Masjidil Haram

Masjidil Haram

Rabu, 22 Oktober 2008

Prinsip Aqidah

Bacalah dengan nama Rabb-mu

Ditulis oleh Admin
Minggu, 06 April 2008
Perintah membaca dengan beragam maknanya pada ayat pertama surat al-‘Alaq diteruskan dengan “bismi rabbik” yang bermakna ‘dengan nama Tuhanmu’. Bi disini ada yang mengatakan hanya sekedar sisipan, ada yang berpendapat mengandung arti mulabasah (penyertaan), berarti “bacalah disertai dengan Nama Tuhanmu!”
Bismi rabbik adalah satu ungkapan. Sudah menjadi kebiasaan orang Arab sejak zaman dahulu hingga kini mengaitkan suatu pekerjaan yang dilakukan dengan nama sesuatu yang mereka muliakan. Ini dimaksudkan untuk memberikan kesan (atsar) yang baik atau katakanlah memberikan “berkat” (tambahan kebaikan material dan immaterial) untuk pekerjaan itu. Juga untuk menunjukkan bahwa pekerjaan tadi dilakukan semata-mata demi ‘dia’ yang disebut namanya itu.

Kebiasaan orang-orang Arab, ketua parlemen membuka sidang-sidang resmi dengan mengucapkan “bismillah wa bismi asy-sya’b” (atas nama Allah dan atas nama rakyat). Demikian pula anak lahir diberi nama tokoh tertentu, agar anak kelak memiliki harapan dan mencontoh sifat-sifat terpuji dari tokoh itu. Mengaitkan pekerjaan dengan nama Allah mengantarkan pelakunya ikhlas karena-Nya. Agar amalnya menghasilkan keabadian. Tanpa ketulusan semua amal akan punah.

وَقَدِمْنَآ إِلىَ مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَنْثُوْرًا (الفرقان : 23)

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan (tanpa keimanan dan keikhlasan) itu, lalu Kami jadikan amal tersebut (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS al-Furqan : 23).
كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللهُ الْحَقَّ وَالْبَاطِلَ فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَآءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فيِ اْلأَرْضِ (الرعد : 17)
“Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.” (QS ar-Ra’du : 17).
Menyertakan pekerjaan dengan nama Allah akan berbekas sepanjang zaman. Sebagaimana manusia yang dididik oleh Rasulullah dengan nama Allah, metode Allah, dan karena Allah melahirkan proses pertumbuhan yang menjengkalkan hati orang-orang kafir.
مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِيْنَ مَعَهُ أَشِدَّآءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءَ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُوْنَ فَضْلاً مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيْمَاهُمْ فيِ وُجُوْهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُوْدِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فيِ التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فيِ اْلإِنْجِيْلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَأَزَرَهُ فَاسَتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوْقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ (الفتح : 29)
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka : kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya, tanaman itu menyenangkan hati para penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” (QS al-Fath : 29).

Menurut Abdul Halim Mahmud (mantan Syaikh Al Azhar) dalam bukunya, Al-Qur’an fi Syahri al-Quran mengatakan :
Dengan kalimat iqra bismi rabbik, al-Qur’an tidak sekedar memerintahkan membaca, tetapi ‘membaca’ adalah simbol dari segala yang dilakukan manusia, baik yang sifatnya aktif maupun pasif. Kalimat tersebut dalam pengertian dan jiwanya ingin menyatakan “bacalah demi Tuhanmu”, “bergeraklah demi Tuhanmu”, “bekerjalah demi Tuhanmu”.

Demikian pula, apabila Anda berhenti bergerak atau berhenti melakukan aktifitas, maka hendaklah hal tersebut didasarkan pada bismi rabbika. Ayat tersebut akhirnya berarti “Jadikanlah seluruh kehidupanmu (duduk, berdiri dan berbaring), wujudmu, dalam cara dan tujuanmu, demi Allah”.

ada surat al-‘Alaq ini Allah memperkenalkan perbuatan-Nya dengan redaksi ‘rabb’. Padahal Allah memiliki sifat yang berkaitan dengan Dzat-Nya dan perbuatan-Nya (fi’il). Namun yang dikenalkan dalam ayat ini perbuatan-Nya terlebih dahulu. Sebab kegagahan kebangsawanan Allah merupakan zat yang tidak berbekas – secara langsung – pada makhluk-makhluk-Nya. Ia tidak bisa ditularkan dan diberikan.

Dengan sifat Tuhan yang berbentuk perbuatan (fi’li), seperti ‘rabb’, maka perintah membaca disini dengan nama Tuhan yang bersifat mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki makhluk-Nya, memberikan jejak secara otomatis untuk diikuti. Dan, Rabb yang menciptakan (al-Khaliq), mendidik, merawat, mengembangkan, meningkatkan, memperbaiki makhluk-Nya, wajar jika Dia yang berhak memilikinya (al-Malik). Fenomena rububiyyatullah, khalqiyyatullah dan mulkiyyatullah adalah kenyataan yang tidak bisa dihalangi oleh siapa pun.

Membangun tradisi ilmiah (iijadu al-bi’ah al-‘ilmiyyah)

Islam membentuk sikap mental ilmiah dengan berbagai cara.

1. Mencela taklid

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلىَ مَآ أَنْزَلَ اللهُ وَإِلىَ الرَّسُوْلِ قَالُوْا حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهَ ءَآبَآءُنَا أَوَلَوْ كَانَ ءَآبَآؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ شَيْئًا وَلاَ يَهْتَدُوْنَ (المائدة : 104)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, Marilah mengikuti (apa yang diturunkan) Allah dan (marilah mengikuti) Rasul. Mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan (apakah mereka akan mengikuti juga nenek-moyang mereka) walaupun nenek-moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS al-Maidah : 104).

2. Menolak persangkaan

وَمَا لَهُمْ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُوْنَ إِلاَّ الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لاَ يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا (النجم : 28)

“Dan mereka tidak mengetahui sesuatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan, padahal sesungguhnya persangkaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.” (QS an-Najm : 28).

“Jauhilah persangkaan karena persangkaan adalah sedusta-dusta perkataan.” (Muttafaq ‘Alaih)

3. Menolak emosi, hawa nafsu, dan pertimbangan pribadi, menetapkan prinsip netral dan obyektif

فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَآءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللهِ (القصص : 50)

“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun.” (QS al-Qashash : 50).

4. Memberikan perhatian kepada pengamatan, berpikir, dan perenungan

أَوَلَمْ يَنْظُرُوْا فيِ مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَا خَلَقَ اللهُ مِنْ شَيْءٍ (الأعراف : 185)

“Tidakkah mereka memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah.” (QS al-A’raf : 185).

وَفيَ أَنْفُسِكُمْ أَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ (الذاريات : 21)

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka tidakkah kalian perhatikan.” (QS adz-Dzariyat : 21).

قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيْرُوْا فيِ اْلأَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ (آل عمران : 137)

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnatullah, karena itu berjalanlah kamu di muka bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS Ali Imran : 137).
5. Memerangi buta huruf

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّك الَّذِيْ خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ (العلق : 1-5)

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajari manusia apa yang tak diketahuinya.”(QS al-‘Alaq : 1-5).

6. Menganjurkan untuk mempelajari berbagai bahasa

Sehingga di antara sahabat-sahabat Nabi shalla-llahu 'alaihi wa sallam ada yang menguasai bahasa Parsi, Romawi, dan Habsyi. Rasulullah telahg menyuruh Zaid bin Tsabit mempelajari bahasa Suryani, bahasa orang-orang Yahudi, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Abu Daud, dan at-Tirmidzi.
7. Menganjurkan penggunaan statistik
“Hitunglah untukku berapa orang yang melafadzkan kata-kata Islam.” (al-Hadits). Mereka pun menghitung sampai 1500.
8. Menggunakan prinsip perencanaan

Kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam dan proyek perencanaan ekonomi dan pertaniannya yang termaktub dalam al-Qur’an merupakan dalil dan bukti yang sangat jelas tentang hal ini.

9. Mengakui logika eksperimen dalam urusan duniawi

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ (رواه مسلم عن عائشة رصي الله عنها)

“Kamu lebih tahu tentang urusan duniamu.” (HR Muslim dari Aisyah radhiyallahu ‘anha).
10. Memperhatikan pendapat orang-orang banyak dan berilmu

فَاسْأَلْ بِهَ خَبِيْرًا (الفرقان : 59)

“Maka tanyakanlah ia pada Dzat Yang Mahatahu.” (QS al-Furqan : 59).

وَلاَ يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيْرٍ (فاطر : 14)

“Dan tidak akan bisa bercerita kepadamu seperti (yang dilakukan) oleh Yang Mahatahu.” (QS Fathir : 14).

11. Mengizinkan untuk mengambil semua ilmu duniawi yang bermanfaat dari sumber manapun meski dari non-Muslim sekali pun (infitahiyah).

Kata hikmah adalah milik orang mukmin yang hilang. Di mana pun dia menemukannya, maka dialah yang paling berhak untuk mengambilnya.” (HR at-Tirmidzi).

12. Melarang dengan keras dan memarangi khurafat, khayalan, sulap, sihir, dan sejenisnya.

Ilmu dalam perspektif Islam (al-‘ilmu fi miizanil Islam)

Ilmu menurut bahasa artinya kejelasan atas sesuatu atau pengetahuan. Para ulama mendefinisikan ilmu sebagai pengetahuan akan kebenaran berdasarkan dalil (hujjah), atau penemuan terhadap sesuatu secara hakiki.

Dengan definisi ini jelaslah perbedaan ilmu dengan tsaqafah. Tsaqafah adalah pemahaman terhadap berbagai disiplin ilmu secara global (ijmal), sedangkan ilmu adalah pemahaman khusus lagi mendalam terhadap salah satu cabang ilmu dari berbagai jenis ilmu lainnya. Karena itu ilmu merupakan kebutuhan primer bagi manusia seperti kebutuhan makan dan minum, maka Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadapnya; tingkat perhatian yang tidak dijumpai dalam agama sebelumnya maupun dalam sistem buatan manusia manapun, baik yang terdahulu maupun yang akan datang. Dengan melihat Kitabullah dan Sunah Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam kita akan menemukan contoh dalam teksnya dengan jelas.

Al-Qur’an mensejajarkan antara ikrar dan persaksian orang-orang yang berilmu dengan persaksian Allah dan malaikat.


شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُوْلُوا الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ (آل عمران : 18)

"Allah menyatakan bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian).” (QS Ali Imran : 18).

Orang-orang mukmin yang berpengetahuan lebih utama dan lebih tinggi kedudukannya pada hari kiamat daripada orang-orang mukmin yang tidak berpengetahuan.

يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ (المجادلة : 11)

“(Niscaya) Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS al-Mujadalah : 11).

Orang yang berilmu berbeda dengan orang yang tidak berpengetahuan.

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الزمر : 9)

“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS az-Zumar : 9).

Ketakwaan dan rasa takut kepada Allah yang sebenarnya hanya akan dicapai oleh para ulama’.

إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ (فاطر : 28)

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama.” (QS Fathir : 28).

Ahli ilmu adalah orang yang menjadi saksi atas orang-orang yang berbuat durhaka.
قُلْ كَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا بَيْنِيْ وَبَيْنَكُمْ وَمَنْ عِنْدَهُ عِلْمُ الْكِتَابِ (الرعد : 43)

“Katakanlah : Cukuplah Allah menjadi saksi antara aku (dan kamu dan antara orang) yang mempunyai ilmu al-Kitab.” (QS ar-Ra’du : 43).

Penguasaan terhadap ilmu adalah sumber kekuatan.

قَالَ الَّذِيْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنَ الْكِتَابِ أَنَا ءَآتِيْكَ قَبْلَ أَنْ يَرْتَدَّ طَرْفُكَ (النمل : 40)

“Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Kitab Allah, Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (QS an-Naml : 40).

Hakikat dan keagungan akhirat hanya diketahui oleh para ulama’.

وَقَالَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللهِ خَيْرٌ لِمَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلاَ يُلَقَّاهَا إِلاَّ الصَّابِرُوْنَ (القصص : 80)
“Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, Kecelakaan besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali orang-orang yang sabar.” (QS al-Qashash : 80).
Tiada yang mengetahui hakikat segala sesuatu kecuali para ‘ulama.

وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ (العنكبوت : 43)

“Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS al-Ankabut : 43).

Allah menyifati kitab suci-Nya, bahwa Dia menjelaskannya berdasarkan kepada ilmu.

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ (الأعراف : 52)
“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab suci (al-Qur’an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami.” (QS al-A’raf : 52).

Kisah-kisah yang dipaparkan dalam ayat-ayat al-Qur’an juga bersumber kepada ilmu.

فَلَنَقُصَّنَّ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ وَمَا كُنَّا غَائِبِيْنَ (الأعراف : 7)

“Maka sesungguhnya akan Kami habarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali jauh (dari mereka).” (QS al-A’raf : 7).

Allah menciptakan manusia dan Dia mengajari mereka pandai berbicara.

خَلَقَ اْلإِنْسَانَ . عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (الرحمن : 3-4)

“Dia (Allah) telah menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara.” (QS ar-Rahman : 3-4).
Banyak pula hadits yang menjelaskan pentingnya ilmu. Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
(HR al-Bukhari dan Muslim).

“Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan pada dirinya, Dia akan memahamkannya dalam urusan agama.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
“Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Ilmu yang diperintahkan dalam Islam bersifat mutlak. Keutamaan ilmu bertingkat-tingkat sesuai dengan obyek dan bidang bahasannya. Dan ilmu yang paling utama adalah ilmu agama, dengannya manusia dapat mengenal dirinya dan Tuhannya, menyingkap jalan hidupnya, dan mengetahui hak dan kewajibannya.

Setelah itu baru ilmu yang dapat mengungkap hakikat yang menuntun manusia menuju kebenaran, mendekatkan mereka kepada kebaikan, mewujudkan kemaslahatan bagi mereka, atau menghindarkan mereka dari bahaya.

Asas-asas pengetahuan ada lima yaitu : guru, murid, ilmu, metode, sarana dan prasarana (QS al-‘Alaq : 1-5).

Membaca Pilar membangun Peradaban


اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّك الَّذِيْ خَلَقَ . خَلَقَ اْلإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ . اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ . الَّذِيْ عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ . عَلَّمَ اْلإِنْسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan qalam. Dia mengajari manusia apa yang tidak diketahuinya.”

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bercerita, “Yang pertama sekali mendahului kedatangan wahyu kepada Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam adalah mimpi-mimpi yang benar. Setiap mimpi beliau selalu terbukti (kebenarannya) secara nyata, seterang cahaya di pagi hari. Setelah itu beliau terdorong untuk ber-khalwat di Gua Hira untuk beribadah beberapa malam dan kembali lagi kepada keluarganya untuk mengambil bekal menyendiri berikutnya. Hingga suatu ketika datang kepada beliau ‘al-Haqq’, Kebenaran Mutlak, yaitu dengan datangnya malaikat yang menyampaikan Iqra’ dan seterusnya.” (HR al-Bukhari).

Mimpi yang benar, menurut Nabi Muhammad shalla-llahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari, adalah 1/46 bagian wahyu kenabian. “Secara kebetulan”, waktu enam bulan yang beliau alami sebelum turunnya Iqra’ merupakan 1/46 dari masa kenabian Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam yang berlangsung selama 23 tahun itu.

Beberapa waktu menjelang turunnya wahyu pertama, Muham-mad shalla-llahu ‘alaihi wa sallam seringkali mendengar suara yang berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau ada-lah utusan Allah yang benar”. Dan ketika beliau mengarahkan pandangan mencari sumber suara itu, beliau mendapati seluruh penjuru telah dipenuhi oleh cahaya yang gemerlapan dan hal ini mencemaskan beliau sehingga dengan tergesa-gesa beliau kembali menemui istri tercintanya. Khadijah lalu menyarankan menemui Waraqah bin Naufal, seorang tua yang mempunyai pengetahuan tentang agama-agama terdahulu. Dalam pertemuan tersebut terjadilah dialog.

“Dari mana engkau mendengar suara tersebut?” tanya Waraqah. “Dari atas,” jawab Nabi. Waraqah kemudian berkata, “Yakinlah bahwa suara itu bukan bisikan setan, karena setan tidak akan mampu datang dari arah atas (simbol ketinggian Tuhan), tidak pula dari arah bawah (tempat menundukkan kening untuk bersujud). Suara itu adalah suara dari malaikat.” Hal ini sejalan dengan al-Quran, surat al-A’raf : 17.


Kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Apabila Anda merangkai huruf-huruf dan kata lalu mengucapkannya, berarti menghimpun. Bisa juga berarti menghimpun informasi sebanyak mungkin, dari mana saja sumbernya.

Makna ini menunjukkan bahwa iqra’ (bacalah) tidak mengharuskan adanya teks tertulis (malfuzh) yang dibaca, tidak pula harus diucapkan sehingga terdengar orang lain. Jadi iqra’ bisa bermakna membaca teks dan sesuatu yang tidak tertulis (malhuzh).

Dalam kamus-kamus bahasa, ditemukan aneka ragam arti dari kata iqra’, antara lain menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya. Kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat menghimpun (informasi).

Perintah membaca disini tidak disebutkan obyeknya. Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa suatu kata dalam susunan redaksi yang tidak disebutkan obyeknya (maf’ul), maka obyek yang dimaksud bersifat umum. Mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut.

Oleh karenanya obyek dari perintah membaca (iqra’) disini menjangkau bacaan suci yang bersumber dari Tuhan (ayat tanziliyah) maupun ayat kauniyah. Baik yang tertulis, bisa dilafalkan (malfuzh) maupun yang tidak tertulis (malhuzh). Membaca alam raya, masyarakat, sejarah, diri sendiri, firman Tuhan, majalah, koran, dan lain-lain.

Muhammad Abduh mengatakan bahwa iqra’ bukan perintah yang membebani (amr taklifi) yang membutuhkan obyek, tetapi perintah disini merupakan suruhan untuk aktif (amr takwini). Kun fa yakun (jadilah engkau wahai Muhammad orang yang dapat membaca, maka jadilah ia).

Sejalan dengan pendapat terakhir diatas, Buya Malik Ahmad mengatakan bahwa membaca menghendaki adanya gerakan yang dinamis, produktif dan kreatif. Bukan sebatas mengeja. Agaknya pendapat inilah yang selaras dengan perintah Tuhan pada surat al-‘Alaq.

Membaca dengan beragam artinya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan teknologi serta syarat utama membangun peradaban. Ilmu, baik yang diperoleh dengan usaha manusia, ‘ilmu kasbi (acquired knowledge) sesuai dengan perintah membaca pada ayat pertama, maupun ‘ilmu ladunni (abad, perennial), suatu ilmu yang diberikan atas kemurahan Allah ketika hati yang membaca dalam keadaan suci. Tetapi kedua ilmu itu hakikatnya milik Allah.

Semua peradaban yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan). Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya kitab Perjanjian Baru (New Testament). Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir dengan filsafat Hegel (1770-1831). Sementara peradaban Islam yang gemilang dipicu oleh daya kekuatan yang tumbuh dari al-Qur’an, yang berarti bacaan yang sempurna.

Kegiatan membaca ayat al-Qur’an melahirkan penafsiran-penafsiran baru atau pengembangan dari pendapat-pendapat yang telah ada. Demikian juga, kegiatan “membaca” alam raya ini menimbulkan penemuan-penemuan baru yang membuka rahasia-rahasia alam, walaupun obyek bacaannya sama. Ayat al-Qur’an yang dibaca oleh generasi terdahulu, dan alam raya yang mereka huni adalah sama, namun pemahaman mereka serta penemuan rahasianya terus berkembang.

Sungguh, perintah membaca merupakan perintah yang paling berharga yang pernah dan yang dapat diberikan kepada umat manusia, karena ia adalah jalan yang mengantar manusia mencapai derajat kemanusiaannya yang sempurna (yarf’ul insana ila arqaa madarijiha).
Beralasan, bila dikatakan bahwa membaca adalah syarat utama membangun peradaban. Semakin luas pembacaan, makin tinggi peradaban dan sebaliknya. Tidak berlebihan pada suatu ketika manusia akan didefinisikan sebagai ‘makhluk membaca’, suatu definisi yang tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi yang telah ada seperti ‘makhluk sosial’ atau ‘makhluk berfikir’.

Membaca dalam tinjauan al-Qur’an (al-qira’ah fi dhaw’il Qur’an)

Membaca pada hakikatnya langkah esensial untuk penyaluran fitrah manusia. Sekalipun manusia tidak diperintah untuk membaca, dengan sendirinya memiliki bawaan bisa membaca. Karena sesuatu yang melekat pada diri manusia adalah selalu ingin tahu. Anak kecil saja sering mengajukakan berbagai pertanyaan yang membuat kita terpojok. Pertanyaan itu muncul sebagai wujud respon dari apa yang dilihat, diraba, diamati, dibaca dan yang disaksikan.

Sebelum Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu, terlebih dahulu telah disiapkan sarana-sarana yang mendukung terlaksananya sebuah perintah (amr). Bahkan kaidah ushul fiqh mengatakan :
الْوَسِيْلَةُ بِحُكْمِ الْمَقَاصِدِ
“Pada kasus-kasus tertentu, sarana-prasarana itu sama pentingnya dengan tujuan”.

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang menjadikan kewajiban tidak dapat terlaksana, maka adanya sesuatu itu adalah wajib.”
Untuk suksesnya tugas kehambaan dan kekhalifahan, Allah telah menyediakan alam semesta untuk manusia sebagai media terlaksananya tugas tersebut. Demikian pula sebelum menyuruh membaca, Allah telah memperlengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan dan hati. Perintah membaca adalah usaha mengaktifkan instrumen pendengaran, penglihatan dan hati, agar berfungsi secara proporsional dan maksimal.

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَاْلأَفْئِدَةَ (السجدة : 9)

“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuhnya) ruh (ciptaan-Nya) dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati.” (QS as-Sajdah : 9).

Jadi ayat diatas dapat dipahami bahwa aktifitas mendengar, melihat dan hati adalah kegiatan ruhani. Jika manusia secara fisik berwujud, tetapi ketiga potensi tersebut tidak diaktifkan maka ia bagaikan bangkai yang berjalan. Perhatikanlah seruan ahli sastra Arab berikut ini.

يَا خَادِمَ الْجِسْمِ كَمْ تَسْعَى لِخِدْمَتِهِ * أَتَطْلُبُ الرِّبْحَ مِمَّا فِيْهِ خُسْرَانُ
أَقْبِلْ عَلَى النَّفْسِ فَاسْتَكْمِلْ فَضَائِلَهَا * فَأَنْتَ بِالنَّفْسِ لاَ بِالْجِسْمِ إِنْسَانُ
"Wahai kamu yang selalu mengurusi badanmu. Betapa banyak usaha yang telah kamu lakukan. Apakah kamu mencari keuntungan dari sesuatu yang jelas rugi. Perhatikan jiwamu, sebab kamu disebut manusia dengan jiwa, bukan karena tubuh jasmanimu."

Berikut dipaparkan seruan Allah agar manusia selalu membaca dengan redaksi ra-aa.

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تُمْنُوْنَ . ءَأَنْتُمْ تَخْلُقُوْنَهُ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (الواقعة : 58-59)

Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?” (QS al-Waqi’ah : 58-59).

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُوْنَ . ءَأَنْتُمْ تَزْرَعُوْنَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ . لَوْ نَشَآءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُوْنَ (الواقعة : 63-65)

“Maka terangkanlah kepadaku apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya, ataukah Kami yang menumbuhkannya? Kalau Kami Kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur, maka jadilah kamu heran tercengang.” (QS al-Waqi’ah : 63-65).

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَ . ءَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوْهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُوْنَ
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”

أَفَرَأَيْتُمُ الَّذِيْ تُوْرُوْنَ . ءَأَنْتُمْ أَنْشَأْتُمْ شَجَرَتَهَا أَمْ نَحْنُ الْمُنْشِؤُنْ . نَحْنُ جَعَلْنَاهَا تَذْكِرَةً وَمَتَاعًا لِلْمُقْوِيْنَ (الواقعة : 71-73)

“Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan (dari gosokan-gosokan kayu). Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kamikah yang menjadikannya. Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir.” (QS al-Waqi’ah : 71-73).

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَبُنَيَّ إِنِّيْ أَرَى فيِ الْمَنَامِ أَنِّيْ أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِيْ إِنْ شَآءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ (الصافات : 102)

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya-Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS ash-Shaffat :102).

Berkali-kali manusia diperintahkan untuk melakukan nazhar, fikr, dabbara, serta berjalan di permukaan bumi guna melihat betapa alam raya ini tidak mungkin terwujud tanpa ada yang mewujudkannya.

أَفَلاَ يَنْظُرُوْنَ إِلىَ اْلإِبِلَ كَيْفَ خُلِقَتْ . وَإِلىَ السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ . وَإِلىَ الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ . وَإِلىَ اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ (الغاشية : 17-20)

“Tidakkah mereka melihat kepada onta bagaimana diciptakan, dan ke langit bagaimana ia ditinggikan, ke gunung bagaimana ia ditancapkan, serta ke bumi bagaimana ia dihamparkan.” (QS al-Ghasyiyah : 17-20).

Perintah membaca ini mencakup dengan akal, emosi dan hati nurani. Perintah yang diawali dengan komunikasi dua arah yang efektif melahirkan sikap ketaatan yang tinggi. Ajakan yang dimulai dengan pendekatan, akan memunculkan militansi. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang bisa memuaskan otak pemikir, mempertajam perasaan para sufi, memperbaiki akhlak yang keras hati, menghidupkan rasa keindahan bagi pecinta seni.

Manusia yang enggan mengaktifkan institusi pendengaran, penglihatan dan hati maka ia laksana binatang ternak, bahkan lebih sesat. Ibnu Taimiyah mengatakan manusia yang pasif laksana telah mati sebelum meninggal. Karena hatinya tertutup dari hidayah.

أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوْبٍ أَقْفَالُهَا (محمد : 24)

“Maka apakah mereka tidak men-tadabburi al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci.” (QS Muhammad :24).

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُوْنَ (الأعراف : 179)

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf : 179).

Membaca tidak sekedar untuk memadati otak sehingga hanya menjadi pengetahuan (daya tahu) yang bersifat teoritis. Membaca menuntut adanya aksi, iradah (daya mau). Keluasan ilmu pengetahuan tanpa disertai kemauan mengamalkan maka ilmu itu akan menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya (hujjatun ‘alaihi) kelak di depan Mahkamah Ilahi.

Kualitas bacaan berbanding lurus dengan mutu amal. Kebenaran membaca sangat mempengaruhi keabsahan amal. Perbedaan kesimpulan bacaan mempengaruhi perbedaan kesempurnaan amal. Amal yang tak berdasarkan bacaan (taqlid) adalah salah, atau dikatagorikan dengan bid’ah (membuat amal ibadah tanpa contoh sebelumnya). Amal yang benar merujuk pada kelengkapan referensi yang utuh (ittiba’). Ibnu Mas’ud mengatakan, “Bacalah dan beramallah”.

Dalam ilmu hukum seseorang yang melihat bahaya, kemudian dia tidak bergerak untuk menanggulangi bahaya itu (diam), sekedar sebagai penonton dan tidak segera beraksi maka ia akan menjadi tertuduh. Disini korelasi yang menunjukkan makna iqra’ yang menuntut adanya gerakan (aksi).

“Barangsiapa diantara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya, jika tidak sanggup maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup juga maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemah iman.” (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu).

Nabi shalla-llahu 'alaihi wa sallam memberikan gelar orang Islam yang enjoy dengan melihat kemaksiatan yang tersebar di sekitarnya tanpa upaya merubahnya dengan ‘ayaithanun akhrash’ (syetan yang bisu).
Dalam memberikan standar membaca ini, Imam al-Ghazali membagi manusia menjadi empat kelompok.
رَجُلٌ يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَهُوَ عَالِمُ فَاتَّبِعْهُ
Pertama, seorang yang tahu dan ia menyadari bahwa dirinya tahu maka ia adalah orang yang ‘alim, ikutilah dia.

وَرَجُلٌ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ يَدْرِيْ فَهُوَ غَافِلٌ فَاتْرُكْهُ
Kedua, seorang yang tahu tetapi ia tidak menyadari bahwa dirinya tahu, maka ia termasuk orang yang lalai, tinggalkan dia.

وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِيْ وَيَدْرِيْ أَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ فَهُوَ جَاهِلٌ فَأَرْشِدْهُ
Ketiga, seorang yang tidak tahu dan menyadari bahwa dirinya tidak tahu maka ia adalah orang yang bodoh, bimbinglah dia.

وَرَجُلٌ لاَ يَدْرِيْ وَلاَ يَدْرِيْ أَنَّهُ لاَ يَدْرِيْ فَهُوَ جَاهِلٌ مُرَكَّبٌ فَارْفُضْهُ
Keempat, seorang yang tidak tahu tetapi tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu maka ia bodoh kwadrat, tolaklah dia.

Dalam kacamata al-Qur’an, jika membaca sesuatu hanya dari kacamata lahiriyah saja, maka seseorang mudah berburuk sangka terhadap Tuhan. Karena pendalamannya terhadap obyek bacaan dangkal. Bukankah kita seringkali tertipu oleh panca indra kita sendiri. Dari kejauhan kita melihat air, setelah didatangi ternyata fatamorgana. Kita mengira bayangan kita tetap, padahal bergerak. Padahal betapa sering kita memperoleh nikmat dengan dibungkus kulit yang pahit. Blessing in disguis (disana ada berkah terselubung).

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوْا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (البقرة : 216)

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyenangi sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah : 216).

Fenomena ini terjadi antara Nabi Musa dan Nabi Haidhir. Dari rentetan peristiwa kedua Nabi Allah itu terlihat perbedaan yang sangat tajam kualitas bacaan masing-masing. Sehingga melahirkan kualitas amal (sikap) yang bertolak belakang pula.

Marilah kita ceritakan peristiwa yang menurut penglihatan Nabi Musa tampak ketidakadilan semata-mata. Coba anda bayangkan, Nabi Musa dan gurunya naik sebuah perahu kepunyaan orang-orang miskin yang konon keduanya tidak dikenakan bayaran karena para pemilik perahu disitu telah mengenal baik guru Nabi Musa (Haidhir). Tapi apa balas budi atas kebaikan para pemilik perahu itu? Bukan balas budi, tetapi dilobanginya perahu itu sampai karam.

Keduanya berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang masih dibawah umur, belum patut mendapat hukuman, apalagi hukuman mati. Tetapi anak laki-laki itu dibunuh oleh guru nabi Musa. Tidakkah wajar protes Nabi Musa seperti yang disebutkan dalam cerita itu?

Kejadian yang ketiga tidak kurang ganjilnya. Nabi Musa bersama gurunya itu telah kehabisan bekal, mereka memasuki sebuah negeri lalu mereka mengharapkan mereka bersedia memberikan makan barang sedikit, tapi penduduk negeri itu begitu teganya menolak memberikan jamuan. Lalu kedua orang yang lapar itu kemudian menemukan dinding yang hampir roboh, lalu dinding itu diperbaiki oleh guru Nabi Musa dan ditegakkannya kembali. Lalu apakah aneh kalau timbul gagasan Nabi Musa untuk meminta upahnya dari pemilik dinding itu untuk membeli makanan sekedar penahan lapar ?

Karena peristiwa-peristiwa tadi dibaca Musa hanya dari segi lahiriyah saja, tampak oleh beliau ketidakadilan, jiwa beliau memberontak sehingga tidak bisa lagi menahan kesabarannya, beliau lupa akan perjanjian dengan gurunya itu sebelumnya lalu beliau mengajukan protes keras.

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِى الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا (الكهف : 79)

“Adapun perahu itu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di lautan itu. Dan aku hendak merusaknya karena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil tiap-tiap perahu tanpa ganti rugi.” (QS al-Kahfi : 79)

Pada ayat ini Nabi Haidhir lebih menonjol kecerdasan rasionalnya. Merusak perahu lebih banyak ia perankan sendiri – dengan redaksi ayat – fa-aradtu an a’iibaha. Kecerdasan intlektual menghasilkan ‘ilmu kasbi (ilmu yang diperoleh karena usaha manusia, penelitian eksperimen, menggunakan teori ilmiah, dan lain-lain). Ini sejalan dengan perintah iqra’ (bacalah) pada ayat pertama surat al-‘Alaq.

وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِيْنَآ أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا . فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمُا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكاَةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (الكهف : 80)

“Adapun anak laki-laki itu, maka kedua orang tuanya adalah orang yang beriman, maka kami khawatir bahwa anak itu akan mendorong kedua orang tuanya itu pada kesesatan dan kekufuran. Maka kami ingin agar Tuhan mereka menggantikan anak itu dengan yang lebih baik kesuciannya dan lebih berbakti.” (QS al-Kahfi : 80).

Pada ayat ini Allah dan Haidhir sama-sama terlibat dalam aktifitas. Dengan menggunakan redaksi ayat fa aradnaa (kami ingin), seolah-olah Haidhir bisa membaca atas kemurahan Allah (al-Akram) berupa ilham, intuisi (feeling).

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلاَمَيْنِ يَتِيْمَيْنِ فىِ الْمَدِيْنَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوْهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِيْ ذَلِكَ تَأْوِيْلُ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا (الكهف : 82)

“Adapun dinding itu, maka itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta simpanan bagi keduanya, sedang bapaknya dahulu adalah orang shalih. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai kepada kedewasaan mereka dan mengeluarkan harta simpanan mereka itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan tidaklah aku melakukannya menurut kehendakku sendiri. Demikianlah arti perbuatan-perbuatan yang anda tidak mampu bersabar terhadapnya.” (QS al-Kahfi : 82).

Pada ayat ini Haidhir memiliki kecerdasan yang paling tinggi (kecerdasan supra-rasional), dengan redaksi ayat fa araada rabbuka (maka Tuhanmu berkehendak), seakan-akan Haidhir bisa membaca keinginan Tuhan.

Setelah Nabi Musa dijelaskan rahasia di balik kejadian-kejadian yang semula dirasakan tidak adil, bahwa perahu yang dilobangi itu sekedar supaya terlihat rusak sehingga tidak dirampas oleh raja yang lalim, bahwa anak laki-laki yang dibunuh itu seandainya terus hidup sampai dewasa akan menjadi anak yang durhaka yang akan menjerumuskan kedua orang tuanya yang shalih ke dalam kesesatan dan kekufuran, lalu sesudah itu Allah menggantinya dengan anak yang lebih suci dan berbakti, bahwa dinding itu bukanlah milik orang-orang yang tidak bersedia menjamu mereka, tetapi kepunyaan dua anak yatim yang belum dewasa, tidak tahu menahu tentang sikap yang tidak patut dari penduduk negeri itu.

Ya. Setelah dijelaskan semua peristiwa-peristiwa itu bagi Nabi Musa, maka keadaan berbalik menjadi 180 derajat. Kini bukan saja Nabi Musa menganggap kejadian itu seadil-adilnya, tetapi didalamnya mengandung kebijaksanaan Tuhan Yang Maha Bijaksana.

Dari rentetan kejadian diatas kita memahami bahwa kualitas pengamatan yang dimiliki Nabi Haidhir berbeda jauh dengan mutu penglihatan Nabi Musa, sehingga melahirkan tindakan yang semula sulit dikompromikan.
Islam mengecam seseorang yang berbuat tanpa kelengkapan informasi (ilmu). Mengatakan tahu padahal tidak tahu; mengatakan melihat, tapi tidak melihat; mengatakan mendengar tetapi tidak mendengar; mengatakan faham tetapi tidak faham; sehingga ia beramal hanya mengikuti dorongan hawa nafsunya. Karena aktifitas sama’, bashar, dan af-idah akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

وَلاَ تّقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُوْلاً (الإسراء : 36)

“Dan jangan kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sungguh pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS al-Isra’ : 36).

Sistematika Wahyu http://www.hidayatullah.or.id

Solusi Atas Berbagai Krisis

Ditulis oleh Admin
Selasa, 04 Maret 2008
Mengantisipasi krisis psikologis ummat sebagaimana yang telah dipaparkan pada awal maudhu’ (tema) ini, perlu diambil langkah-langkah diagnosis berikut.
Pertama, memahami syariat Islam secara terperinci (al-ma’rifah ad-daqiq ‘an syari’atil Islam).
Dengan mengilmui syariat Islam, Allah akan memberikan ‘ilmu kasbi (ilmu yang diperoleh melalui usaha yang tekun) dan ‘ilmu ladunni (ilmu baru yang didapatkan atas kemurahan Allah). Dengan ilmu yang luas akan mengantarkan seseorang mampu mengidentifikasi permasalahan kehidupan ummat dan mencari solusi alternatif. Allah akan mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu. Posisi manusia lebih tinggi dari makhluk lain, termasuk malaikat, karena interaksinya dengan ilmu.
Allah mencela orang yang menuruti hawa nafsu dan tidak mau menggali potensi-potensi sama’, bashar dan fuad-nya secara maksimal. Ibnu Taimiyah mengatakan kebodohan adalah musibah kematian sebelum meninggal. Allah akan meminta pertanggungjawaban manusia atas penggunaan sama’, bashar dan fuad-nya.
Doa yang seringkali dipanjatkan oleh Rasulullah pada awal-awal perlangkahan Islam adalah doa agar dianugerahi SDM unggul, “Ya Allah, jayakanlah Islam ini dengan masuk Islamnya salah satu dari dua Umar.” Dengan ilmu syariat akan menambah pemiliknya takut kepada Allah, dan akan menyimpulkan bahwa semua ciptaan-Nya tidaklah sia-sia.
Bangsa-bangsa yang memiliki komitmen peningkatan SDM, maka akan memiliki keunggulan dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, politik, ideologi, ekonomi, keamanan, dll. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa perintah mencari ilmu menggunakan kalimat faridhatun, dimana “ta’ marbuthah” dalam kata ini mempunyai arti superlatif (mubalaghah), alias sangat diwajibkan.

Kedua, membangun iman secara mendalam (al-iman al-‘amiiq)

Iman akan melahirkan kesadaran untuk hidup Islami secara total dan menyeluruh, menerima Islam sebagai minhajul hayat (sistem hidup), tak terjebak pada parsialisasi Islam (juz’iyyatul Islam), atau ber-Islam karena dorongan intres pribadi.
Iman yang benar akan melahirkan sikap sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami tunduk) pada ketentuan Allah. Mukmin sejati memiliki kesiapan lahir dan batin untuk diatur oleh Allah dengan suka rela. Dengan iman akan melahirkan loyalitas pada kebenaran mutlak, keadilan, kejujuran, kedamaian, kedisiplinan, keindahan dan sifat-sifat utama yang lain. Kemenangan iman bukan hadiah ummat Islam semata, tetapi kemenangan kemanusiaan atas kezaliman, ketidakadilan hukum dan ekonomi dan sikap represif lainnya. Karena Islam adalah untuk semua manusia (kaffatan lin-naas) dan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil-‘alamin).
Iman yang tidak melahirkan gerakan penegakan syariat dalam kehidupan sama jeleknya dengan amal yang tidak berlandaskan iman. Setelah mengikrarkan syahadat, konsekuensinya adalah menegakkan syariat shalat. Syariat shalat merupakan penye-garan ulang tentang kesiapan muslim dalam mengatur segala aspek kehidupan dengan syariat, demikian kata Al-Maududi.

Ketiga, membangun solidaritas dan soliditas sesama ummat (al-ittishal al-watsiiq)

Terapi yang ketiga adalah terampil dalam menjalin hubungan interpersonal dan intrapersonal (shidqun fil mu’amalah). Ada dua komponen penting sebagai pilar dalam bergaul (rukn al-mukhalathah). Pertama, minimal kita tidak memiliki sikap berburuk sangka, dengki, benci kepada sudara muslim. Kedua, maksimal kita mampu menunjukkan sikap itsar (mengutamakan orang lain melebihi dirinya sendiri).
Berbeda dengan paham barat yang mengatakan, “Kalian bebas berbuat apa saja asal tidak melanggar batas-batas kebebasan kami.” Islam mengajarkan sejauh mana Anda mengorbankan kebebasan Anda untuk kepentingan orang lain.
Bertolak dari shidqun fil mu’amalah akan melahirkan ukhuwah Islamiyah. Sejarah menunjukkan bahwa dengan jalinan ukhuwah yang solid maka berbagai kesulitan maupun tantangan yang dihadapi ummat akan mudah diselesaikan.
Jika ketiga diagnosa krisis yang dipaparkan pada awal tema ini, diuji secara shahih pada realitas kehidupan ummat, insya-Allah berbagai krisis yang bersifat konsepsional dan teknis akan segera berakhir.
Dengan sumber daya manusia yang beriman, berilmu dan dirakit dalam bangunan organisasi yang kokoh maka akan men-zhahir-kan Islam diatas agama-agama yang lain, semuanya. Ketiga solusi mendasar diatas – menurut kajian Sistematika Nuzulnya Wahyu – dinamakan Prinsip Dasar Aqidah, Syari’ah dan Imamah-Jamaah.

Article Source : hidayatullah.or.id

Sabtu, 18 Oktober 2008

Arahan Pembaharu (Taujih Al-Mujaddid)

Akar krisis ummat Islam (al-asbab ar-ra’isi li azmaat al-muslimin)

Ditulis oleh Admin hidayatullah.or.id

Berbagai krisis yang menimpa kaum muslim sekarang ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis sebelumnya, yang dimulai sejak format ketatanegaraan berbentuk khilafah (Islami) berubah menjadi format muluk (kerajaan, jahili). Al-Quran menjelaskan secara global bahwa krisis multidimensi itu terjadi karena berpaling dari ketentuan Allah. Makna ayat ini, barangsiapa yang berpaling dari syariat dan hukum-hukum Allah maka akan menemui kehidupan yang serba-sulit (ma’isyatan dhonkaa) di dunia, sangat menderita, sekalipun secara lahiriyah sejahtera.

Berkata Ibnu Katsir, “Barangsiapa berpaling dari ketetapan Allah dan melupakannya, maka baginya kehidupan yang sempit di dunia (ma’isyatan dhonkaa), tiada ketenangan maupun kelapangan dada, bahkan merasakan kesempitan hidup disebabkan kesesatannya sekalipun secara lahiriyah makmur, bisa berpakaian, makan, bertempat tinggal sesuka hatinya. Tetapi jiwanya goncang, bingung dan diliputi keragu-raguan. Ada yang berpendapat disempitkan liang lahatnya nanti sehingga tulang rusuknya berselisih.

Dalam hadits riwayat Imam ath-Thabrani dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa penyebab terjadinya berbagai krisis, adalah diawali oleh krisis kepribadian (basic of knowing) dengan mudah mengobral janji, krisis keimanan dengan menolak ber-tahkim dengan hukum Allah, krisis moral ditandai dengan merajalelanya praktek perzinaan, perkosaan, pergaulan bebas, pornografi, praktek aborsi, dan gaya hidup materialistik yang berindikasi dengan mental hedonistik, meghalalkan segala cara ketika memperoleh kekayaan serta keengganan untuk berzakat. Kemudian Allah menurunkan musibah penguasa yang zhalim, harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, musibah kemiskinan struktural, penyakit AIDS mewabah, manusia menjadi individualis, terjadi bencana alam di mana-mana.
Para pembaharu mengidentifikasi penyebab krisis integritas ummat tersebut, diawali dari kesempitan batin (azmat al-masya’ir), kemudian melahirkan kesempitan dalam berbagai bidang kehidupan; kemudian menawarkan alternatif-alternatif pemecahannya secara fundamental dan menyeluruh.

Pertama, krisis perasaan terhadap keagungan Islam (azmat al-masya’ir ‘an ‘azhamatil Islam).
Ummat Islam sekarang tidak meyakini secara bulat (100%) bahwa Islam adalah solusi mendasar dalam mengantisipasi persoalan individu, keluarga dan masyarakat. Berbagai bentuk penyelesaian yang ditawarkan oleh syariat sekalipun baru pada tataran wacana cenderung disalahpahami. Mereka masih ragu bahwa Islam adalah ketetapan dari Allah Yang Maha ‘Alim yang bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik. Yakni yang memberi gairah dan arti hidup, yakni seruan kepada iman yang bisa menghidupkan jiwa. Imam Qatadah mengatakan, yaitu ajakan kepada al-Quran yang mengadung kehidupan, kejujuran, keselamatan, kesucian di dunia dan akhirat dan menjamin kebahagiaan hidup di akhirat.
Dalam berinteraksi dengan Islam, ummat Islam lebih mendahulukan akal daripada hati. Karena merasa memiliki keunggulan lebih daripada Allah. Persis sikap Iblis ketika memperoleh perintah dari Allah untuk memberi hormat kepada Adam, ia berargumen bahwa perintah Allah tersebut tidak logis, tekstual (literal) dan normatif. Dia enggan mentaati-Nya, seraya menyombongkan diri dengan cara membanggakan asal-usul. Pasca suksesi di surga, syetan memohon izin kepada Allah untuk menggoda anak cucu Adam dari arah belakang, muka, kanan dan kiri, sehingga manusia menjadi makhluk yang tidak pandai bersyukur.
Imam ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa godaan “dari muka” adalah godaan tentang persepsi dunia, agar manusia menjadi serakah, mencari dunia dengan menghalalkan segala cara, akhirnya menjadi hamba materi bukan hamba Allah. Godaan “dari belakang” adalah godaan tentang kehidupan akhirat, agar melupakannya. Godaan “dari sebelah kanan” adalah godaan terhadap kebenaran, agar manusia ragu-ragu kepadanya. Godaan “dari arah kiri” berupa godaan kebatilan agar manusia cenderung kepadanya; kecuali hamba-Nya yang masih ikhlas, hanya berorientasi ke bawah (sujud) dan atas (Allah). Arah “bawah” dan “atas” ini tidak bisa dimasuki oleh syetan. Kemudian Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa untuk menghadapi dua godaan terakhir.

Kedua, krisis kebanggaan dalam ber-Islam (‘azmatu al-i'tizaz bid-diin).
Di tengah keberagaman simbol, aliran pemikiran dan isme di era globalisasi saat ini, ditambah dengan semakin gencarnya peperangan pemikiran (al-ghazwu al-fikri), telah terjadi tasykik (proses peraguan), taghrib (pembaratan), tajhil (pembodohan) pada diri muslim terhadap dien-nya sendiri. Pemakaian kalimat ‘ghazw’ disini menunjukkan salah satu pihak yang aktif, lainnya pasif. Al-ghazw al-fikri, peperangan pemikiran, ditandai dengan gencarnya serangan dari luar tanpa perimbangan perlawanan dari dalam kaum muslimin. Sedang kalimat ‘harb’ bermakna kedua belah pihak yang bertikai sama-sama aktif bergerak.
Jatidiri Islami yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslimin mengalami degradasi. Misalnya di Indonesia saja kosa kata sirri (Makassar) dari kata sarirah (jati diri), carok (Madura) dari kata ghirah (cemburu), yang semula inhern dengan simbol ke-Islaman berangsur-angsur hilang, bahkan kemudian cenderung mengalami pembelokan makna.
Dahulu, kaum muslimin Indonesia rela kehilangan nyawa, dan merasa bangga karena membela kehormatan diri (‘iffah) sekali pun beresiko, sekarang dihinggapi penyakit dayatsah, banci – meminjam sabda Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam – yaitu, seseorang yang mendiamkan kemunkaran yang dilakukan oleh keluarganya dengan orang lain. Kaum muslimin sedang dijangkiti virus wahn (cinta dunia dan takut menghadapi kematian).
Mereka kurang percaya diri, malu menunjukkan bahwa kemuliaan adalah milik Allah, Nabi-Nya dan orang beriman. Mereka tenggelam, terpesona dengan kebesaran negeri-negeri Eropa dengan paham materialismenya. Mereka lupa bahwa kaum muslimin lebih unggul dalam persepsi, budaya, adat istiadat, nilai-nilai di hadapan Allah dari bangsa lain.
Sejarah mencatat bahwa dunia ini didominasi oleh mereka yang memiliki keyakinan. Paham materialisme begitu cepat berkembang, karena pembawa ideologi itu yakin akan keistimewaannya, dan harapan akan jaminan masa depan. Kini, baru terbukti perkembangan sains dan teknologi yang merupakan produk paham kebendaan gagal dalam membawa manusia modern menuju hidup bahagia. Tanpa keyakinan dan kebanggaan, muslim modern (al-muslim al-mu’ashir) akan lemah dalam mempengaruhi dirinya apalagi merespon tantangan eksternal.

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami al haq itu yang benar dan karuniakanlah kepada kami (kekuatan) untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu kebatilan, dan berilah (kekuatan) kepada kami untuk menjauhinya”
Persepsi ummat Islam terhadap Islam telah terkontaminasi oleh paham feodalisme pada abad pertengahan dengan menampilkan kesombongan; kapitalisme yang melahirkan keserakahan; dan sosialisme yang membuahkan kedengkian.

إِيَّاكُمْ وَالْكِبْرَ فَإِنَّ إِبْلِيْسَ حَمَلَهُ الْكِبْرُ أَلاَّ يَسْجُدَ ِلآدَمَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحِرْصَ فَإِنَّ آدَمَ حَمَلَهُ الْحِرْصُ عَلَى أَنْ آكَلَ الشَجَرَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ ابْنَيَ آدَمَ قَتَلَ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ حَسَدًا هُنَّ أَصْلُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (رواه ابن عساكر عن ابن مسعود رضي الله عنه)

“Waspada dan jauhi al-kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam ‘alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam ‘alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam ‘alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud, dalam Mukhtaru al-Ahadits).
Sangat kontradiktif dengan sikap para salafus shalih, ketika berinteraksi dengan firman Allah maka sikap yang menonjol adalah tashdiq (membenarkan) dan taslim (berserah diri), kepatuhan (submission), ketaatan (obedience).
Mereka memahami bahwa Islam adalah manhaj al-hayat, acuan dan kerangka tata kehidupan. Mencakup kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara dan hubungan intenasional. Islam tidak sekedar landasan etis, tetapi ajaran yang aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan. Islam bukan ajaran yang teoritis yang memadati pikiran, tidak mengajarkan hal-hal yang tak bisa dicapai manusia, tapi menerima manusia sebagaimana adanya dan mendorongnya untuk mencapai sesuatu yang bisa digapai.
Mereka laksana prajurit yang menerima perintah dan tugas harian dari panglimanya. Tidak ada sikap yang didahulukan kecuali sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami siap mematuhinya).
Dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasyabihat (belum jelas maknanya) saja mereka menyerahkan penafsirannya kepada Allah, apalagi berinteraksi dengan ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya). Hal ini sangat bertolak belakang dengan paradigma berfikir yang dikembangkan oleh kalangan tertentu, dimana ayat yang muhkamat saja perlu ditafsirkan supaya lebih kontekstual, lebih-lebih yang mutasyabihat.

Ketiga, kehilangan harapan akan datangnya pertolongan Allah (‘adamu al-amal bi-ta’yidillah).
Seringkali kaum muslimin dalam memecahkan persoalan lebih mengedepankan pendekatan pada aspek organisasi, planning, management, efficiency, dan teknologi modern. Semua itu baik, tetapi lupa bahwa di balik rekayasa manusia ada kekuatan transenden yang mendominasi kehidupan ini, yaitu intervensi Tuhan (tadakhul rabbani), manajemen Ilahi.
Ketika terjadi Perang Badar antara muslim dan kafir, kekuatan material dua pasukan yang saling berkonfrontasi itu tidak sepadan. Kaum muslimin dalam posisi lemah, terdiri dari kalangan masyarakat akar rumput, lapar (berpuasa Ramadhan), peralatan perang seadanya. Semula kaum muslimin hanya ingin mengambil kembali hak-haknya yang dirampas oleh orang kafir, setelah pulang dari kafilah dagang. Tetapi Abu Sufyan memilih jalan lain menuju ke Makkah dan memprovokasi kabilah Quraisy untuk berperang melawan kaum muslimin. Dengan kelebihan yang melekat pada dari tokoh kafir Makah itu, yakni orator (pandai berceramah tanpa teks, khuthbah murtajalah), semua elemen masyarakat Quraisy, tersulut amarahnya kepada komunitas Islam yang sedang dirintis oleh Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Dalam waktu singkat bisa terkumpul pasukan 4 kali lipat dari jumlah pasukan Islam.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam sendiri sempat mengkhawatirkan keberlangsungan eksistensi mereka, umat beliau, seperti terlukis dalam doa yang beliau panjatkan:

اَللَّهُمَّ انْجُزْ لِيْ مَا دَعَوْتُهُ اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ فَلَنْ تُعْبَدْ فيِ اْلأَرْضِ بَعْدَ الْيَوْم

“Ya Allah, kabulkanlah doaku. Ya Allah sekiranya pasukan ini hancur terkalahkan, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah hari ini”.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam terus berdoa hingga selendangnya terjatuh dari pundaknya, hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau, “Demi Allah, wahai Rasulullah, Allah pasti akan menolong dan mengabulkan doa Anda”. Allah subhanahu wa ta’ala pun berkenan menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang sangat gemilang.
Berbeda jauh saat kaum muslimin berperang pada Perang Hunain. Ketika itu mereka membanggakan SDM unggul dan peralatan perang. Karena peperangan dikomando langsung oleh Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam diikuti oleh para Sahabat senior. Begitu kepercayaan diri tertanam secara berlebihan, hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan telak. Kebanggaan material terbukti tidak berhasil menolong dari kepungan musuh dan merapatkan barisan kaum muslim.
Thalut dan ummatnya yang hanya minum seteguk air, sekedar untuk melepas dahaga, terbukti memiliki kekuatan mental untuk melanjutkan peperangan, dan dengan izin-Nya, Jalut dan pasukannya berhasil dipukul mundur. Sedangkan prajuritnya yang minum air sungai secara berlebihan hingga kekenyangan, ternyata tidak memiliki kesanggupan untuk berperang.
Demikian pula kekalahan yang sama dialami ummat Islam pada Perang Uhud, ketika pasukan pemanah tidak disiplin karena terpesona dengan kekayaan dunia.

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ (آل عمران : 165)

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’.” (QS Ali Imran : 165).

Sumber : http://hidayatullah.or.id

Prinsip Pergiliran Zaman 2

Arahan Allah (Taujih Rabbani)


وَلاَ تَهِنُوْا وَلاَ تَحْزَنُوْا وَأَنْتُمُ اْلأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ . إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ (آل عمران : 139-140)
“Janganlah kamu merasa hina, dan jangan (pula) bersedih hati, karena kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang yang beriman. Jika kamu ditimpa penderitaan maka kaum (kafir) juga merasakan penderitaan yang sama.” (QS Ali Imran : 139-140. Lihat juga ayat 104).
Jika mencermati kondisi ummat Islam belakangan ini sungguh menjadikan hati kita tersayat. Betapa penderitaan berkepanjangan yang menderanya tak kunjung berakhir, musibah demi musibah datang silih berganti, cobaan demi cobaan yang menyelimutinya tak kunjung lepas. Namun, yang perlu kita sadari bersama bahwa kaum selain kita juga merasakan kesulitan yang sama. Hanya saja obyek perasaan derita kita berbeda dengan yang mereka rasakan. Kesulitan kita adalah betapa beratnya mempertahankan komitmen (iltizam), keteguhan (tsabat), kesabaran, serta konsistensi (istiqamah) dalam menjalankan syariat Islam di tengah-tengah gegap-gempitanya manusia yang berkonspirasi memarjinalkan peran Allah dalam kehidupan ini.
Sedangkan kesulitan kaum kafir adalah mempertahankan status quo kebatilan di tengah maraknya kebangkitan ummat Islam (nahdhatul ummah). Fenomena kesadaran beragama para mahasiswa, intelektual, kaum perkotaan semakin menggeliat. Mereka berusaha secara maksimal untuk membendung gejala kesadaran kembali ke Islam. Nampaknya kebangkitan Islam itu tidak bisa diredam dan diredupkan.
Usaha mereka hanya sia-sia belaka.

لِيَغِيْظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ (الفتح : 29)

Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang beriman).” (QS al-Fath : 29).

يُرِيْدُوْنَ أَنْ يُطْفُِؤا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبىَ اللهُ إِلاَّ أَنْ يُتِمَّ نُوْرَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ هُوَالَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِاْلهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (التوبة : 32-33)

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupn orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At-Taubat : 32-33. Lihat juga : ash-Shaff : 8-9; al-Fath : 28).

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَآءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ أَكْبَرُ

Telah nampak kebencian pada mulut-mulut mereka, dan apa yang disimpan di dada mereka lebih besar.” (QS Ali Imran : 118).
Jadi tidak kita saja yang menderita kesulitan, mereka juga merasakan kesulitan dalam menghadapi banyaknya kaum terpelajar, bangsa-bangsa di negara maju yang ingin kembali kepada ajaran yang sesuai dengan fithrah mereka. Setelah mereka lari dari agama (kristen) karena dianggap menghambat kemajuan berfikir. Dan terjadilah kebebasan yang tak terkendali. Sains dan teknologi yang menjanjikan sarana kehidupan (wasilatul hayat) pada kehidupan globalisasi sebagai produk paham kebendaan (materialisme), terbukti gagal dalam memandu manusia modern menemukan kebahagiaan hidup. Mereka kembali kepada aliran eksistensialisme (hati nurani). Tetapi hati nurani seseorang dipengaruhi oleh lingkungan pendidikan, pergaulan, persepsi, kebiasaan yang berbeda-beda.
Kita juga merasakan kesulitan dalam mendesain kehidupan ini hanya mencari ridha Allah, saat dimana kebanyakan manusia ingin mencari keridhaan, restu kepada selain Allah. Oleh karena itu pada bagian ayat berikutnya Allah memberikan hiburan (tasliyah) kepada kita.

وَتِلْكَ اْلأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَآءَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِيْنَ (آل عمران : 140)

“Demikianlah hari-hari itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar memperoleh pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zhalim.” (QS Ali Imran : 140).

Terkadang kaum beriman itu sedang naik di atas pada masa keemasannya. Menempati posisi penting dan strategis. Adakalanya jatuh terpuruk, dan kaum kafir berjaya di dunia ini. Tentu kejayaan yang diraih selain kita adalah kejayaan yang palsu. Sementara kejayaan yang kita peroleh adalah kemenangan sejati. Kemenangan yang mencerahkan, menampakkan cahaya kebenaran. Sebab kejayaan orang kafir itu tidak mendapat arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah, sedangkan kejayaan ummat Islam memperoleh restu dari Allah. Kejayaan kaum muslimin terjadi ketika kita menyaksikan kembalinya kekuasaan Allah di dunia ini, secara de jure dan de facto (secara syar’i dan kauni).
Fiqh pergiliran dan pergantian zaman adalah sebuah kenyataan sejarah kehidupan manusia yang patut kita jadikan renungan secara mendalam. Timbul tenggelamnya bangsa di muka bumi ini memiliki maksud spesifik di mata Allah subhanahu wa ta’ala. Agar Dia mengetahui siapa diantara kita yang benar-benar beriman dan Dia mengambil sebagian komunitas itu sebagai syuhada’.
Barangsiapa memperhatikan keadaan ummat-ummat sepanjang sejarah maka ia akan mendapatkan pelajaran bahwa obor peradaban berpindah dari bangsa satu ke bangsa lain, dari satu tangan ke tangan lain. Sesungguhnya perputaran (saat) ini adalah milik kita, bukan melawan kita, kata Hasan al-Banna.

Dahulu kepemimpinan dunia di tangan negara-negara Timur, melalui peradaban Fir’aun, Asyuriah, Babylonia, Chaldea, Phoenisia, Persia, India dan China; kemudian ke Barat melalui peradaban Yunani dengan filsafatnya yang terkenal, berpindah lagi ke Timur lewat peradaban Arab-Islam, peradaban yang menyatukan iman dan ilmu, materi dan spiritual, lahir dan batin, lalu tenggelam dan melupakan risalahnya.

Barat memegang kendali kepemimpinan dunia. Akan tetapi ia tidak amanah. Bahkan mengalami kebangkrutan norma, melampaui keadilan, memetingkan kekuatan dari kebenaran, materi atas ruhani, benda atas manusia. Merupakan kewajaran bila obor peradaban harus berpindah ke tangan lain.
Kesadaran kita terhadap prinsip mendasar (mabda’ asasi) ini harus melekat dalam totalitas kepribadian kita sebagai sosok muslim, sosok yang memposisikan diri sebagai bagian dari elemen perubah (min ‘anashirit taghyir). Supaya sedikit pun kita tidak melangkah ke jalan lain selain jalan Allah. Tidak sedetik pun kita berfikir untuk memilih alternatif lain selain solusi dari Allah. Kalaupun orang lain tidak tahan, tidak sabar, kurang teguh menapaki tabiat perjalanan dakwah ini, tidak mengurangi stamina fisik dan ma’nawiyah (spirit) kita.

Prinsip Pergiliran Zaman

Arahan Nabi (Taujih Nabawi)

Ditulis oleh Admin hidayatullah.or.id

Prinsip pergantian zaman ini juga selaras dengan prediksi Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam besar dalam bidang hadits Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi dari Abu Hudzaifah, intelijennya Nabi shalla-llahu 'alaihi wa sallam (shahibus sirr) pada 14 abad yang silam.
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
“Adalah (fase kepemimpinan) nubuwah ada pada kalian apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki mengang-katnya.”
Inilah periode awal perjalanan sejarah ummat Islam. Saat itu ummat Islam dipimpin langsung oleh manusia paripurna (insan kamil), pemimpin orang-orang yang bertaqwa (imamul muttaqin), panglima para mujahid (qa-idul mujahidin), yaitu Muhammad shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Mereka langsung dipandu oleh figur teladan (uswatun hasanah) sejak masa kesulitan, kegoncangan (fatrah al-idhthirab) di Mekah sampai jaya di Madinah. Sejak sebelum berfikir tentang perang sampai berkali-kali terjun di medan laga. Sejak sebelum berfikir tentang format kepemimpinan sampai menjadi pemimpin yang disegani di Jazirah Arab. Manusia penunggang onta yang tertata ulang persepsi (tashawwur) dan mata hati (bashirah) mereka tentang Tuhan, alam sekitar dan diri mereka sendiri, terbukti dalam sejarah memiliki kapasitas dan kapabilitas menjadi penghulu dunia (ustad ziyatul ‘alam). Beralalulah masa keemasan itu (‘ashrudz dzahab) selama 23 tahun. Ketika Allah menghendaki, Ia mencabut masa kejayaan itu.

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مَنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُوْنُ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ اللهُ

أَنْ يَرْفَعَهَا

“Kemudian akan ada khilafah di atas manhaj nubuwah itu, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki untuk mengangkatnya.”

Inilah fase kedua perjalanan sejarah ummat Islam. Para ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa periode ini adalah pada masa khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Ada yang berpendapat sampai ke kurun khalifah kelima, Umar bin Abdul Aziz. Masa ini fase khalifah yang lurus, jujur dan adil. Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam melegitimasi masa kedua ini masih dalam koridor minhajin nubuwah (metode kenabian). Artinya periode pertama dan kedua ini adalah masa teladan dan rujukan (referensi) ummat Islam.

مَنْ كَانَ مُتَأَسِّيًا فَلْيَتَأَسَّ بِأَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُمْ أَبَرُّ هَذِهِ اْلأُمَّةِ قُلُوْبًا وَأَعْمَقُهَا عِلْمًا وَأَقَلُّهَا تَكَلُّفًا أَقْوَمُهُمْ هَدْيًا وَأَحْسَنُهُمْ حَالاً قَوْمٌ اخْتَارَهُمُ اللهُ لِصُحْبَةِ دِيْنِهِ فَأَعْرِفُوْا لَهُمْ فَضْلَهُمْ وَاتَّبِعُوْا آثَارَهُمْ فَإِنَّهُمْ كَانُوْا عَلَى اْلهُدَى اْلمُسْتَقِيْمِ (رواه أحمد عن ابن مسعود)

“Barangsiapa hendak menjadikan teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, mereka itulah yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takalluf-nya (sedikit mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan dien-Nya. Karena itu hendaklah kalian mengenal keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutilah jejak mereka, sebab mereka senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.” (HR. Ahmad dari Ibnu Masud).

Ketika belakangan ini usaha penegakan tatanan kehidupan Qur’ani pada level eksekutif dan legislatif disalahartikan, bahkan dikhawatirkan terjadi disintegrasi bangsa, itu adalah sesuatu yang wajar. Karena di belahan dunia manapun belum terwujud prototipe negara yang menegakkan syariat secara formal dan komperhensif.
Jika penerapan tatanan ilahi di kepingan-kepingan bumi yang sempit di era globalisasi saat ini tanpa direstui oleh kekuatan internasional kuffar, maka akan menjadi bulan-bulanan. Sebut saja Iran, Pakistan, Sudan yang berusaha menerapkan syariat Islam, maka akan ditemukan catatan-catatan yang penuh dengan kekurangan dan ketidakberdayaan. Ketika kaum kafir internasional menghadapi kaum muslimin pada skala global, maka penyelesaian masalah kaum muslimin tidak bisa diselesaikan secara lokal.
Tepat sekali sebagaimana yang disinyalir Syekh Hasan al-Banna, bahwa tahapan perjuangan ummat setelah pembebasan negeri dari penjajahan asing (tahrirul wathan) adalah memperbaiki pemerintahan yang ada agar kondusif dalam penegakan tatanan ilahi (ishlahul hukumah). Adapun yang terkait dengan format politik Islam, tatanan resmi yang Islami dalam kehidupan bernegara baru terjadi pada tahapan penegakan Khilafah Islam internasional (iqomatul khilafah al-Islamiyah al-‘alamiyah) nanti.
Mungkin ada yang bertanya dan meragukan statemen diatas. Itu ‘kan terjadi pada 15 abad yang silam, tentu berbeda dengan kondisi kita sekarang ini. Manusia pada masa jahiliyah dahulu dengan zaman jahiliyah sekarang (jahiliyah fil qarnil ‘isyrin) adalah sama. Ketika merasa lapar membutuhkan makan, ketika haus perlu minum dan ketika ingin memenuhi kebutuhan biologis perlu nikah, dll. Zaman bisa berubah, tetapi manusianya pada prinsipnya tidak berubah. Yang berbeda hanya produk materialnya saja.
Manusia sekarang berada di jurang kehancuran. Membutuhkan kehadiran sistem kehidupan yang tidak sekedar menonjolkan daya cipta material, tetapi memiliki daya kendali capaian teknologi. Karena inovasi teknologi sekarang hanyalah pengembangan dari komponen teknologi yang ada. Kepemimpinan yang dirindukan manusia modern adalah yang bisa menawarkan ‘aqidah (iman) dan manhaj (pola kehidupan Islami), meminjam istilah Sayid Quthub dalam muqaddimah karyanya, Ma’alim fith Thariq (Rambu-rambu di Sepanjang Jalan Perjuangan).
Kekayaan mahal ummat inilah yang sekarang tidak diyakini oleh pemiliknya. Maka kita dituntut meyakinkan diri kita dan orang lain akan kebenaran dan orisinalitas ‘aqidah dan manhajul hayah ini. Kita memerlukan sebuah pola kepemimpinan yang menghargai capaian teknologi dan mendayagunakan secara maksimal untuk mewujudkan kehendak-kehendak Allah.

ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُوْنَ مَا شَآءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَآءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

Kemudian akan ada raja yang menggigit, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Dia menghendaki untuk mengangkatnya.”

Fase kehidupan ummat Islam yang ketiga ini dikuasai oleh raja yang menggigit. Ia datang silih berganti dengan sebutan yang berbeda-beda. Yang paling awal adalah Dinasti Umaiyah, kedua Dinasti Abasiyah dan ketiga Dinasti Utsmaniyah yang berakhir pada tahun 1924. Sekitar 13 abad ummat Islam di bawah kekuasaan raja-raja yang menggigit ini (mulkan ‘adhdhan).
Pada masa ini para khalifah disebut raja, karena secara formal menjabat khalifah tetapi pada dataran operasional pola pemerintahannya menerapkan sistem kerajaan. Kepemimpinan bukan dilahirkan oleh syura tetapi diwariskan kepada keluarga dekat kerajaan, anak keturunannya.
Disebut “raja yang menggigit” karena masih menggigit Kitabullah dan Sunnah Rasul, tetapi hampir-hampir lepas. Dan pada akhirnya lepas juga pada tahun 1924 dengan munculnya Dewan Nasional Turki oleh Mustafa Kamal Attaturk (Bapak Bangsa Turki). Namun, para ulama’ yang istiqamah menggelarinya dengan Mustafa Kamal A’da’ut Turk (Musuh Bangsa Turki). Inilah masa keruntuhan dan keterpurukan ummat Islam. Dunia Islam laksana kebun yang penuh tanaman subur dan bunga-bunga yang indah, tetapi tanpa pagar pelindung dan penjaga kebun yang bertanggung jawab.
Kondisi ini sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam, “Kamu sekalian akan dijarah beramai-ramai oleh ummat-ummat manusia seperti halnya santapan yang dikerumuni orang-orang lapar. Karena kamu semuanya ibarat buih, jumlahnya banyak tetapi tidak berkualitas”.
Sebelum tahun 1924, sekalipun kendali kekuasaan dipegang oleh “raja yang menggigit”, tetapi ummat Islam masih memiliki payung dan pusat komando (al-imamah al-‘uzhma) di Turki. Dalam dokumen sejarah dicatat, para penguasa negeri-negeri muslim di seluruh dunia selalu mengadakan korespondensi dengan pusat kekuasaan di Turki. Pada akhir abad ke-20, panglima Fatahilah sepulangnya dari menunaikan ibadah haji, beliau singgah untuk belajar di Akademi Militer di Turki. Sekembalinya ke Nusantara beliau bisa memukul mundur pasukan penjajah Portugis.

Lalu, Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam meneruskan sabdanya :

ُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَرِيًّا فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا

“Kemudian akan ada (pemegang) kekuasaan yang diktator, maka terjadilah apa yang Allah kehendaki terjadi. Kemudian Allah mengangkatnya manakala Allah menghendaki untuk mengangkatnya.”

Masa keempat perjalanan sejarah ummat Islam ini mengalami krisis kepemimpinan. Ummat Islam dari segi kuantitas tergolong besar, tetapi mereka laksana sampah, makna lain dari gutsaa’ (buih), menurut pakar hadits Dr. Daud Rasyid. Mereka bukan berkumpul tetapi berkerumun. Mereka mayoritas, tetapi hati-hati individu mereka tercabik-cabik oleh paham kedaerahan (nasionalisme) yang sempit, madzhab, aliran keagamaan dan kepentingan. Kehadirannya tidak menggenapkan dan kepergian-nya tidak mengganjilkan. Mereka diperebutkan untuk dijadikan mangsa binatang buas.
Pada periode ini, jangankan sepakat untuk mengangkat isu-isu besar penegakan Daulah Islamiyah, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fithri saja tidak menemukan kata sepakat. Di tengah-tengah mereka tidak ada wasit (penengah) yang dipercaya untuk mengambil keputusan yang disepakati oleh semua komponen umat ini. Tubuh ummat Islam tercabik-cabik oleh perpecahan internal. Energi mereka habis untuk ghibah, namimah, hasud, dendam, terhadap kawannya sendiri. Sehingga terlambat dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi di sekelilingnya (dhu’ful istijabah lil mutaghayyirat).
Setelah tahun 1924, dunia memasuki perang dunia I, II dan Perang Dingin antara Blok Timur versus Blok Barat (syarqiyyah wa gharbiyyah). Tetapi, rentetan peristiwa diatas hanyalah muqaddimah tampilnya mulkan jabariyyan (raja diktator) berskala global. Setelah tahun 1990, tidak ada lagi dua kubu di pentas kehidupan global. Yaitu pasca runtuhnya Tembok Berlin di Jerman. Hegemoni raja diktator internasional mulai menampakkan eksistensinya, bermarkas di Gedung Putih (al-bait al-abyadh), dan didukung oleh kroni-kroninya yang tergabung dalam negara G7 : Inggris, Perancis, Jerman, Jepang, Italia, Kanada dan Rusia.
Tidak ada pemimpin yang mangkat (baca: naik ke tampuk kekuasaan) di belahan dunia ini selain dalam hegemoni raja diktator dunia, kecuali yang dirahmati oleh Allah. Mereka yang bersebarangan dengan kemauan penguasa diktator dunia akan berjalan tertatih-tatih. Mereka memiliki tangan-tangan dan kaki-kaki di semua kepingan bumi ini. Bahkan belakangan ini ada upaya sistematis untuk memecah keutuhan bangsa, dengan fenomena Papua dan Aceh. Pihak-pihak yang masih getol mempertahankan keutuhan NKRI disingkirkan oleh orang nomer satu di negeri ini dari panggung kekuasaan.

Prinsip pergantian zaman ini penting diketahui agar kita menyadari di kurun mana kita ini sedang berada. Ternyata kita berada pada titik nadir kelemahan ummat ini. Kita tidak terlalu berharap kemana pun dan kepada siapa pun. Siapa pun yang tampil memegang tampuk kepemimpinan di dunia pasti mendapat SIM (Surat Izin Mangkat) dari hegemoni malikun jabbar. Marilah kita bangun, bangkit, memperbaharui komitmen kita karena kita mengalami masa yang tidak sederhana. Kita bergerak pada kurun yang tidak mudah.
Saatnya kita bangun untuk menyongsong masa terakhir dari perjalanan sejarah ummat Islam yaitu masa khilafah ‘ala manhajin nubuwwah. Karena kita yakin bahwa kepemimpinan raja diktator ada masa akhirnya. Kebatilan, sekalipun dipagari oleh kekuasaan yang kokoh akan segera hilang. Lebih-lebih saat ini mereka mengadakan konspirasi global untuk menghancur-kan pusat syiar-syiar Islam. Sesungguhnya mercusuar Islam (baca: Tanah Suci Makkah) itu adalah milik-Nya. Dia sendiri yang akan menjaganya dari tangan-tangan jahil.

ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ (رواه احمد ابوداود و الترمذي)

“Kemudian akan ada khilafah di atas manhaj nubuwah (metode kenabian).” (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmudzi).
Persoalan yang esensial bagi kita bukan terletak pada kapan terjadinya khilafah atas metode kenabian itu. Sebab, masa itu akan terjadi pada masa kita atau kemungkinan pada zaman keturunan kita. Hadits ini adalah prediksi nubuwwah, bukan ramalan ahli nujum dan para normal. Kita tidak bangkit pun prediksi Nabi itu pun akan terjadi. Kita sekarang perlu mempersiapkan diri sebagai elemen perubah dan pencabut sang diktator dunia. Dengan cara konsisten; istiqamah, mudawamah wal istimrar (berkesinambungan) melaksanakan tahapan amal Islami (maratibul ‘amal Islami) merujuk tahapan turunnya wahyu Al Quran.
Yaitu, memperbaiki akidah (ishlahul ‘aqidah), melaksanaan syariat (tathbiqusy syari’ah), memperbaiki akhlak (ishlahul akhlaq), melaksanakan dakwah dan harakah (‘amalu ad-da’wah wal harakah) serta memperbaiki kualitas jama’ah (binaul jama’ah).
Pada akhirnya kita perlu bangkit untuk mewujudkan agenda-agenda penting dakwah diatas. Agar kita aman dan lulus dari Mahkamah Ilahi kelak. Kita berupaya menyadarkan sebanyak mungkin manusia agar menjadi batu bata dakwah (asy-sya’bu qawaa-idud da’wah). Sekalipun kita tidak sadar, tidak bangun, tidak bergerak, fenomena kebangkitan ummat Islam itu pasti terwujud, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala.
Berita gembira kemenangan Islam
1) Janji Allah kepada orang beriman

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فيِ اْلأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لِهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُوْنَنِيْ لاَ يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَسِقُوْنَ (النور : 55)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS an-Nuur : 55).
Menurut Ibnu Katsir, ini adalah janji Allah pada Rasul-Nya shalla-llahu 'alaihi wa sallam, bahwa Allah akan menjadikan ummatnya para pemimpin bumi, atau pemimpin dan penguasa mereka. Dengan mereka negara akan menjadi aman, dan manusia tunduk kepada mereka. Dan Allah akan menggantikan ketakutan mereka menjadi perasaan damai. Terbukti ketika Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam masih hidup, Allah telah membebaskan Makkah, Khaibar, Bahrain, seluruh Jazirah Arab, seluruh Yaman, memungut upeti dari Majusi Hajara, dan dari beberapa daerah Syam, Heraclius raja Romawi memberikan hadiah, demikian juga Muqauqis penguasa Mesir dan Iskandariah, raja-raja Oman, dan Najasyi (Negus) raja Abbyssinia (yang nantinya dikuasai oleh sahabat-sahabat Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam).
Kemudian usaha mulia itu diteruskan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Ia menjadikan jazirah Arab sebagai pusat kekuatan Islam. Kemudian mengirim tentaranya ke Parsi di bawah kepemimpinan Khalid bin Walid radhiyallahu ‘anhu, dan mampu membebaskan daerah itu. Kemudian mengirim tentara kedua, di bawah komando Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiyallahu ‘anhu menuju Syam, dan ketiga dibawah komando ‘Amru bin ‘Ash radhiyallhu ‘anhu menuju Mesir. Pada masa itu, Syam, Bashrah, dan lain-lain dibebaskan.
Kemudian disempurnakan oleh khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Tiada dalam sejarah setelah Nabi-nabi, orang yang sepadan dalam kekuatan sirahnya dan keadilannya dengan al-Faruq ini. Pada zaman ini seluruh Syam, Mesir, sebagian Parsi dibebaskan. Kishra dihinakan, kekuasaan Caesar di negeri Syam direbut. Kemudian ia menginfakkan harta Kishra dan Caesar untuk sabilillah. Hal ini sesuai dengan janji Allah kepada Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam.
Pada zaman Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu kekuasaan Islam telah sampai ke penjuru timur dan barat dunia. Negeri-negeri Maghrib dapat dibebaskan hingga Cina. Kishra terbunuh dan kerajaannya habis riwayatnya. Kota-kota Irak, Khurasan dan Ahwaz dapat ditundukkan, sehingga kharaj (pajak tanah) dari penjuru timur dan barat dikumpulkan ke hadapan khalifah Utsman. Berkat bacaannya, kajian dan menyatukan ummat untuk memelihara al-Quran. Dalam hadits shahih, Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ زَوَى لِيْ اْلأَرْضَ فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارَبَهَا وَسَيَبْلُغُ مُلْكَ أُمَّتِيْ مَا زَوَى لِيْ مِنْهَا

“Allah telah memperlihatkan kepadaku bagian timur dan barat bumi, dan kekuasaan umatku akan mencakup seluruh wilayah yang aku lihat ini.”

2) Allah akan mendatangkan kaum yang Dia cintai
Berita gembira disebutkan dalam surat al-Maidah, mengancam orang-orang murtad yang keluar dari agama. Mereka tidak akan mengganggu agama Allah, dan agama Allah tidak akan runtuh dengan kemurtadan mereka. Allah akan mendatangkan generasi mukmin yang kuat, yang membasmi kekafiran. Mereka menegakkan agama dalam jiwa mereka sebagai ikatan yang kuat – bahkan ikatan cinta – antara mereka dengan Tuhan mereka, ikatan kasih sayang sesama saudara seiman, ikatan kemuliaan dan kekuatan terhadap orang-orang kafir, dan ikatan perjuangan dan jihad terhadap orang yang berbuat munkar. Semua ini adalah sifat-sifat pokok yang dijelaskan dalam al-Quran untuk memberikan kabar gembira kepada orang-orang beriman, dan mengancam orang-orang murtad.

يَآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتيِ اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى اْلمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ (المائدة : 54)

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa diantara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang yang beriman, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela” (QS Al Maidah : 54).
Ibnu Katsir berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan akan tibanya kekuasaan yang besar. Barangsiapa yang tidak mau menolong agama Allah dan menjalankan syariat-Nya, maka Dia akan menggantikan mereka dengan orang-orang yang lebih baik dari mereka, lebih kuat, lebih lurus, teguh pendirian”.

وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لاَ يَكُوْنُوْا أَمْثَالُكُمْ (محمد : 38)

“Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu (ini).” (QS Muhammad : 38).

إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِأَخَرِيْنَ (النساء : 133)

Jika Allah menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu).” (QS an-Nisa’ : 133).

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللهَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ بِالْحَقِّ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍ (إبراهيم : 19-20)

Jika Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan menggantikanmu dengan makhluq yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sukar bagi Allah.” (QS Ibrahim : 19-20).
Ketika menafsirkan ayat,

يُجَاهِدُوْنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

Mereka berjihad di jalan Allah dan mereka tidak takut celaan orang yang suka mencela.”
Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya ketaatan kepada Allah, pelaksanaan hudud, memerangi musuh Allah, dan amar ma’ruf nahi munkar, tidak terpengaruh dan terhalangi oleh siapapun. Mereka tidak gulana atas kecaman yang mereka dapatkan dari orang-orang yang bodoh.”
Ibnu Katsir menyebutkan hadits dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, yang diriwayatkan Imam Ahmad, “Kekasihku – Rasulullah – menyuruhku untuk menjalankan tujuh hal.” Kemudian beliau menyebutkan antara lain, “Rasulullah menyuruhku mengatakan kebenaran meskipun itu pahit, dan menyuruhku agar tidak takut terhadap cercaan orang yang mencerca.”

3) Kabar gembira dari Sunnah Nabi

لَيَبْلُغَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ مَا بَلَغَ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ لاَ يَتْرُكُ اللهُ بَيْتَ مَدْرٍ وَلاَ وَبَرٍ إِلاَّ أَدْخَلَهُ هَذَا الدِّيْنَ بِعِزِّ عَزِيْزٍ أَوْ بِذُلِّ ذَلِيْلٍ عِزًّا يُعِزُّ اللهُ بِهِ اْلإِسْلاَمَ وَذُلاًّ يُذِلُّ اللهُ بِهِ الْكُفْرَ (رواه أحمد فى مسنده)

Islam akan mencapai wilayah yang dicapai siang dan malam. Allah tidak akan membiarkan rumah yang mewah maupun yang sederhana kecuali akan memasukkan agama ini ke dalamnya. Dengan memuliakan oarng yang mulia atau menghinakan orang yang hina. Mulia karena dimuliakan Allah disebabkan keIslamannya dan hina karena dihinakan Allah disebabkan kekafirannya.” (HR. Ahmad dalam Musnad).
Maksud sampainya Islam ke daerah yang disentuh siang dan malam, yaitu tersebarnya Islam ke seluruh permukaan bumi, sebagaimana siang dan malam menutupinya, dan masuknya agama ini ke daerah perkotaan maupun pedesaan.

هُوَ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْكَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ (التوبة : 33)

“Dia lah (Allah) yang mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Quran) dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya diatas segala agama.” (QS at-Taubah : 33).
Pengertian lafazh “liyuzh-hirahu ‘alad-diini kullihi” ialah dominasinya atas semua agama. Pada abad-abad pertama, Islam mengungguli Yahudi, Nasrani, paganisme Arab, Majusi Persia, dan sebagian agama-agama Asia-Afrika. Akan tetapi, Islam belum menang atas semua agama. Kita masih menunggu berita gembira ini, dan Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Dan masih banyak lagi berita gembira meluasnya kemakmuran, kembalinya khilafah atas manhaj nubuwwah, bertahannya kelompok kebenaran, datangnya pembaharu setiap abad, turunnya al-Masih, datangnya al-Mahdi, kemudian fenomena kebangkitan kesadaran beragama di kawasan-kawasan yang selama ini menjadi pusat kekufuran, dan populasi ummat Islam yang semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat pada jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun yang terus bertambah, berasal dari daerah yang selama ini tidak mengenal Islam, dsb.

Sumber daya manusia (al-wasa’il ghairul maddiyah ‘indal muslimin)

Saat ini jumlah ummat Islam di dunia berkisar 1/4 milyar penduduk. Tersebar di lima benua. Benar, pandangan orang yang mengatakan, yang lebih penting adalah kualitas. Tetapi kuantitas memiliki kepentingannya sendiri, sampai mencapai jumlah dimana musuh kesulitan menghancurkannya.
Sesungguhnya jumlah yang besar adalah nikmat. Ia adalah syarat mutlak terhadap semua prestasi ekonomi atau peradaban. Apabila jumlah jamaah shalat fardhu sepadan dengan jumlah shalat Jum’ah adalah diantara tanda-tanda kebangkitan ummat. Meskipun gelombang politik Islam bersifat fluktuatif, tetapi jumlah penduduknya – secara global – tidak pernah berkurang. Islam ibarat air, senantiasa mencari tempat yang rendah untuk mengalir.
Bangsa-bangsa di dunia berusaha keras mengurangi populasi kaum muslimin. Mereka membuat blok-blok (persekutuan) di antara mereka, walaupun terdapat perbedaan yang tajam dalam ras, bahasa, agama dan sejarah. Jumlah yang besar adalah anugerah yang patut disyukuri.

وَاذْكُرُوْا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيْلاً فَكَثَّرَكُمْ (الأعراف : 86)

Dan ingatlah ketika kalian sedikit lalu Allah membanyakkan (jumlah) kalian.” (QS al-A’raf : 86).

Sumber daya alam (al-wasa’il al-maddiyah ‘indal muslimin)

Kita memiliki barang tambang dan kekayaan sumber daya alam yang terpendam di perut bumi dan di dasar lautan. Ini adalah kekuatan ekonomi. Sesuatu yang tidak dimiliki ummat lain. Tanah kita subur dengan daratan rendah dan oase-oase. Kita memiliki bukit-bukit, gunung-gunung, lautan, teluk, sungai-sungai besar, sumber-sumber mata air, sumur-sumur, cadangan penyimpanan air tanah dan tambang-tambang yang penting yang dibutuhkan oleh dunia. Kita memiliki cadangan minyak terbesar di dunia. Sumber-sumber kekayaan alam itu berada di kawasan Teluk, Aljazair, Brunei Darussalam, Indonesia, bahkan di wilayah-wilayah muslim bekas Uni Soviet dan yang masuk ke dalam RRC, ditemukan sumber-sumber minyak.
Letak geografis kita memiliki nilai penting. Tempat pertemuan benua-benua, sumber-sumber peradaban dan tempat lahirnya risalah-risalah langit; Yahudi, Nasrani dan Islam. Memang Allah subhanahu wa ta’ala telah menyediakan energi material dan immaterial untuk membantu kaum muslimin, membangun dan memanfaatkan untuk menegakkan agama-Nya, sekaligus memadamkan berbagai pemberontakan terhadap Islam di berbagai penjuru dunia.

Warisan sejarah (khubratun min at-tarikh)

Islam pada masa lampau telah berjaya memegang kendali peradaban lebih dari tujuh abad. Belum pernah ada satu agama maupun ideologi yang mampu mengembangkan peradabannya melebihi Islam. Peradaban Barat pun hari ini baru berumur kurang lebih 450 tahun. Itupun telah terjadi krisis akhlak dan material. Jika kaum muslimin pada masa lampau mampu menguasai peradaban, tentu bisa juga untuk mengendalikan masa depan, bi-idznillah.

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa