghindari syirik dan para pelakunya.

Keempat, kedustaan dalam akidah (nifaq), yakni menampakkan iman dan menyembunyiakn kekufuran.

يَقُوْلُوْنَ بِأَلْسِنَتِهِمْ مَا لَيْسِ فيِ قُلُوْبِهِمْ (الفتح : 11)

“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (QS al-Fath : 11).

Lawan dari nifaq adalah mengetahui makna syahadat tauhid, menerimanya dengan hatinya, melaksanakan semua kewajiban yang menjadi konsekensinya, sedang hatinya jujur dengan apa yang diucapkan oleh lisannya.

Kelima, membenci terhadap syahadat dengan segala maknanya, memusuhi orang-orang yang meyakini kebenarannya dan para penyerunya, serta berusaha menjauhkan manusia darinya dengan jalan menyeru kepada hal-hal yang bertentangan dengan kalimat itu, serta mendukung dan mencintai para penyeru tersebut dan menjadikan mereka sebagai sekutu selain Allah.

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّوْنَهُمْ كَحُبِّ اللهِ (البقرة : 165)

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (QS al-Baqarah : 165; at-Taubah : 21).

Keenam, meninggalkan makna dan lafazh syahadat serta tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah menjadi konsekuensinya, baik secara umum maupun parsial, dimana ia tidak melaksanakan rukun Islam dan perbuatan Islami; sekalipun ia mengkalim bahwa ia memahami, meyakini dan mencintai maknanya, serta memusuhi semua yang menyalahinya serta para pelakunya.

Ketujuh, menolak makna dan lafazh syahadat serta keyakinan akan kebenarannya. Karena kaum musyrikin Arab sebenarnya mengetahui makna syahadat, tetapi menolaknya dan tidak menyukainya.

إِنَّهُمْ كَانُوْا إِذَا قِيْلَ لَهُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَسْتَكْبِرُوْنَ وَيَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَتَارِكُوْا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَجْنُوْنٍ (الصافّات : 36)

“Apabila dikatakan kepada mereka ‘laa ilaaha illallah’ (tiada tuhan selain Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila’.” (QS ash-Shaffat : 36). (Lihat: al-Madkhalu li Dirasatil ‘Aqidatil Islamiyyah ‘alaa Madzhabi Ahlissunnah wal Jama’ah, Dr. Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah Al Buraikan).

3. Syarat diterimanya syahadat (syuruthu qabuuli asy-syahadah)

Syarat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka yang disyaratkan itu tidak sempurna dan tidak terwujud. Jadi, syarat syahadat adalah sesuatu yang tanpa keberadaannya, maka sya-hadat dianggap tidak sah; yang pertamakali diucapkan Allah, malaikat dan ahli ilmu penegak keadilan. Orang yang tak memiliki ilmu tentang ayat-ayat Allah, takkan bisa bersyahadat.

شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُو الْعِلْمِ قَآئِمًا بِالْقِسْطِ

Syarat sahnya syahadat itu ada tujuh:

Pertama, mengetahui (al-‘ilmu) makna syahadat dengan dua dimensinya, penafian (laa) dan penetapan (illaa). Yaitu bahwa ia harus mengetahui dimensi penafian dalam muatan kalimat syahadat, yang dalam hal ini adalah penafian semua sembahan selain Allah; dan dimensi penetapan, yang dalam hal ini penetapan hak uluhiyah hanya bagi Allah semata.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (محمد : 19)
“Maka ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah.” (QS Muhammad : 19). Lawan dari pengetahuan ini adalah ketidaktahuan (al-jahl) akan makna syahadat.

Kedua, keyakinan (al-yaqin), yakni tahu secara sempurna akan makna syahadat tanpa keraguan sedikit pun. Jadi, imannya tak mengandung sesuatu yang bertentangan dengannya dalam hati.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوْا وَجَاهَدُوْا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فىِ سَبِيْلِ اللهِ أُوْلَئِكَ هُمُ الصَّادِقُوْنَ (الحجرات : 15)

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu.” (QS al-Hujurat : 15). Lawan keyakinan adalah keraguan (asy-syakk).

Ketiga, keikhlasan. Kata ini diambil dari kata susu murni (al-laban al-khalish), yang tidak lagi dicampuri kotoran yang merusak kemurnian & kejernihannya. Ikhlas berarti membersih-kan hati dari segala yang kontradiktif dengan makna syahadat.

وَمَآ أُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَآءَ (البيّنة : 5)

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali hanya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS al-Bayyinah : 5).

Keikhlasan adalah lawan syirik (asy-syirk). Keikhlasan laksana tak menerima lamaran lain, dan syirik adalah perselingkuhan.

Keempat, kejujuran (ash-shidq), yaitu bahwa lahirnya tidak menyalahi batinnya. Keduanya harus saling sesuai dan sejalan, yaitu antara lahir dan batinnya, antara ilmu dan amalnya, antara doa dan usahanya, antara apa yang ada dalam hati dengan yang ada dalam raga. Maka tidak ada sesuatu yang dikerjakan oleh raga yang menyalahi apa yang diyakini oleh hati.

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْآ إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ اْلأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ (الأنعام : 82)

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu orang-orang yang mendapat petunjuk-Nya.” (QS al-An’am : 82).

مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوْا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَ مِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوْا تَبْدِيْلاً (الأحزاب : 23)

“Diantara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka diantara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak berubah (janjinya).” (QS al-Ahzab : 23).

Rasulullah Saw juga bersabda :
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ (رواه البخاري عن معاذ بن جبل رضي الله عنه)
“Siapa yang mengucapkan : Tiada tuhan selain Allah dengan jujur dalam hatinya, maka ia masuk surga.” (HR al-Bukhari dari Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu).

Lawan kejujuran adalah an-nifaq, yaitu menampakkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dalam batinnya, atau bahwa ia menyimpan kekufuran dalam hatinya tetapi menampakkan iman dalam lisan dan raganya.

Kelima, cinta (al-mahabbah), yakni mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan segala apa yang dari keduanya berupa ilmu dan amal, serta mencintai orang-orang yang beriman.

وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا ِللهِ (البقرة : 165)

“Dan orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah.” (QS al-Baqarah : 165).

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ (المائدة : 54)

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (QS al-Maidah : 54).

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنيِ يُحْبِبْكُمُ اللهُ (آل عمران : 3)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS Ali Imran : 3).

Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ اْلإِيْمَانِ : أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ ِللهِ ... (رواه البخاري ومسلم عن أنس بن مالك رضي الله عنه)

“Ada tiga hal yang bila terdapat dalam diri seseorang, niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada segala sesuatu selain keduanya, dan bahwa ia tidak mencintai seseorang melainkan hanya semata karena Allah, ……” (HR al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

Cinta itu disamping rela berkorban untuk yang dicintai, ia adalah amanah. Yaitu kemarahan terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan syahadat, atau dengan kata lain semua ilmu dan amal yang menyalahi sunnah Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam Selain itu murka terhadap para pelaku atau pembawa ajaran dengan segala ilmu dan amal yang mereka bawa.

أَوْثَقُ عُرَى اْلإِيْمَانِ الْحُبُّ فىِ اللهِ وَالْبُغْضُ فىِ اللهِ (رواه الطبراني عن ابن عبّاس وعكرمة رضي الله عنهم)

“Ikatan iman yang terkuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” (HR ath-Thabrani dari Ikrimah dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum)

Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam juga menyebut bagian ketiga dari syarat mendapatkan manisnya iman dalam hadits terdahulu.

وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُوْدَ فيِ الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكَرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فيِ النَّارِ - الحديث
“Dan bahwa ia membenci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya daripadanya, sama seperti ia membenci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”

Lawan dari cinta adalah benci (al-karahah) terhadap semua kata dan orang yang menyalahi Allah dan Rasul-Nya serta Islam.

Keenam, ketundukan (al-inqiyad), yaitu tunduk dan menyerah-kan diri kepada Allah dan Rasul-Nya secara lahir dengan mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya. Lawannya adalah penolakan atau ketidakmauan (al-imtina’).

إِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلاَئِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوْا وَلاَتَحْزَنُوْا وَأَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ (فصّلت : 30)
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan : Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) : Janganlah kamu merasa takut dan janganlah merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS Fushshilat : 30; an-Nuur : 63; al-Ahzab : 36).

Ketujuh, penerimaan (al-qabul), yakni kerendahan, ketundukan dan penerimaan hati terhadap segala sesuatu yang datang dari Allah dan Rasul-Nya akan melahirkan ketaatan dan ibadah kepada Allah, dengan jalan meyakini bahwa tidak ada yang dapat menunjuki dan menyelamatkannya kecuali ajaran Islam.
Lawan dari penerimaan adalah pembangkangan dan penolakan (ar-radd), yaitu berpaling dan membangkang dari ajaran-ajaran Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam dengan hatinya, sehingga ia tidak ridha dan tak menerima ajaran-ajaran tersebut.

Perbedaan antara ketundukan (al-inqiyad) dan penerimaan (al-qabul) adalah bahwa ketundukan itu pekerjaan fisik, sedang penerimaan itu adalah pekerjaan hati.

4. Mendalami makna syahadat (fiqh asy-syahadah)

Syahadat adalah landasan ke-Islam-an seseorang. Ibarat sebuah bangunan rumah, syahadat adalah pondasi. Rumah yang tidak memiliki pondasi yang kuat, sekalipun genting-gentingnya bagus, maka rumah itu akan mudah roboh oleh teriknya panas, guyuran air hujan dan terpaan badai. Sesungguhnya selemah-lemah rumah adalah sarang laba-laba. Syahadat laksana hishnun matin (benteng yang kokoh) atau al-‘urwah al-wutsqa (tali yang kuat).

Orang yang bersyahadat dengan benar dan menghayati segala konsekuensi yang terkandung di dalam kalimat pendek itu (kalimah thayyibah), ia akan teguh dalam menghadapi fluktuasi kehidupan.

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ (العنكبوت : 41)

Perumpamaan orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya selemah-lemah rumah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui (kebenaran, syahadat).” (QS Al-Ankabut : 41).

َمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوْتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا (البقرة : 256)

“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut (Tuhan selain Allah), maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS al-Baqarah : 256).

Diatas pondasi yang kuat ini akan tegak pula sistem kehidupan Islami. Sistem ekonomi, sosial, politik, pendidikan, militer dan juga sistem akhlak. Kehidupan yang tidak berlandaskan akidah ibarat membangun istana pasir. Membangun di atas permukaan balon.

Jika kembali pada aurat al-‘Alaq, maka syahadat adalah sebuah keputusan final. Keputusan ini bukan diperoleh karena tekanan eksternal dirinya, tetapi lahir dari motivasi dirinya sendiri (motivati intristik), lewat iqra’. Iqra’ adalah melihat, menimbang, menerawang, berfikir (ijtihad), merenung, melatih diri dengan latihan ruhani (mujahadah), dan mengorbankan apa yang dimilikinya untuk pencarian itu (jihad), membanding (muqaranah), mengukur, tentang diri, Rabb, dan alam raya. Akhirnya sampailah di ujung perjalanan. Itulah dia, syahadat kebenaran. Itulah keyakinan secara total (al-yaqinu kulluhu). Itulah gelora keimanan.

إِلاَّ مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ (الزخرف : 86)

"akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka meyakini (nya).” (QS az-Zukhruf : 86).

Tidak mengherankan jika aspek terpenting dalam kehidupan, pendidikan misalnya, tanpa landasan kebenaran terasa hampa. Dalam kehidupan yang lebih luas menjadi kering. Masyarkat sipil berwatak militer, manusia modern berkarakter primitif. Manusia yang secara fisik sehat, tetapi batinnya kesakitan. Hidup dalam kesepian di tengah keramaian.

Kehidupan sekarang memerlukan injeksi yang membangunkan hati (yaqzhah), gelora jiwa (thumuhat), dan menggerakkan cita rasa. Tokoh Islam, Mohammad Iqbal, mengomentari kondisi pendidikan sekarang, “Pengajaran dan pendidikan modern tak mengajarkan air mata pada mata, dan tidak mengajarkan kekhusyu’an pada hati nurani”.

Mentransformasikan kebenaran iman merupakan langkah mendasar untuk menyelamatkan kehidupan. Iman adalah bekal untuk menggapai keridhaan dan pengakuan Allah. Iman adalah jembatan menuju akhirat. Kita tidak akan mampu menuju surga yang dipenuhi oleh hal-hal yang dibenci (huffat bil makarih) tanpa iman. Sebagaimana kita takkan berdaya menghindarkan diri dari api neraka yang diselimuti dengan sesuatu yang menggiurkan tanpa kekuatan iman.

Hanya iman yang bisa melahirkan perikemanusiaan manusia. Imanlah yang memfungsikan tujuan dihadirkannya manusia di dunia, yaitu menyembah Allah dan membuatnya mencintai ibadah, hingga mengabdi menjadi sesuatu yang menyenangkan. Iman yang mengantarkan kita untuk mendekati Allah dengan melaksanakan kewajiban dan sunnah. Bertolak dari sini akan menimbulkan cinta timbal balik antara makhluk dan al-Khaliq. Allah menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, menjadi tangannya yang dengannya ia memukul. Jika ia memanggil-Nya dengan seruan, Dia menyambutnya, dan jika ia meminta-Nya, Dia mengabulkannya.

Iman adalah bekal untuk menggapai kebahagiaan di dunia. Iman yang bisa menemani harta, tahta, wanita, segala aspek kehidupan menjadi bermakna. Dunia tanpa disinari oleh cahaya iman akan membuat pemburunya kecewa. Betapa banyak sesuatu yang pesonanya menggiurkan, lalu mereka membanting tulang untuk meraihnya dengan suatu harapan bahwa disana terdapat kebahagiaan yang diidamkannya, namun setelah ditemuinya hanya berupa fatamorgana. Dikira air oleh orang yang kering kerongkongannya, karena kehausan, tetapi ia tidak menemukan apa-apa. Yang diburu hanyalah bayangan semu (QS an-Nuur : 39).

Hanya Allah yang memberikan manusia ketenangan batin. Dan ketentraman jiwa hanya diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya yang beriman.

الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ (الرعد : 28)

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka tenang dengan mengingat Allah. Bukankah dengan meningat Allah hati menjadi tenang.” (QS ar-Ra’du : 28).

Kadang-kadang dengan uang dan harta orang memperoleh kelezatan duniawi (mata’). Bisa memenuhi apa saja yang bisa dibeli dengan uang. Tetapi, kebahagiaan sejati (ni’mat) tidak dijajakan di mall dan super market, tidak pula dapat dibeli dengan uang, atau diperoleh dengan pengaruh dan jabatan. Sebab kebahagiaan, ketenangan itu muncul dari dalam jiwa. Bukan suatu wujud barang yang dapat diambil di tempat tertentu. Kebahagiaan sejati adalah seperti yang dirasakan oleh Ibrahim bin Adham pada penghujung tahajjud-nya.

نَحْنُ فيِ لَذَّةٍ لَوْ عَرَفَهَا الْمُلُوْكُ لَقَاتَلُوْنَا عَلَيْهَا حَسَدًا

"Kami hidup bahagia, sekiranya para raja itu mengetahui kebahagiaan ini, pastilah mereka menguliti kami karena dengki"

Dengan kemajuan IPTEK, manusia bisa hidup dalam dunia yang serba otomatis. Hanya dengan menekan tombol, manusia di ujung timur bisa saling kontak dengan manusia di ujung barat, besi keras menjadi lunak, benda yang bergerak menjadi diam. Tetapi ilmu pengetahuan tidak mampu menjamin kebahagiaan. Sekalipun ilmu menjanjikan sarana material kehidupan, tetapi tidak memandu bagi tujuan dan tugas hidup itu sendiri. Untuk apa ia harus hadir di muka bumi ini? Ilmu dan teknologi hanya menghasilkan apa yang disebut wasilatul hayat (sarana kehidupan), sedangkan iman melahirkan minhajul hayat (pedoman kehidupan).

Tujuan dan tugas kehidupan adalah wilayah garapan iman. Iman yang menumbuhkan pada diri manusia rindu kepada kebenaran dan kesucian, serta membenci kefasikan. Iman yang mendorong jasmani menuju ke tingkat rohani yang lebih tinggi di sisi Allah. Iman yang memberi kekuatan pemuda untuk membentengi diri dari gejolak nafsu biologis, sebagaimana kekuatan iman Yusuf ‘alaihis salam dalam menghindari godaan para wanita selebritis, sehingga lebih memilih penjara daripada takluk melawan gejolak dirinya.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُوْنَنِيْ إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّيْ كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِيْنَ (يوسف : 33)

“Ya Tuhanku, penjara lebih aku senangi daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS Yusuf : 33).

Iman yang mendidik manusia memiliki sikap berkorban, seperti pengorbanan Ismail ‘alaihis salam untuk siap melepas nyawanya demi perintah Tuhan (QS ash-Shaffat : 102). Iman merobah sikap individualis, egois menjadi jiwa patriotisme dalam sejarah klasik dan modren (QS Thaha : 112; az-Zilzalah : 7; an-Nisa’ : 40). Fenomena isytisyhad (bom syahid) yang dilakukan para pemuda di belahan bumi yang lain belakangan ini, membuktikan bahwa ajaran klasik iman masih relevan untuk memberikan pelajaran nyata dan pukulan telak kepada simbol dikatator internasional (malikun jabbar).

Iman yang bisa melahirkan akhlak terpuji. Kehilangan akhlak akan meruntuhkan diri sendiri, kata Ali bin Abi Thalib. Bangsa yang tidak bermoral laksana bangunan tanpa pondasi. Kata sastra Arab, “Bila moral bangsa itu terkena musibah, maka adakanlah upacara ta’ziyah”. Sebab morallah nyawa mereka, jika ia tiada maka wujud mereka pun tiada.

َإِنَّمَا اْلأُمَمُ اْلأَخْلاَقُ مَا بَقِيَتْ * وَإِنْ هُمُ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا

"Suatu ummat hanya berdiri tegak, selama akhlaknya bermutu tinggi. Ia akan runtuh, apabila akhlaknya menghilang."

Selama pembuat kebijakan berusaha menerapkan aturan kehidupan hanya dengan undang-undang dan surat-surat keputusan, tapi lupa bahwa manusia itu hanya bisa dikendalikan realitas yang ada pada dirinya bukan dari pengaruh eksternal maka surat-surat keputusan itu tidak bermanfaat. Egoisme, hawa nafsu, tetap mengungguli kebaikan. Kejahatan jadi tak terkendali. Seorang pakar hukum Inggris mengatakan, “Tanpa undang-undang masyarakat tidak stabil, tanpa moral undang-undang tidak berlaku, dan tanpa iman moral tidak berjalan”.

Iman yang berhasil membangun kekuatan jiwa untuk mengha-dapi problem yang selalu dicemaskan oleh kebanyakan manu-sia. Musibah, kesempitan rezeki, jodoh dan ajal. Mukmin yakin bahwa semua itu berada dalam genggaman Allah, tanpa diku-rangi dan ditambah. Seandainya seluruh manusia bekerjasama untuk mendatangkan manfaat dan kecelakaan pada seseorang, mereka tidak akan mampu mewujudkannya sedikitpun kecuali yang telah dituliskan-Nya.

Iman yang memperkuat tali kekeluargaan lalu menyatukannya dalam naungan persaudaraan cinta kasih. Jika belakangan ini timbul konflik yang bermuara pada perbedaan ras, warna kulit, bahasa, etnis, daerah, strata sosial, keturunan, kekayaan, maka iman menyingkirkan perbedaan itu. Kemudian menjadikan ikatan iman menjadi ikatan yang mendarah daging. Sehingga mukmin mencintai saudaranya seiman melebihi kecintaan kepada sudara kandung, bahkan anak kandungnya sendiri (QS Hud : 46; al-Hujurat : 10). Dalam naungan ukhuwah iman, akan lenyap pertentangan, kecemburuan sosial, kedengkian dan penyakit hati lainnya.

Iman tak hanya menjaga kesucian jiwa dari dengki (ukhuwah paling rendah), melainkan memberi muatan hati dengan cinta kasih yang diserap dari sifat suci cinta kasih Allah (mahabbatullah). Yaitu cinta yang ditanam dalam hati orang yang loyal kepada-Nya. Cinta itu menerbangkan pemiliknya yang membumi menuju realitas yang Maha Tinggi. Dicerminkan dalam komunitas yang tidak ditemukan dalam masyarakat manapun yaitu sikap mengutamakan orang lain lebih dari dirinya (itsaar). Sekalipun dirinya dalam kondisi kekurangan. Ia rela menjadikan dirinya sebagai sasaran senjata musuh untuk memagari saudaranya seiman (QS al-Hasyr : 9).

5. Berhukum dengan ilmu-Nya

Allah memperkenalkan sifat-Nya yang terakhir adalah al-‘Alim (Maha Pandai). Kata ‘ilm dari segi bahasa berarti kejelasan. Segala yang terbentuk dari akar kata ‘ilm mempunyai ciri yang menonjol ‘kejelasan’. Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat). Ilmu adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu.

Allah tidak dinamakam a’rif tetapi ‘alim, yang berkata kerja ya’lamu (Dia mengetahui). Biasanya Al-Qur’an menggunakan kata itu – untuk Allah – dalam hal-hal yang diketahui-Nya. Berikut ini adalah diantara
obyek-obyek pengetahuan yang disandarkan kepada Allah dalam al-Qur’an.

يَعْلَمُ مَا يُسِرُّوْنَ (البقرة : 77, 235, 284)
“Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan.” (QS al-Baqarah : 77, 235, 284).

يَعْلَمُ مَا فيِ اْلأَرْحَامِ (النجم : 19)
“Allah mengetahui sesuatu yang berada di dalam rahim.” (QS an-Najm : 19).

مَا تَحْمِلُ كَلُّ أُنْثَى (الرعد : 9)
“Allah mengetahui apa yang di kandung oleh setiap wanita.” (QS ar-Ra’d : 9).

مَا فيِ أَنْفُسِكُمْ (آل عمران : 29)
“Allah mengetahui apa yang ada dalam dirimu.” (QS Ali Imran : 29).

مَا فيِ السَّمَاوَاتِ وَمَا فيِ اْلأَرْضِ (الحجّ : 70)
“Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi.” (QS al-Hajj : 70).

خَآئِنَةَ اْلأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُوْرُ (المؤمن : 19)
Allah mengetahui kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada.” (QS al-Mu’min : 19)

يَعْلَمُ الْجَهْرَ وَمَا يَخْفَى (الأعلى : 7)
“Yang mengetahui yang lahir dan tersembunyi.” (QS al-A’laa : 7).

Sedangkan manusia dikeluarkan dari perut ibunya tidak mengetahui apa-apa. Kemudian Allah membuat instrumen yang bisa digunakan untuk meraih pengetahuan.

وَاللهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُوْنِ أُمَّهَاتِكُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ (النحل : 78)

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati.” (QS an-Nahl : 78).

إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى اْلأَنْفُسُ وَلَقَدْ جَآءَكُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَى (النجم : 23)
“Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan saja dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Sedangkan petunjuk telah datang dari Tuhan mereka.” (QS an-Najm : 23).

Tiada sikap yang patut bagi makhluk yang bodoh terhadap Tuhan Yang Maha ‘Alim, kecuali berhukum dengan aturan-Nya (ber-tahkim). Sikap Tuhan kepada makhluk dinamakan Tauhid Rububiyah. Sedangkan sikap hamba kepada Allah dengan (ibadah, menyembah), mengagungkan (ta’zhim), dan tunduk kepada hukum-Nya (tahkim) disebut dengan Tauhid Uluhiyah. Inilah makna syahadat (persaksian). Tiada Tuhan yang disembah, diagungkan, dipatuhi hukumnya kecuali Allah.

Syahadat pada surat pertama ini secara eksplisit tidak terlihat, akan tetapi dimunculkan dengan menggerakkan pendengaran, penglihatan dan hati. Kelahiran syahadat ini tidak dipaksakan, tetapi lewat perintah iqra’. Syahadat adalah pintu pertama memasuki Islam. Syahadat bentuk kedekatan tingkat tinggi kepada Allah (ihsan).

أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ (رواه مسلم)

“Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, yakinlah bahwa Dia melihatmu (muraqabatullah).” (HR Muslim).

6. Mengagungkan Allah (ta’zhim)

Berikutnya Allah memperkenalkan diri dengan sifat fi’li-Nya yang Maha Mulia (al-akram), berbentuk superlatif (bentuk mubalaghah, penyangatan). Allah memiliki segala sifat kesempurnaan, sedangkan manusia makhluk, tempatnya salah dan lupa (mahallul khatha’ wan nis-yan), karena manusia tebuat dari segumpal darah (min ‘alaq). Dari bahan dasar ini manusia memiliki banyak kelemahan. Dalam diri manusia dipenuhi dengan lubang kotoran. Kotoran lubang mata, kotoran telinga, kotoran hidung, kotoran, lubang muka (qubul), kotoran lubang belakang (dubur), dll. Jika topeng yang menutupi kita, terbuka alangkah hinanya fisik kita, tidak ada harganya, ora ana ajine (Bhs. Jawa).

Kata al-akram biasa diterjemahkan dengan “Yang Maha Pemurah” atau “Semulia-mulia”. Jika kembali ke akar kata “karama” yang menurut kamus-kamus bahasa Arab antara lain berarti : memberikan dengan mudah dan tanpa pamrih, bernilai tinggi, terhormat, mulia, setia dan sifat kebangsawanan.

Ada perbedaan dalam perintah “membaca” pada ayat pertama dan perintah yang sama pada ayat ketiga. Ayat pertama menjelaskan syarat yang harus dipenuhi seseorang ketika membaca (dalam segala pengertiannya), yaitu membaca demi Allah. Sedang ayat satunya menggambarkan manfaat yang diperoleh dari bacaan dan pengulangannya. Dengan bacaan yang ikhlas, Allah akan menganugrahkan kepadanya ilmu pengetahuan, pemahaman dan beragam wawasan, sekalipun obyek bacaannya itu-itu saja.

Sedangkan manusia ‘min ‘alaq’ (dari segumpal darah), hina, menjijikkan. Maka tidak ada sikap lain kepada al-Akram melainkan at-ta’zhim, mengagungkan dan memuliakan-Nya.

7. Menyerahkan diri (taslim)

Kemudian Allah memperkenalkan perbuatan-Nya yang kedua yaitu al-Khaliq (Pencipta). Semua makhluk tidak bisa menolak fenomena penciptaan ini (zhahiratul khilqah). Ubun-ubun kita berada dalam genggaman-Nya (nashiyati bi-yadihi). Ada sebuah sastra Arab yang melukiskan orang tua yang ingin kembali kepada masa muda, tetapi itu hanya sebuah angan-angan (mustahil terjadi).

أَلاَ لَيْتَ الشَّبَابُ يَعُوْدُ يَوْمًا * سَأُخْبِرُهُ بِمَا فَعَلَ الْمُشِيْبُ

"Duhai, sekiranya masa muda itu terulang hari ini, aku akan mengabarkan apa yang dilakukan oleh orang yang telah beruban dan pikun". Dalam terminologi Bahasa Arab kata laita memiliki makna lit-tamanni (angan-angan, mustahil). Sedangkan kata la’alla mengandung arti lit-tarajji (harapan, realistis).

اللهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدَ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَآءُ وَهُوَ الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ (الروم : 54)
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS ar-Rum : 54).

Jadi masa kecil yang masih lemah, masa muda yang kuat, dan kembali lemah pada masa tua, meninggal, adalah pergiliran dan perguliran siklus kehidupan yang harus kita jalani. Sedikitpun kita tidak bisa menolak rencana besar Allah tersebut. Sekalipun mulut kita menolak. Jadi secara phisik kita ini tunduk pada ketentuan Allah (aslam).

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ (البقرة : 28)

Bagaimana kamu mengingkai kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.” (QS al-Baqarah : 28).

Secara fisik, fenomena penciptaan Allah berjalan secara teratur tanpa ada yang bisa menghalanginya. Dari ayat diatas, manusia akan melewati lima fase kehidupan. Pertama, di alam ruh. Kedua, di alam dunia. Ketiga, di alam barzakh. Keempat, di alam kiamat. Kelima, di alam akhirat. Sesungguhnya kita milik Allah dan kita akan kembali kepada Allah. Jadi kehidupan kita sekarang ini belum final.

وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا (الكهف : 47)

“Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorangpun dari mereka.” (QS al-Kahfi : 47)

مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى (طه : 55)

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS Thaha : 55).

وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا (نوح : 14)

“Yang menciptakan kamu secara periodik.” (QS Nuuh :14)

Seorang ahli sastra Arab mengatakan bahwa dunia ini bukan masa akhir.

إِذَا حَمَلْتَ إِلىَ الْقُبُوْرِ جَنَازَةً فَاعْلَمْ بِأَنَّكَ مَحْمُوْلٌ
وَإِذَا وَلَّيْتَ أُمُوْرَ قَوْمٍ فَاعْلَمْ بِأَنَّكَ مَعْزُوْلٌ
Jika engkau membawa jenazah ke kuburan, ingatlah (suatu saat) engkau akan digotong. Dan jika engkau diserahi urusan kaum, ingatlah (suatu saat) engkau akan di ma’zulkan.

أَفَغَيْرَ دِيْنِ اللهِ يَبْغُوْنَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فيِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا (آل عمران : 83)

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa.” (QS Ali Imran : 83).

Alam dan seisinya tunduk kepada aturan Allah (sunnatullah). Alangkah sombongnya jika kita makhluk kecil di bagian alam ini menolak aturan-Nya? Sikap yang benar bagi makhluk yang lemah adalah pasrah (taslim) kepada Dzat Yang Mengatur dan Mengendalikan alam ini.

8. Sebagai abdi (‘ibadah)

Jika men-tadabburi kandungan surat al-‘Alaq : 1-5, sungguh kita akan memperoleh pelajaran yang fundamental. Kajian akidah yang diajarkan oleh para Rasul setiap masa. Dengan kajian ini tidak saja membangun dasa-dasar ilmu pengetahuan (the bacic of knowledge), pula membangun dasar-dasar kepribadian (the basic of knowing).

Intisari studi (dirasah) surah al-‘Alaq : 1-5 adalah penempatan posisi Rabb dan kedudukan al-insan secara proporsional. Allah adalah sebagai subyek (pencipta, Maha Mulia, Maha Pandai) dan manusia sebagai obyek. Awal sebuah kerusakan (chaos) terjadi di dunia ini ketika manusia tidak bersedia menerima dirinya sebagai obyek, bahkan memposisikan dirinya sebagai subyek. Makhluk memposisikan diri seperti al-Khaliq. Hina tetapi merasa diri mulia, masih memerlukan pujian dan sanjungan. Hanya memiliki ilmu sedikit (wa ma utitum minal ‘ilmi ila qalilan), dipinjami kekuasaan, menolak aturan Tuhan Yang Maha Mengetahui (al-‘Alim) dan Maha Mulia (al-Akram).
Ketika manusia (al-insan) lupa diri (nis-yan), maka tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan, ketika itu ia meng-cover diri (kafir, menutup diri) dari perkembangan sekitarnya. Sehingga ia lemah dalam merespon setiap perubahan, perkembangan yang terjadi (dhu’ful istijabah lil mutaghayyirat). Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir (menutupi fitrahnya sendiri).

Dinosaurus punah di muka bumi ini karena kelemahnnya dalam merespon perkembangan di luar dirinya. Hewan-hewan lain yang hidup berdampingan dengannya dianggap sebagai ancaman, bukan anugerah. Sikap menutup diri inilah salah satu bentuk thagha’ (sikap melampaui batas).

Puncak kerusakan kepercayaan adalah syirk (selingkuh) dan puncak kerusakan akhlak adalah sombong, thagha’, meminjam istilah Imam al-Ghazali. Syirik identik dengan selingkuh dan sombong adalah sikap menolak kebenaran (batharul haqq) dan meremehkan orang lain (ghamthun naas). Kelemahan apapun yang dimiliki oleh manusia, sifat dasarnya akan menonjol yaitu al-uns (cenderung harmonis), sehingga memudahkan untuk membangun kerjasama (ta’awun) dengan pihak manapun dan terhadap siapapun, kecuali jika dalam dirinya ada sebiji sawi sifat sombong. Tidak akan masuk surga apabila dalam diri manusia terdapat sebiji sawi sifat sombong (al-Hadits).

Jika kita menengok kehidupan masa lalu, nenek moyang kita dahulu juga disibukkan oleh persoalan di luar dirinya, menaklukkan alam, mengusir binatang buas, kehidupan berpindah-pindah (nomaden). Sehingga ketika muncul gejolak dirinya, cenderung menerapkan hukum rimba. Yang menang siap menindas yang kalah, yang kalah bersedia untuk hidup menderita. Demikian pula perkembangan disiplin ilmu yang berkaitan dengan kedirian manusia (ilmu psikologi) terlambat ditemukan, dibandingkan dengan ilmu sosiologi, antropologi, politik, ekonomi, dan lain-lain.

Manusia yang tak tahu diri dan tak tahu Tuhan dikategorikan jahiliyah. Jadi, jahiliyah pada ayat diatas tidak identik dengan buta aksara, buta budaya (ummi). Masyarakat jahiliyah dahulu dikenal pakar sastra, dan pakar pidato murtajal (tanpa teks), dan yang berhasil memperoleh juara, hasil karyanya ditempel di dinding Ka’bah. Jahiliyah artinya tidak tahu diri dan tidak tahu Tuhan.

Di dalam surat pertama Al-Qur’an ini Allah memperkenalkan dirinya dengan perbuatannya yaitu Rabb. Proses pengenalannya tidak dipaksakan, tetapi lewat instrumen yang telah disediakan oleh Allah kepada manusia (pendengaran, penglihatan, hati) agar diaktifkan. Sehingga akan melahirkan kesadaran siapa Rabb itu sesungguhnya.

Secara bahasa Rabb berarti mendidik (at-tarbiyah), merawat memperhatikan, dan mengembangkan menuju kesempurnaan (al-‘inayah war ri’ayah wat tarqiyah). Sifat tersebut bersumber dari induk sifat Tuhan, ar-Rahman ar-Rahim. Allah memiliki 100 % sifat rahmat. Dan satu persen darinya dicurahkan kepada makhluknya diantaranya kepada ibu dan kepada makhluk hidup yang lain. Jika kita ingin mengenal perbuatan Rabb, maka ingatlah kasih sayang orang tua kepada anaknya. Seperti yang sering kita doakan.
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيْرًا
“Wahai Rabb kami, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kasih sayangilah keduanya sebagaimana keduanya merawatku sejak kecil.”

أَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَ (لقمان : 13)
“Hendaklah engkau bersyukur kepada-KU dan kepada orang tuamu.” (QS Luqman : 13).
Bukti kesyukuran kita pada orangtua ialah sikap yang mengun-dang ridhanya. Demikian pula wujud syukur kita pada Allah.

Kesadaran akan kedalaman rububiyyatullah yang ditransfer 1% pada ibu, akan mengantarkan sikap mencari (siapa yang menghadirkan diri di dunia), merindukannya (yarju liqa-a rabbihi) dan siap menjadi abdinya (‘ibadah). Berbuat yang disenanginya, meninggalkan sikap yang dibencinya. Seseorang yang dipelihara sejak kecil, dikarunia kenikmatan, diselamatkan dari berbagai petaka, kemudian tidak bisa berterima kasih, maka manusia seperti ini di sebut manusia yang lalai (ghofil), tidak tahu balas budi. Air susu di balas dengan air tuba. Ditolong malah menjerumuskan (ditulung menthung, bhs Jawa).

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Jumat, 07 November 2008

Mengenal Alam

Sunnatullah pada alam (qadha’ takwini fil kauni)

Para ahli sejarah menyebutkan bahwa kaum zindiq meminta waktu kepada Abu Hanifah, khusus untuk berdebat dengannya, tentang Tuhan. Ketika tiba waktu yang disepakati, Imam Abu Hanifah terlambat. Beberapa saat kemudian, beliau datang menemui mereka, setelah mereka berputus asa menunggu kedatangannya. Mereka menyalahkan Imam Abu Hanifah karena keterlambatannya. Imam Abu Hanifah berkata kepada mereka, sambil meminta maaf, “Aku telah datang menemui kalian pada waktu yang telah ditentukan. Tetapi aku tertahan lama di pinggir sungai Tigris, mencari pemilik perahu yang akan membawa menyeberangi sungai. Namun, aku tidak menemukannya. Ketika aku telah putus asa, dan bermaksud pulang, aku melihat beberapa potong papan yang datang sendiri, lalu masing-masing papan itu bergabung menjadi satu, sehingga jadi sebuah perahu indah di hadapanku. Aku lalu menaiki perahu itu, menyeberangi sungai. Dan kini, aku sudah berada di hadapan kalian.”
Orang-orang zindiq berkata kepada Imam Abu Hanifah, “Apakah engkau hendak memperolok-olokkan kami? Apakah mungkin papan papan itu datang sendiri menjadi perahu?”
Imam Abu Hanifah berkata kepada mereka, “Inilah yang membuat kalian berkumpul untuk berdebat denganku. Maka, jika kalian tidak percaya bahwa perahu bisa membuat dirinya sendiri, bagaimana mungkin kalian ingin aku percaya bahwa alam yang sempurna dan menakjubkan ini telah mengalami peristiwa-peristiwa perubahannya dengan sendirinya, tanpa Sang Pencipta Yang Agung?”
Kaum zindiq terpojok. Mereka tidak bisa membantah alasan yang sangat rasional itu. Akhirnya mereka menyatakan ke-Islaman di hadapan Imam Abu Hanifah.
Kehidupan yang ada diatas bumi kita pasti memiliki beragam syarat yang esensial, dimana tidak mungkin syarat itu dipenuhi, diteliti dan diatur secara kebetulan atau serampangan.
Teori kebetulan terkait dengan sistem alam yang lengkap dan valid, hanyalah pendapat yang dikemukakan oleh orang yang bodoh, atau orang yang keras kepala, yang sebenarnya sedang menyaksikan kebenaran di depan matanya, tetapi ia justru menolaknya.
Berikut contoh-contoh detail sistem alam yang meruntuhkan teori kebetulan.
a) Seandainya lapisan bumi ini tebal, niscaya ia akan menghisap oksigen dan karbondioksida. Tentu saja kehidupan ini takkan pernah ada.
b) Seandainya atmosfir lebih rendah daripada yang sekarang ini, maka sesungguhnya jutaan meteor yang terbakar setiap hari di luar angkasa, akan mengenai seluruh bagian kulit bumi, serta akan membakar segala sesuatu yang mudah terbakar.
c) Seandainya matahari kita memberikan setengah dari cahaya panasnya sekarang ini, niscaya tubuh kita akan membeku. Seandainya cahaya panas matahari bertambah setengah kali sinarnya yang sekarang, niscaya kita akan menjadi abu.
d) Seandainya bulan menyinari kita pada saat ini, berjarak 20.000 mil dari bumi, niscaya seluruh muka bumi ini akan dilimpahi oleh air yang sangat deras setiap harinya, yang bisa menghanyutkan gunung-gunung.
e) Seandainya malam kita sepuluh kali lebih panjang atau lebih lama dari yang biasa kita lalui, niscaya matahari musim panas akan membakar tumbuh-tumbuhan kita di siang hari. Sedangkan di malam hari, setiap tumbuhan di bumi akan membeku.
f) Seandainya jumlah oksigen di udara mencapai 50% atau lebih besar kapasitasnya dibanding dengan kapasitas normal (21%) yang tersedia, maka setiap benda yang bisa terbakar akan menjadi daerah nyala api, sejak percikan api pertama.
g) Seadainya air yang meliputi bumi ini terasa manis, niscaya kehidupan di muka bumi ini akan dipenuhi oleh kebusukan dan penderitaan. Sedangkan rasa asin adalah sesuatu yang bisa mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan. Dan, seandainya tidak terjadi persenyawaan kalori dengan yodium, niscaya takkan ada garam dan selanjutnya takkan ada kehidupan.
h) Seandainya tidak ada hukum daya tarik (gravitasi), maka dari mana akan bertemu dan kawinnya atom dan partikel-partikelnya?
i) Seandainya poros bumi konstan, tentu akan terjadi musim panas yang berkepanjangan di suatu wilayah, dan musim dingin yang berkepanjangan di wilayah lain.
j) Seandainya bumi seperti bintang Mercuri yang tak beredar kecuali menuju satu arah, yaitu matahari, niscaya tidak ada seorang pun yang hidup, karena malam yang berlangsung selamanya demikian pula siang. Dengan demikian, tidak akan ada kehidupan.
Demikianlah, teori kebetulan tentang alam ini tertolak dengan sendirinya. Dan sesungguhnya di balik alam raya ini ada arsiteknya, Allah Yang Maha Pencipta.

Wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan alam raya ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksa neraka.

Asal kejadian alam raya (ashlu nasy’atil kauni)

Menurut data yang diperoleh pada abad ke-20, ternyata alam semesta ini ada secara tiba-tiba setelah sebelumnya tidak ada. Teori ini dikenal dengan sebagai teori Ledakan Dahsyat (Big Bang) yang berpandangan bahwa alam semesta ini pada mulanya terjadi ledakan.
Ada bukti kuat yang mendukung teori Ledakan Dahsyat. Meluasnya alam semesta merupakan salah satunya, dan bukti yang signifikan mengenai hal ini adalah saling menjauhnya galaksi-galaksi dan benda-benda langit. Untuk memahaminya dengan lebih baik, alam semesta dibayangkan sebagai permukaan balon yang digelembungkan. Seperti halnya bagian-bagian permukaan balon yang digelembungkan. Seperti halnya bagian-bagian permukaan balon yang saling menjauh ketika balon digelembungkan, demikian jugalah benda-benda angkasa yang saling menjauh tatkala alam semesta meluas.
Dalam hal ini mari kita merujuk kepada ayat Al-Qur’an yang relevan dengan teori diatas.
وَالسَّمَآءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ (الذاريات : 47)
Dan, langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa.” (QS adz-Dzariyaat : 47).
Pada ayat lain tentang langit, Allah berfirman :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا إِنَّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُوْنَ (الأنبياء : 30)
“Dan, apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan, dari air, Kami menjadikan segala sesutatu yang hidup. Maka, mengapakah mereka tiada yang beriman.” (QS al-Anbiya’ : 30).
Menurut kamus-kamus Arab, kata asal ratq yang diterjemahkan ‘terpadu’ dalam ayat ini berarti “sesuatu yang tertutup, padat, kedap, bergabung menjadi satu dalam massa yang berat”. Menurut terminologi fiqh Islam, jika ternyata calon istri kita ‘rataq’ boleh dibatalkan karena fungsi bilogisnya tertutup oleh tulang, sehingga menghambat jalinan keharmonisan keluarga.
وَتُرَدُّ الْمَرْأَةُ بِخَمْسَةِ عُيُوْبٍ : بِالْجُنُوْنِ وَالْجُذَامِ وَالْبَرَصِ وَالرَّتْقِ وَالْقَرْنِ
“Istri boleh dikembalikan (diceraikan) karena 5 hal, yakni : (1) gila, (2) berpenyakit kusta, (3) berpenyakit sopak, (4) alat kelamin tertutup tulang, dan (5) alat kelamin tersumbat daging.” (Kifaayatul Akhyaar, juz II, hal. 59).
Maksudnya ayat ini, dipakai untuk dua potong yang berlainan yang membentuk entitas. Pernyataan “pisahkan” adalah kata kerja “fatq” dalam bahasa Arab dan ini berarti memecah obyek dalam keadaan ratq. Sebagai misal, penumbuhan benih dan tampilan pucuk-pucuknya di bumi diungkapkan dengan kata kerja ini.

Kini, mari kita melihat kembali ayat yang menunjukkan bahwa langit dan bumi itu dalam keadaan ‘ratq’ lalu keduanya diartikan ‘dipisahkan’ dalam kata kerja ‘fatq’. Maksudnya, yang satu menerobos yang lain dan membuat jalan keluarnya.
Sungguh, bila kita mengingat peristiwa pertama Ledakan Dahsyat, kita lihat bahwa bintik yang disebut ‘telur kosmik’ itu mengandung semua bahan alam semesta. Segala sesuatu, bahkan “langit dan bumi” yang belum tercipta pun, terkandung dalam bintik ini dalam keadaan ‘ratq’. Sesudah itu, telur kosmik ini meledak, kemudian semua zat menjadi ‘fatq’. Yang menarik temuan-temuan ilmiyah ini belum ada sebelum abad ke-20.
Yang terang alam semesta berjalan menurut aturan yang pasti. Semuanya bertasbih menurut bahasanya masing-masing. Sedangkan, kita di bagian alam yang kecil ini tidak bersedia tunduk kepada aturan Allah, alangkah sombongnya kita.
وَالسَّمَآءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَ . أَلاَّ تَطْغَوْا فيِ الْمِيْزَانِ (الرحمن : 7-8)
“Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.” (QS ar-Rahman : 7-8).
يَوْمَ نَطْوِى السَّمَآءَ كَطَيِّ السِّجِلِّ لِلْكُتُبِ كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيْدُهُ وَعْدًا عَلَيْنَا إِنَّا كُنَّا فَاعِلِيْنَ (الأنبياء : 104)
“(Yaitu) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kertas. Sebagaimana Kami telah memulai pertama begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati, sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS al-Anbiya’ : 104).

وَالشَّمْشُ تَجْرِيْ لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ (يس : 38)

“Dan, matahari beredar di tempat peredarannya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS Yasin : 38).

ika kita salah dalam mengelola alam raya ini, maka akan mendatangkan bencana.

َوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فىِ نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوْبُهُمْ وَظُهُوْرُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ ِلأَنْفُسِكُمْ فَذُوْقُوْا مَاكُنْتُمْ تَكْنِزُوْنَ (التوبة : 35)

“Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS at-Taubah : 35).

وَلاَ يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا آتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ هُوَخَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَِللهِ مِيْرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاللهُ بِمَا يَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ (آل عمران : 180)

Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi.” (QS Ali Imran : 180).

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id


Mengenal Manusia

Makna “al-‘alaq” secara kebahasaan (lughatan)
Pada ayat kedua aurat al-‘Alaq Allah menampakkan perbuatan-Nya “khalaqal insana min ‘alaq” (Dia menciptakan manusia dari segumpal darah). Dari ayat ini menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu al-Khaliq (Pencipta) dan manusia adalah makhluk yang diciptakan dari segumpal darah.
Pengenalan disini tidak hanya tertuju kepada rasio manusia, tetapi juga kepada kesadaran batin dan intuisinya, bahkan seluruh totalitas manusia. Pengenalan dengan mata hati diharapkan membimbing akal dan fikiran sehingga anggota tubuh dapat menghasilkan perbuatan yang baik dan memeliharanya.
Kata “al-insan” yang berarti manusia terambil dari akar kata “uns” (jinak, senang dan harmonis), atau ia terambil dari akar kata “nis-yun” yang berarti lupa. Atau terambil dari akar katanya “naus” yaitu pergerakan atau dinamika. Makna-makna diatas memberikan gambaran tentang potensi yang dimilikinya, lupa, kemampuan bergerak yang melahirkan dinamika, makhluk yang sewajarnya melahirkan rasa senang, jinak dan harmonis pada pihak-pihak lain.
Berbeda dengan “basyar” yang juga diterjemahkan manusia, tetapi dari aspek fisik (QS al-Kahfi : 110). Tetapi pada ayat berikut mencakup fisik dan psikis.
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فىِ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ (التين : 4)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tiin : 4).
Al-Qur’an mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah, memperkenalkan jatidirinya, antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya. Ayat kedua surat al-‘Alaq menguraikan secara singkat hal tersebut, kemudian diperkuat oleh ayat yang lain berikut.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ طِيْنٍ . ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فيِ قَرَارٍ مَكِيْنٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ (المؤمنون : 12-14)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. Kemudian saripati itu Kami jadikan nuthfah dalam tempat yang kokoh (rahim), kemudian nuthfah itu Kami jadikan ‘alaqah. Lalu ‘alaqah itu kami jadikan mudhgah (segumpal daging) dan mudhghah itu Kami jadikan tulang. Selanjutnya tulang itu Kami bungkus dengan daging. Kamudian Kami jadikan ia makhluk yang berbentuk lain (yakni bukan sekedar fisik, ruh). Mahasucilah Allah, sebaik-baik Pencipta.” (QS al-Mu’minun :12-14).
Ayat diatas menyimpulkan proses kejadian manusia dari segi fisik dalam lima tahap : (1) nuthfah (pertemuan sperma dan ovum), (2) ‘alaqah, (3) mudhghah (segumpal daging), yakni pembentukan organ-organ vital yang dalam surat al-Hajj : 5 dirinci bahwa ada mudhghah mukhollaqah (terbentuk secara sempurna) dan ada pula ghairu mukhallaqah (terbentuk secara tidak sempurna), (4) ‘izham (tulang), (5) lahm (daging).
Kata ‘alaq’ dalam surat al-‘Alaq berarti menempel, melekat, berdempet serta masuk ke dinding rahim. Sekalipun ada yang mengatakan segumpal darah. Tetapi para ahli bahasa Arab menyatakan bahwa sesuatu diberi nama sesuai dengan sifatnya. Seperti hati di beri nama ‘qalb’ karena sifatnya yang berbolak-balik.

Makna “al-‘alaq” secara istilah (ishthilahan)

Ketika spermatozoa laki-laki menyatu dengan ovum (sel telur) perempuan, terbentuklah bahan dasar calon bayi. Sel tunggal ini, yang dalam ilmu biologi dikenal sebagai zygot, akan mulai berkembang dengan sendirinya melalui pembelahan dan akhirnya menjadi ‘sepotong daging’ (mudhghah).
Akan tetapi, zygot itu tidak menjalani masa perkembangannya dalam ruang hampa. Zygot melekat pada rahim bagaikan akar-akar yang tertancap dengan kokoh di tanah dengan sulur-sulur mereka. Melalui ikatan ini, zygot bisa memperoleh bahan-bahan dari tubuh ibunya yang amat penting bagi pertumbuhannya. Yang menarik, dalam Al-Qur’an, Allah selalu menyebut zygot yang berkembang di rahim sang ibu sebagai ‘alaq.

أَيَحْسَبُ اْلإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى . أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنىَ . ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى . فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَاْلأُنْثَى (القيامة : 36-39)

“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan tidak terurus? Bukankah dia dahulu hanya setitik mani yang dipancarkan? Kemudian, mani itu menjadi ‘alaqah, lalu (Allah) menciptakannya dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS al-Qiyamah : 36-39).
Makna Arab untuk kata ‘alaqah adalah ‘sesuatu yang melekat di suatu tempat’. Kata ini secara harfiah dipakai untuk mengungkapkan lintah yang melekat di tubuh untuk mengisap darah. Tentu saja inilah kata terbaik yang memungkinkan untuk memaparkan keadaan zygot yang melekat di dinding rahim dan menyerap makanannya dari situ.
Al-Qur’an mengungkap lebih banyak lagi mengenai zygot. Dengan secara sempurna melekat di dinding rahim, zygot itu mulai tumbuh. Sementara itu, rahim si ibu terisi dengan suatu cairan yang disebut cairan amnion yang mengitari zygot. Corak terpenting cairan amnion (tempat pertumbuhan bayi) adalah melindungi bayi dari pukulan-pukulan yang berasal dari luar. Fakta ini terungkap dalam Al-Qur’an.

أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَآءٍ مَهِيْنٍ . فَجَعَلْنَاهُ فيِ قَرَارٍ مَكِيْنٍ (المرسلات : 20-21)

“Bukankah Kami menciptakan kamu dari cairan yang hina, kamudian Kami tempatkan dia di tempat yang kokoh terlindung (rahim).” (QS al-Mursalat : 20-21; al-Mu’minun : 12-14; al-Infithar : 6-8).
Informasi ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berasal dari satu sumber yang mengetahui pembentukan ini hingga serinci-rincinya. Omong kosong sajalah yang mengatakan mengenai kelahiran manusia secara kebetulan.

Kesan yang dimunculkan

Kesan ayat “khalaqal insana min ‘alaq” tidak hanya berbicara tentang reproduksi manusia tetapi menekankan tentang sifat bawaan manusia sebagai makhluk sosial, seperti dikemukakan sebelum ini bahwa diantara arti ‘alaq adalah “ketergantungan”. Sehingga dapat dipahami bahwa manusia itu makhluk yang telah diciptakan Allah dengan memiliki sifat ketergantungan kepada pihak-pihak lain sampai akhir perjalanan hidupnya. Al insanu makhlukun madaniyyun (keberadaan manusia karena keterikatan dengan orang lain), kata sosilolog muslim Ibnu Khaldun. Bahkan agama adalah hubungan interaksi yang baik (ad-diinu al-mua’amalah). Disamping itu, makhluk sosial tidak dapat hidup dalam bentuk apapun kecuali menggantungkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kata ‘alaq diartikan sebagai salah satu periode kejadian manusia, mengantarkannya kepada kesadaran tentang asal-usulnya. Sedangkan kesan dari kata itu menimbulkan kesadaran tentang ketergantungan kepada banyak pihak yang pada akhirnya memandu manusia menyadari keterikatan dengan lingkungannya, dunianya, bahkan menyadari kebesaran dan kekuasaan Allah Yang Maha Pencipta (al-Khaliq).
Ini pula yang membuka pintu pikiran (wijhah) dan mata batinnya (bashirah), orientasi (ittijah), pola pikir (tashawwur) manusia menuju pengenalan diri, lingkungan dan Sang Khaliq. Pengenalan (ma’rifat) tersebut merupakan jenis pengetahuan yang paling mendasar. Al-Qur’an memberikan pesan penting ini.

وَلاَ تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُوْنَ (الحشر : 19)

“Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Tuhan, maka Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS al-Hasyr : 19).
Manusia yang lalai adalah manusia yang tidak mengingat asal kejadiannya, dan tidak menyadari siapa yang menghadirkannya di dunia ini. Ketika seseorang berjalan menelusuri padang sahara, kemudian tersesat, tiba-tiba datang seorang pemandu; maka yang pertama kali dia beri ucapan terima kasih adalah pemandu itu. Itulah Allah dan utusan-utusan-Nya.

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Selasa, 04 November 2008

Mengenal "Rabb"

Ditulis oleh Admin

Dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang menunjukkan bahwa manusia itu ateis (mulhid). Karena keberadaan Tuhan begitu jelas, tidak perlu dibuktikan. Berikut dijelaskan hujjah eksistensi Tuhan.

Fakta sejarah (ad-dalil at-tarikhi)

Dari masa ke masa ditemukan hampir semua ummat manusia mempercayai kekuatan di balik alam ini (Tuhan). Hanya saja ungkapan wujud Tuhan digambarkan sesuai dengan tingkat peradaban manusia. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak tuhan) : bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah Dewa Kecantikan, Mars adalah Dewa Peperangan, Minerva adalah Dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Matahari.

Orang-orang Hindu mempunyai banyak dewa, yang diyakini sebagai tuhan-tuhan. Keyakinan itu tercermin antara lain dalam Hikayat Mahabarata. Masyarakat Mesir, tidak terkecuali. Mereka meyakini adanya Dewa Isis, Dewi Osiris, dan yang tertinggi Ra’. Masyarakat Persia pun demikian, mereka percaya bahwa ada Tuhan Gelap dan Tuhan Terang.

Para ahli filsafat setelah menerawang, berfikir, merenung, membanding, mengukur, menjangka, pendeknya memfilosofi, sampailah ia di ujung perjalanan. Yakinlah ada sesuatu Yang Maha Mutlak, Dialah ‘puncak ideal’ (kata Plato). Dialah ‘Tao’, yang tak dapat diberi nama (kata Lao Tze). Maka insaflah kelemahan dirinya.
Pengaruh keyakinan tersebut merambah ke masyarakat Arab, walaupun jika mereka ditanya tentang Penguasa dan Pencipta langit dan bumi mereka menjawab, “Allah”. Tetapi dalam waktu yang sama mereka menyembah juga berhala-berhala al-Lata, al-Uzza, dan Manata, tiga berhala terbesar mereka, di samping ratusan berhala lainnya. Definisi Allah bagi kaum jahiliyah berbeda dengan Allah menurut al-Qur’an.
Al-Qur’an datang untuk meluruskan keyakinan itu, dengan membawa ajaran tauhid. Berbicara tentang Allah versi Allah saja terulang sebanyak 2697 kali.

Fakta fitrah (ad-dalil al-fithri)

Jangankan al-Qur’an, Kitab Taurat dan Injil dalam bentuknya yang sekarang pun (Perjanjian Lama dan Baru) tidak menjelaskan wujud Tuhan. Karena keberadaan-Nya sedemikian jelas dan terasa. Sehingga tidak perlu dijelaskan.

Kehadiran Tuhan merupakan bawaan (fithrah) manusia sejak asal kejadiannya.

َأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًا فِطْرَتَ اللهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الروم : 30)

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tiada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum : 30).

َإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِيْ آدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوْا بَلَى شَهِدْنَا (الأعراف : 172)

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau tuhan kami), kami menyaksikan’"(QS Al-A’raf: 172).

Apabila kita berhenti sejenak dari kesibukan hidup, termenung seorang diri, terdengarlah suara dhamir (hati), mengajak kita berdialog untuk mengajak menyatu dengan totalitas wujud Yang Maha Mutlak.
Suara itu mengantar kita betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya. Dan betapa Maha Kuasa dan Perkasa Dia Yang Maha Agung itu. Suara itu adalah suara hati nurani. Setiap orang dengan berbagai kedudukannya memiliki fithrah itu. Fithrah yang terbawa sejak kelahirannya. Sekalipun seringkali – karena kesibukan dan dosa-dosa – ia terabaikan dan tertutup. Suaranya begitu lemah sehingga tak terdengar lagi.
Tetapi bila diusahakan untuk didengarkan, kemudian benar-benar tertancap di dalam jiwa, maka hilanglah semua unsur-unsur ketergantungan lain kecuali kepada Allah. Tiada tempat bergantung, menitipkan harapan, tempat mengabdi kecuali Allah. Tiada daya untuk mendatangkan manfaat, tiada pula kuasa untuk menolak madharrat, kecuali bersumber dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung (laa haula wa laa quwwata illa billahi ‘aliyyil ‘azhim).
Kemudian setelah itu tidak ada lagi rasa takut yang menghantui atau mencengkeram, tiada pula rasa sedih yang akan mencekam (QS Fushshilat : 30; ar-Ra’d : 28).
Memang ada saat-saat dalam hidup ini – singkat atau panjang – dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya (QS al-Jatsiyah : 24), bahkan menolak kehadiran-Nya. Akan tetapi, keraguan itu akan beralih menjadi kegelisahan, khususnya ketika ia merenung dan tertimpa musibah (QS Yunus : 22). Jadi kebutuhan ber-Tuhan permanen, sementara mengingkari Tuhan bersifat temporal.
Beralasan, jika dikatakan bahwa mereka yang tak mempercayai wujud Tuhan adalah orang-orang yang keras kepala. Ini dapat dipahami dari ayat yang menguraikan diskusi yang terjadi antara Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan Namrud (QS al- Baqarah :258). Fir’aun, ketika berhadapan dengan Musa ‘alaihis salam bertanya, “Siapa tuhan semesta alam itu?” (QS asy-Syu’ara’ : 23).
Bukti pernyataan yang lahir dari sikap keras kepala adalah pengakuan Fir’aun sendiri ketika ruhnya akan terlepas dari jasadnya. Al-Qur’an menjelaskan sikap Fir’aun yang ketika itu kembali ke fithrah, tetapi terlambat.

حَتىَّ إِذَا أَدْرَكَهُ الْغَرَقُ قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الَّذِيْ آمَنَتْ بِهَ بَنُوْ إِسْرَآءِيْلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ آْلآنَ وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ (يونس : 90-91)

Hingga saat Fir’aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Yunus : 90-91).

Fakta indrawi (ad-dalil al-hissi)

Ada sebagian orang menuntut bukti wujud Tuhan dengan pembuktian material. Mereka ingin segera melihat-Nya secara langsung. Nabi Musa ‘alaihis salam suatu ketika pernah bermohon agar Tuhan menampakkan diri-Nya kepadanya, sehingga Tuhan berfirman sebagai jawaban permohonanya.

قَالَ لَنْ تَرَانِيْ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلىَ الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِيْ فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوْسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِيْنَ (الأعراف : 143)

“Engkau sekali-kali tidak dapat melihat-Ku. Tetapi lihatlah ke bukit itu, jika ia tetap di tempatnya (seperti keadaannya semula), niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian tersebut menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada-Mu, dan aku orang yang pertama (dari kelompok) yang beriman’.” (QS al-A’raf : 143).
Kejadian itu membuktikan bahwa manusia agung pun tidak mampu melihat-Nya – paling tidak – dalam kehidupan di dunia ini. Agaknya kenyataan sehari-hari membuktikan bahwa kita mengakui sesuatu tanpa harus melihatnya. Bukankah kita mengakui adanya angin, hanya dengan merasakan atau melihat bekas-bekasnya? Bukankah kita mengakui adanya “nyawa” bukan saja tanpa melihatnya bahkan mengetahui eksistensinya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan makhluk tak bisa melihat sesuatu.
Pertama, sesuatu yang dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan. Sebutir pasir pada malam hari tidak mungkin ditemukan seseorang. Namun bukan berarti pasir tidak ada.
Kedua, sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya sinar matahari dibandingkan dengan kemampuan matanya untuk melihat. Tetapi bila malam tiba, dengan mudah ia dapat melihat. Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalm beberap saat saja, bahkan sesaat setelah melihatnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikian wajar jika mata kepalanya Tuhan Pencipta matahari.
Sayidina Ali radhiyallahu ‘anhu pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, Zi’lib al-Yamani.

قِيْلَ : هَلْ رَأَيْتَ رَبَّكَ؟ قَالَ : وَكَيْفَ أَعْبُدُ مَا لاَ أَرَاهُ؟ قِيْلَ : وَكَيْفَ تَرَاهُ؟ قَالَ : لاَ تَرَاهُ الْعُيُوْنُ بِمُشَاهَدَةِ الْعِيَانِ وَلَكِنْ تُدْرِكُهُ الْقُلُوْبُ بِحَقَائِقِ اْلإِيْمَانِ.

Ditanyakan, “Apakah anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” Ditanyakan lagi, “Bagaimana anda melihatnya?” Imam Ali menjawab, “Dia tak dapat dilihat oleh mata dengan pandangannya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.
Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankan mata kita sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai, bayangan kita lihat tetap, padahal bergerak. Dari kejauhan kita melihat air, ternyata fatamorgana. Binatang yang besar terlihat kecil dari kejauhan.

Fakta logika (ad-dalil al-‘aqli)

Banyak ayat-ayat yang menjelaskan argumen logika tentang keesaan Tuhan.

لَوْ كَانَ فِيْهِمَا آلِهَةٌ إِلاَّ اللهُ لَفَسَدَتَا (الأنبياء : 22)

“Seandainya pada keduanya (langit dan bumi) ada dua Tuhan, maka pastilah keduanya binasa.” (QS al-Anbiya : 22).
Seandainya ada dua pencipta, maka akan kacau ciptaannya. Karena jika masing-masing pencipta menghendaki sesuatu yang tidak disetujui olah yang lain, maka kalau keduanya berkuasa, ciptaan pun akan kacau atau tidak akan terwujud. Kalau salah satu mengalahkan yang lain, maka yang kalah bukan Tuhan. Dan apabila keduanya bersepakat, itu merupakan bukti kebutuhan dan kelemahan mereka, sehingga keduanya bukan Tuhan, karena Tuhan tidak mungkin membutuhkan sesuatu atau lemah atas sesuatu. Fenomena keteraturan, ketetapan, petunjuk, rezeki, kasih sayang, moral, di alam raya ini adalah bukti keesaan Tuhan.

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً رَجُلاً فِيْهِ شُرَكَآءُ مُتَشَاكِسُوْنَ وَرَجُلاً سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلاً الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الزمر : 29)

“Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang lelaki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan saling berselisih (buruk perangai mereka), dengan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang raja. Adakah keduanya (budak-budak itu) sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS az-Zumar : 29).
Ayat ini menggambarkan bagaimana keadaan seseorang yang harus taat kepada sekian banyak orang yang memilikinya, tetapi pemilik-pemiliknya itu saling berselisih dan buruk perangainya. Alangkah bingungnya dia. Majikan yang satu memerintahkan satu hal, belum lagi selesai datang yang lain mencegah atau mengintruksikan hal yang berbeda. Begitulah seterusnya, sehingga pada akhirnya budak itu hidup dalam kompleks kejiwaan yang tak diketahui bagaimana menanggulanginya. Bandingkan dengan seorang budak lain yang hanya milik penuh seseorang sehingga ia tidak mengalami dan kontradiksi.
Sementara orang ada yang membuat kemungkinan berikut, yakni bahwa manusia ingin hidup bebas. Sesungguhnya keinginan itu disamping mustahil, bertentangan dengan kemanusiaannya, karena berarti tidak ketika itu tidak mengakui adanya hukum, tujuan, keinginan, ide – dalam arti dia kosong sama sekali dari keyakinan tertentu – dan keadaan demikian mencabut dari hakikat kemanusiaannya. Keadaan semacam ini tidak ada wujudnya dalam kehidupan manusia di dunia. Orang yang liberal, pasti dalam hidupnya dilandasi oleh keyakinan tertentu atau berusaha mencari ide/keyakinan tertentu. Manusia harus menerima wewenang pengaturan dari keyakinan tertentu (ide yang ada dalam hatinya). Wajar, jika al-Qur’an pada ayat diatas menggunakan istilah yang mengandung arti rajulan, budak (seseorang yang dimiliki oleh pihak lain). (Allah dalam Kehidupan Manusia, karya Murtadha Muthahhari).
Keadaan ruwet yang dilukiskan oleh ayat diatas, terbukti kebenarannya dalam kenyataan hidup orang-orang yang lemah imannya, karena memiliki banyak keyakinan yang kontradiktif. Orang yang semacam ini didominasi sekian penguasa yang buruk perangainya sehingga ia mengidap penyakit kejiwaan kepribadian terbelah (split personality). Akidah tauhid adalah kebutuhan jiwa manusia untuk memperoleh kepastian hidup.
Berikut rangkaian pertanyaan yang menunjukkan akan kebutuh-an asasi itu : “Siapa yang menjamin bila Anda melontar ke depan, maka batu itu tidak mengarah ke belakang? Apa yang menjamin bahwa air selalu mencari tempat yang rendah? Siapa yang menjamin bahwa sekali waktu api itu tak membakar?”

Fakta tekstual (ad-dalil an-naqli)

Al-Qur’an secara harfiyah bermakna “bacaan sempurna” merupakan nama pilihan Allah yang tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an Al Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya atau tidak bisa menulis aksaranya , dan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak melebihi Al-Qur’an.
Tiada bacaan yang memiliki perhatian sedemikian rupa, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya melebihi Al-Qur’an.
Tiada bacaan yang dipelajari sedemikian serius, bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, kandungannya yang tersurat, yang tersirat bahkan sampai kesan yang ditimbulkannya, melebihi Al-Qur’an. Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, dari generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tidak kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semuanya mengandung kebenaran. Al-Qur’an adalah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan yang diatur tatacara membacanya, mana yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal, diperhalus ucapannya, dimana tempat yang terlarang atau boleh, atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika membacanya. Senandung Al-Qur’an “Kalamun” berikut yang dibaca para ulama’ usai ta’lim atau tadarrus Al-Qur’an secara bersama-sama.

كَلاَمٌ قَدِيْمٌ لاَ يُمَلُّ سَمَاعُهُ تُنَزَّهَ عَنْ قَوْلٍ وَفِعْلٍ وَنِيَّةِ
بِهِ أَشْتَفِيْ مِنْ كُلِّ دَاءٍ وَنُوْرُهُ دَلِيْلٌ لِقَلْبِيْ عِنْدَ جَهْلِيْ وَحَيْرَتِيْ
فَيَارَبِّ مَتِّعْنِيْ بِسِرِّ حُرُوْفِهِ وَنَوِّرْ بِهِ سَمْعِيْ وَقَلْبِيْ وَمُقْلَتِيْ
وَهَبْ لِيْ بِهِ فَتْحًا وَعِلْمًا وَحِكْمَةً وَأَنِسْ بِهِ يَا رَبِّ فيِ الْقَبْرِ وَحْشَتِيْ

“Suatu firman yang qadim yang tidak ada bosan mendengarnya (yakni Kitab Suci Al-Qur’an). Dia suci (unggul atau tidak mungkin terdiri) dari segala ucapan, perbuatan, dan niat. Dengan Al-Qur’an kami minta kesembuhan dari segala penyakit. Cahayanya merupakan petunjuk bagiku dalam gulita dan gulana hati. Ya Rabbi, berikanlah kepadaku kenikmatan (kegembiraan) karena rahasia (misteri) huruf-hurufnya. Terangilah dengan Al-Qur’an pendengaran, nurani, dan ucapakanku. Anugerahkan kepadaku dengannya keterbukaan hati, ilmu, dan hikmah. Dan, tentramkan rasa takutku di dalam kubur, dengannya, ya Rabbi.”
Adakah bacaan ciptaan makhluk yang seagung itu? Al-Qur’an menantang :

قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ اْلإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوْا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لاَ يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا (الإسراء : 88)

“Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun semacam Al-Qur’an ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya, walaupun mereka bekerja sama.” (QS al-Isra’ : 88).

Masihkah kita meragukan bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia?

sumber : http://hidayatullah.or.id

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa