Masjidil Haram

Masjidil Haram

Kamis, 27 November 2008

Karakteristik Konsep Allah

Rabbani

Konsep Allah memiliki keistimewaan yang membedakannya dengan undang-undang lain buatan manusia, yaitu bersifat rabbaniyyah. Lebih tepatnya, rabbaniyyatul mashdar dan rabbaniyyatul ghayah (bersumber dari Allah dan tujuan akhir karena Allah).

Konsep Allah bercelupkan keagamaan, terbungkus oleh kesucian yang tiada taranya dan menanamkan kepada penganutnya rasa cinta dan hormat yang bersumber dari mata air keimanan dengan kesempurnaan, keluhuran dan kemuliaannya, bukan bersumber dari rasa takut terhadap kekuasaan legislatif dengan aparatnya.

Konsep itu bukan produk manusia yang kemampuannya terbatas dan terpengaruh oleh kondisi, tempat, dan waktu, terpengaruh oleh hawa nafsu, perasaan dan pertimbangan kemanusiaan.

Sedangkan Allah adalah Dzat Yang Mencipta dan Memiliki semua makhluk, Pengatur semesta alam ini, Menciptakan manusia, Maha Mengetahui apa yang bermanfaat dan apa-apa yang maslahat serta yang bisa memperbaiki.
أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الملك : 14)

“Ingatlah, (Allah Yang Mencipta), Maha Mengetahui, dan Dia Maha Halus lagi Maha Awas.” (QS al-Mulk : 14).

Kaum muslimin meyakini bahwa konsep Allah paling sempurna, syamil, paling adil, paling mampu mewujudkan kebajikan dan menolak berbagai macam keburukan. Konsep Allah berhasil menegakkan kebenaran dan menumbangkan dan mencabut mafsadat ke akar-akarnya. Dan seorang muslim dapat merasakan kepuasan dengan keadilan dan kebajikannya.

Seorang muslim juga meyakini dalam lubuk hatinya bahwa Allah selalu mengawasi ketika ia tengah menjalankan konsep ini atau pada saat ia meninggalkannya. Dia meyakini bahwa Allah mencatat perbuatannya itu untuk di-hisab saat seluruh manusia dibangkitkan untuk melihat amal perbuatannya.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (الزلزلة : 7-8)

“Maka barangsiapa yang beramal kebajikan sebobot zarrah pun, ia psti akan melihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan sebesar zarrah pun, pasti ia akan menemuinya.” (QS Az-Zalzalah : 7-8).

Akhlaqiyah (membentuk moral)

Konsep Allah memiliki keunggulan membentuk moral dalam seluruh aspeknya, sebagai buah dari sifat rabbaniyah-nya. Dengan demikian, konsep Allah lebih mengutamakan akhlak dengan seluruh yang tercakup di dalamnya.

إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ مَكَارِمَ اْلأَخْلاَقِ (رواه الحاكم)

“Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR al-Hakim).

Disini terlihat perbedaan antara konsep Allah dengan qanun dari sisi kandungan maupun tujuannya. Kandungan undang-undang buatan manusia adalah serangkaian hak-hak pribadi dan perorangan, sementara konsep Allah mencakup sekumpulan taklif (tugas). Dan, hukum syara’ adalah kalamullah yang berkaitan dengan pekerjaan mukallaf (yang dikenai beban dan tugas).

Qanun memandang manusia dari segi hak-haknya, sedangkan konsep Allah melihat manusia dari segi kewajibannya. Tugas dan kewajiban ini ialah hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, maka ia harus menjaganya sesuai dengan penjagaannya terhadap hak-haknya atas orang lain. Selain itu, manusia dalam pandangan qanun sebagai penuntut, sedang dalam pandangan konsep Allah ia dituntut dan diminta tanggung jawab (mas’uliyah) karena ia makhluk yang diberi taklif, diperintah dan dilarang. Ia tidak diciptakan untuk main-main, sia-sia atau dibiarkan saja. Tetapi, ia memiliki hak dan kewajiban.

Adapun dari segi tujuan, qanun punya tujuan yang bermanfaat dan terbatas, yaitu langgengnya masyarakat dan teraturnya dan berbagai perkara di dalamnya terutama yang bersifat material serta menegakkan disiplin. Inilah yang diciptakan oleh para pembuat qanun, hatta walau pun kandungannya – bisa jadi –menuntut penyimpangan dari akhlak dan agama.

Selanjutnya, jika kita melihat konsep Allah, maka tujuannya di samping memelihara kelanggengan masyarakat dan keteraturan hubungan sesamanya, juga mewujudkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan ummat manusia. Mengangkat mereka ke derajat kemanusiaan yang luhur serta memelihara nilai-nilai akhlak dan ruhani yang tinggi.

Realistis (waqi’iy)

Ciri-ciri lain dari konsep Allah ialah bersifat realistis, dimana perhatiannya terhadap nilai-nilai luhur akhlaq tidak menghalanginya untuk menaruh perhatian terhadap realita yang ada. Mendiagnosis berbagai penyakit yang di deritanya sekaligus memberikan resepnya.

Konsep Allah tidak berdayung di lautan khayal. Juga tidak terbang di awang-awang dan di angkasa. Keteladanan yang semu yang membentuk manusia tanpa wujud seperti yang diperbuat Plato dengan Republic-nya. Dan seperti apa yang menjadi utopia ajaran komunisme tentang masyarakat yang kehilangan hak milik dan tidak membutuhkan suatu pemerintah, hukum pertahanan, keamanan dan penjara.

Konsep Allah diturunkan untuk manusia sesuai dengan kejadiannya, yang Allah ciptakan dengan fisik yang berasal dari bumi dan ruh yang berasal dari langit; dengan rasa cinta yang melambung dan naluri yang merendah. Allah mengakui dorongan kedurhakaan dan ketakwaan yang senantiasa bertempur di dalam jiwa mereka.

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوَاهَا (الشمس : 7-8)

“Dan, demi jiwa dan apa-apa yang meluruskannya. Maka Dia mengilhaminya akan kedurhakaannya dan ketaqwaannya.” (QS Asy-Syams : 7-8).

Insaniyah (manusiawi)

Konsep Allah bersifat insaniyah dan ‘alamiyah. Makna insani-yah ialah ia diturunkan untuk meningkatkan taraf hidup manusia, membimbing dan memelihara sifat-sifat humanistik-nya serta menjaga dari kedurjanaan sifat hewani agar tidak mengalahkan sifat kemanusiaannya. Untuk itu, maka disyariatkanlah semua bentuk ibadah bagi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Dengan demikian manusia bukan semata-mata raga yang terdiri dari unsur tanah yang membutuhkan makan, minum dan nikah, tetapi ia juga ruh yang luhur yang menempati raga itu.

Konsep Allah juga memelihara kemuliaan manusia yang dianugerahkan Allah Sang Pencipta, yang Menjadikannya khalifah di muka bumi dan yang Menyuruh malaikat bersujud kepadanya serta yang telah Mengabadikan kemuliaan itu dalam kitab-Nya.

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ (الإسراء : 70)

“Dan sungguh Kami telah memuliakan bani Adam (manusia).” (QS al-Isra’ : 70).

Konsep Allah menaruh perhatian besar terhadap manusia seutuhnya, baik raga, jiwa maupun pikirannya. Konsep Allah memperhatikan raga manusia dengan mewajibkan pemelihara-annya dan melarang segala bentuk penyiksaan walaupun dengan ibadah.

Teratur (tanasuq)

Ciri konsep Allah lainnya adalah teratur. Yakni semua bagian-bagiannya masing-masing bekerja teratur, kompak dan seimbang dalam rangka mencapai satu tujuan bersama. Antara yang satu dengan lain tidak berbenturan tapi sejalan dan seirama, teratur dan rapi. Karakteristik ini bisa juga dinamakan dengan takamul (komperhensip).

Keteraturan dan keserasian dalam fenomena alam (khalqiyah) dan konsep Allah (kalimatullah) sebagai suatu keseimbangan (tawazun), kita temui sebagai suatu gejala yang tampak pada setiap apa-apa yang disyariatkan Allah, tampak pada setiap makhluq-Nya.

Universal (syumul)

Konsep Allah mencakup aspek ibadah yang mengatur hubungan dengan Rabb-nya. Masalah ini dijelaskan oleh fiqh ibadah yang terdiri dari bab thaharah, shalat, shaum, hajji, nadzar, udh-hiyyah (berkorban), ayman (sumpah) dan hal-hal lain yang tidak pernah dikenal dalam qanun.

Mencakup pula hukum kerumahtanggaan (nizhamul usrah), seperti nikah, thalaq, mengatur rumah tangga, nafkah, wasiat, waris, dan hal-hal yang termasuk dalam masalah pembentukan rumah tangga Islami dan segala upaya mempertahankannya, masalah ‘iddah, dan lain-lain. Hukum ini dikenal dengan Hukum Pribadi (al-ahwal asy-syakhshiyah).

Juga mencakup segi mu’amalah, transaksi seperti jual beli, gadai, hibah, utang-piutang, join dalam usaha (syirkah), luqathah (barang temuan), dan sejenisnya yang bertujuan mengatur hubungan antarindividu dalam menggunakan harta dan menjaga hak masing-masing yang semua ini sekarang dinamakan Hukum Sipil.

Ia juga mencakup bidang ekonomi seperti berkaitan dengan pengembangan harta atau pemakaiannya sebagaimana pula berkaitan dengan pengatutan Baitul-Maal, tentang pemasukan dan pengeluaran zakat, harta ghanimah, fai’, pajak, serta hal-hal yang diharamkan Allah seperti riba, menimbun harta, memakan harta orang dengan cara batil, dan sebagainya.

Konsep Allah juga mencakup tindak pidana dan balasannya yang telah ditentukan dengan nash dan hadis seperti qishash, dan hukuman-hukuman lain seperti potong tangan bagi pencuri, mencambuk atau merajam pezina, mencambuk peminum minuman keras dan orang yang menuduh orang lain berzina. Atau sanksi-sanksi yang ketentuannya diserahkan kepada ulil amri, para qadhi atau hakim, yang disebut dalam fiqh dengan hukuman ta’zir (dera). Inilah yang dikenal undang-undang kejahatan dan Hukum Pidana (jinayat).

Juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan hukum, putusan, dakwaan, persaksian, iqrar (pengakuan), sumpah dan lainnya yang bertujuan menegakkan keadilan antar-umat manusia dan menyelesaikan suatu kasus atau perkara yang semua termasuk ke dalam apa yang disebut Hukum Acara.

Mencakup aspek undang-undang kepemimpinan, dasar kewajiban mengangkat pemimpin dan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi, cara pemilihannya, hak dan kewajibannya, hubungannya dengan dengan rakyat, hukum mentaatinya, serta bagaimana menghadapi pembangkang (oposisi) dan sejenisnya, yang bertujuan mengatur hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin. Ini termasuk ke dalam “Undang-undang Dasar”.

Mencakup masalah hubungan kenegaraan seperti mengatur hubungan negara Islam dengan negara-negara lain yang non-muslim, baik dalam kondisi perang maupun damai. Masalah yang berkaitan dengan penduduk non-muslim di negara Islam. Ini dibahas dalam fiqih Islam, dan sekarang ini semua tercakup ke dalam apa yang dinamakan Hukum Internasional.

Sumber : Sistematika Wahyu http://hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa