Masjidil Haram

Masjidil Haram

Sabtu, 18 Oktober 2008

Arahan Pembaharu (Taujih Al-Mujaddid)

Akar krisis ummat Islam (al-asbab ar-ra’isi li azmaat al-muslimin)

Ditulis oleh Admin hidayatullah.or.id

Berbagai krisis yang menimpa kaum muslim sekarang ini merupakan akumulasi dari berbagai krisis sebelumnya, yang dimulai sejak format ketatanegaraan berbentuk khilafah (Islami) berubah menjadi format muluk (kerajaan, jahili). Al-Quran menjelaskan secara global bahwa krisis multidimensi itu terjadi karena berpaling dari ketentuan Allah. Makna ayat ini, barangsiapa yang berpaling dari syariat dan hukum-hukum Allah maka akan menemui kehidupan yang serba-sulit (ma’isyatan dhonkaa) di dunia, sangat menderita, sekalipun secara lahiriyah sejahtera.

Berkata Ibnu Katsir, “Barangsiapa berpaling dari ketetapan Allah dan melupakannya, maka baginya kehidupan yang sempit di dunia (ma’isyatan dhonkaa), tiada ketenangan maupun kelapangan dada, bahkan merasakan kesempitan hidup disebabkan kesesatannya sekalipun secara lahiriyah makmur, bisa berpakaian, makan, bertempat tinggal sesuka hatinya. Tetapi jiwanya goncang, bingung dan diliputi keragu-raguan. Ada yang berpendapat disempitkan liang lahatnya nanti sehingga tulang rusuknya berselisih.

Dalam hadits riwayat Imam ath-Thabrani dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa penyebab terjadinya berbagai krisis, adalah diawali oleh krisis kepribadian (basic of knowing) dengan mudah mengobral janji, krisis keimanan dengan menolak ber-tahkim dengan hukum Allah, krisis moral ditandai dengan merajalelanya praktek perzinaan, perkosaan, pergaulan bebas, pornografi, praktek aborsi, dan gaya hidup materialistik yang berindikasi dengan mental hedonistik, meghalalkan segala cara ketika memperoleh kekayaan serta keengganan untuk berzakat. Kemudian Allah menurunkan musibah penguasa yang zhalim, harga-harga kebutuhan pokok membumbung tinggi, musibah kemiskinan struktural, penyakit AIDS mewabah, manusia menjadi individualis, terjadi bencana alam di mana-mana.
Para pembaharu mengidentifikasi penyebab krisis integritas ummat tersebut, diawali dari kesempitan batin (azmat al-masya’ir), kemudian melahirkan kesempitan dalam berbagai bidang kehidupan; kemudian menawarkan alternatif-alternatif pemecahannya secara fundamental dan menyeluruh.

Pertama, krisis perasaan terhadap keagungan Islam (azmat al-masya’ir ‘an ‘azhamatil Islam).
Ummat Islam sekarang tidak meyakini secara bulat (100%) bahwa Islam adalah solusi mendasar dalam mengantisipasi persoalan individu, keluarga dan masyarakat. Berbagai bentuk penyelesaian yang ditawarkan oleh syariat sekalipun baru pada tataran wacana cenderung disalahpahami. Mereka masih ragu bahwa Islam adalah ketetapan dari Allah Yang Maha ‘Alim yang bisa mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik. Yakni yang memberi gairah dan arti hidup, yakni seruan kepada iman yang bisa menghidupkan jiwa. Imam Qatadah mengatakan, yaitu ajakan kepada al-Quran yang mengadung kehidupan, kejujuran, keselamatan, kesucian di dunia dan akhirat dan menjamin kebahagiaan hidup di akhirat.
Dalam berinteraksi dengan Islam, ummat Islam lebih mendahulukan akal daripada hati. Karena merasa memiliki keunggulan lebih daripada Allah. Persis sikap Iblis ketika memperoleh perintah dari Allah untuk memberi hormat kepada Adam, ia berargumen bahwa perintah Allah tersebut tidak logis, tekstual (literal) dan normatif. Dia enggan mentaati-Nya, seraya menyombongkan diri dengan cara membanggakan asal-usul. Pasca suksesi di surga, syetan memohon izin kepada Allah untuk menggoda anak cucu Adam dari arah belakang, muka, kanan dan kiri, sehingga manusia menjadi makhluk yang tidak pandai bersyukur.
Imam ath-Thabari ketika menafsirkan ayat ini menerangkan bahwa godaan “dari muka” adalah godaan tentang persepsi dunia, agar manusia menjadi serakah, mencari dunia dengan menghalalkan segala cara, akhirnya menjadi hamba materi bukan hamba Allah. Godaan “dari belakang” adalah godaan tentang kehidupan akhirat, agar melupakannya. Godaan “dari sebelah kanan” adalah godaan terhadap kebenaran, agar manusia ragu-ragu kepadanya. Godaan “dari arah kiri” berupa godaan kebatilan agar manusia cenderung kepadanya; kecuali hamba-Nya yang masih ikhlas, hanya berorientasi ke bawah (sujud) dan atas (Allah). Arah “bawah” dan “atas” ini tidak bisa dimasuki oleh syetan. Kemudian Nabi shalla-llahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan doa untuk menghadapi dua godaan terakhir.

Kedua, krisis kebanggaan dalam ber-Islam (‘azmatu al-i'tizaz bid-diin).
Di tengah keberagaman simbol, aliran pemikiran dan isme di era globalisasi saat ini, ditambah dengan semakin gencarnya peperangan pemikiran (al-ghazwu al-fikri), telah terjadi tasykik (proses peraguan), taghrib (pembaratan), tajhil (pembodohan) pada diri muslim terhadap dien-nya sendiri. Pemakaian kalimat ‘ghazw’ disini menunjukkan salah satu pihak yang aktif, lainnya pasif. Al-ghazw al-fikri, peperangan pemikiran, ditandai dengan gencarnya serangan dari luar tanpa perimbangan perlawanan dari dalam kaum muslimin. Sedang kalimat ‘harb’ bermakna kedua belah pihak yang bertikai sama-sama aktif bergerak.
Jatidiri Islami yang telah mengakar dalam jiwa kaum muslimin mengalami degradasi. Misalnya di Indonesia saja kosa kata sirri (Makassar) dari kata sarirah (jati diri), carok (Madura) dari kata ghirah (cemburu), yang semula inhern dengan simbol ke-Islaman berangsur-angsur hilang, bahkan kemudian cenderung mengalami pembelokan makna.
Dahulu, kaum muslimin Indonesia rela kehilangan nyawa, dan merasa bangga karena membela kehormatan diri (‘iffah) sekali pun beresiko, sekarang dihinggapi penyakit dayatsah, banci – meminjam sabda Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam – yaitu, seseorang yang mendiamkan kemunkaran yang dilakukan oleh keluarganya dengan orang lain. Kaum muslimin sedang dijangkiti virus wahn (cinta dunia dan takut menghadapi kematian).
Mereka kurang percaya diri, malu menunjukkan bahwa kemuliaan adalah milik Allah, Nabi-Nya dan orang beriman. Mereka tenggelam, terpesona dengan kebesaran negeri-negeri Eropa dengan paham materialismenya. Mereka lupa bahwa kaum muslimin lebih unggul dalam persepsi, budaya, adat istiadat, nilai-nilai di hadapan Allah dari bangsa lain.
Sejarah mencatat bahwa dunia ini didominasi oleh mereka yang memiliki keyakinan. Paham materialisme begitu cepat berkembang, karena pembawa ideologi itu yakin akan keistimewaannya, dan harapan akan jaminan masa depan. Kini, baru terbukti perkembangan sains dan teknologi yang merupakan produk paham kebendaan gagal dalam membawa manusia modern menuju hidup bahagia. Tanpa keyakinan dan kebanggaan, muslim modern (al-muslim al-mu’ashir) akan lemah dalam mempengaruhi dirinya apalagi merespon tantangan eksternal.

اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

“Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami al haq itu yang benar dan karuniakanlah kepada kami (kekuatan) untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan itu kebatilan, dan berilah (kekuatan) kepada kami untuk menjauhinya”
Persepsi ummat Islam terhadap Islam telah terkontaminasi oleh paham feodalisme pada abad pertengahan dengan menampilkan kesombongan; kapitalisme yang melahirkan keserakahan; dan sosialisme yang membuahkan kedengkian.

إِيَّاكُمْ وَالْكِبْرَ فَإِنَّ إِبْلِيْسَ حَمَلَهُ الْكِبْرُ أَلاَّ يَسْجُدَ ِلآدَمَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحِرْصَ فَإِنَّ آدَمَ حَمَلَهُ الْحِرْصُ عَلَى أَنْ آكَلَ الشَجَرَةَ وَإِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ ابْنَيَ آدَمَ قَتَلَ أَحَدُهُمَا اْلآخَرَ حَسَدًا هُنَّ أَصْلُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ (رواه ابن عساكر عن ابن مسعود رضي الله عنه)

“Waspada dan jauhi al-kibr (sombong), karena sesungguhnya Iblis terbawa sifat al-kibr sehingga menolak perintah Allah subhanahu wa ta’ala agar bersujud (menghormati) kepada Adam ‘alaihis salam. Waspada dan jauhi al-hirsh (serakah), karena sesungguhnya Adam ‘alaihis salam terbawa sifat al-hirsh sehingga makan dari pohon yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Waspada serta jauhi al-hasad (dengki), karena sesungguhnya kedua putra Adam ‘alaihis salam salah seorang dari keduanya membunuh saudaranya hanya karena al-hasad. Ketiga sifat tercela itulah asal segala kesalahan (di dunia ini).” (HR Ibnu Asakir dari Ibnu Masud, dalam Mukhtaru al-Ahadits).
Sangat kontradiktif dengan sikap para salafus shalih, ketika berinteraksi dengan firman Allah maka sikap yang menonjol adalah tashdiq (membenarkan) dan taslim (berserah diri), kepatuhan (submission), ketaatan (obedience).
Mereka memahami bahwa Islam adalah manhaj al-hayat, acuan dan kerangka tata kehidupan. Mencakup kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bernegara dan hubungan intenasional. Islam tidak sekedar landasan etis, tetapi ajaran yang aplikatif dalam berbagai aspek kehidupan. Islam bukan ajaran yang teoritis yang memadati pikiran, tidak mengajarkan hal-hal yang tak bisa dicapai manusia, tapi menerima manusia sebagaimana adanya dan mendorongnya untuk mencapai sesuatu yang bisa digapai.
Mereka laksana prajurit yang menerima perintah dan tugas harian dari panglimanya. Tidak ada sikap yang didahulukan kecuali sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami siap mematuhinya).
Dalam menyikapi ayat-ayat yang mutasyabihat (belum jelas maknanya) saja mereka menyerahkan penafsirannya kepada Allah, apalagi berinteraksi dengan ayat-ayat yang muhkamat (jelas maknanya). Hal ini sangat bertolak belakang dengan paradigma berfikir yang dikembangkan oleh kalangan tertentu, dimana ayat yang muhkamat saja perlu ditafsirkan supaya lebih kontekstual, lebih-lebih yang mutasyabihat.

Ketiga, kehilangan harapan akan datangnya pertolongan Allah (‘adamu al-amal bi-ta’yidillah).
Seringkali kaum muslimin dalam memecahkan persoalan lebih mengedepankan pendekatan pada aspek organisasi, planning, management, efficiency, dan teknologi modern. Semua itu baik, tetapi lupa bahwa di balik rekayasa manusia ada kekuatan transenden yang mendominasi kehidupan ini, yaitu intervensi Tuhan (tadakhul rabbani), manajemen Ilahi.
Ketika terjadi Perang Badar antara muslim dan kafir, kekuatan material dua pasukan yang saling berkonfrontasi itu tidak sepadan. Kaum muslimin dalam posisi lemah, terdiri dari kalangan masyarakat akar rumput, lapar (berpuasa Ramadhan), peralatan perang seadanya. Semula kaum muslimin hanya ingin mengambil kembali hak-haknya yang dirampas oleh orang kafir, setelah pulang dari kafilah dagang. Tetapi Abu Sufyan memilih jalan lain menuju ke Makkah dan memprovokasi kabilah Quraisy untuk berperang melawan kaum muslimin. Dengan kelebihan yang melekat pada dari tokoh kafir Makah itu, yakni orator (pandai berceramah tanpa teks, khuthbah murtajalah), semua elemen masyarakat Quraisy, tersulut amarahnya kepada komunitas Islam yang sedang dirintis oleh Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam. Dalam waktu singkat bisa terkumpul pasukan 4 kali lipat dari jumlah pasukan Islam.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam sendiri sempat mengkhawatirkan keberlangsungan eksistensi mereka, umat beliau, seperti terlukis dalam doa yang beliau panjatkan:

اَللَّهُمَّ انْجُزْ لِيْ مَا دَعَوْتُهُ اَللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ فَلَنْ تُعْبَدْ فيِ اْلأَرْضِ بَعْدَ الْيَوْم

“Ya Allah, kabulkanlah doaku. Ya Allah sekiranya pasukan ini hancur terkalahkan, niscaya Engkau tidak akan disembah lagi di muka bumi setelah hari ini”.
Rasulullah shalla-llahu ‘alaihi wa sallam terus berdoa hingga selendangnya terjatuh dari pundaknya, hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata kepada beliau, “Demi Allah, wahai Rasulullah, Allah pasti akan menolong dan mengabulkan doa Anda”. Allah subhanahu wa ta’ala pun berkenan menolong kaum muslimin dengan kemenangan yang sangat gemilang.
Berbeda jauh saat kaum muslimin berperang pada Perang Hunain. Ketika itu mereka membanggakan SDM unggul dan peralatan perang. Karena peperangan dikomando langsung oleh Rasulullah shalla-llahu 'alaihi wa sallam diikuti oleh para Sahabat senior. Begitu kepercayaan diri tertanam secara berlebihan, hampir saja kaum muslimin mengalami kekalahan telak. Kebanggaan material terbukti tidak berhasil menolong dari kepungan musuh dan merapatkan barisan kaum muslim.
Thalut dan ummatnya yang hanya minum seteguk air, sekedar untuk melepas dahaga, terbukti memiliki kekuatan mental untuk melanjutkan peperangan, dan dengan izin-Nya, Jalut dan pasukannya berhasil dipukul mundur. Sedangkan prajuritnya yang minum air sungai secara berlebihan hingga kekenyangan, ternyata tidak memiliki kesanggupan untuk berperang.
Demikian pula kekalahan yang sama dialami ummat Islam pada Perang Uhud, ketika pasukan pemanah tidak disiplin karena terpesona dengan kekayaan dunia.

أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيْبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ (آل عمران : 165)

“Dan mengapa ketika kamu ditimpa (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kamu berkata, ‘Dari mana datangnya (kekalahan) ini?’ Katakanlah, ‘Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri’.” (QS Ali Imran : 165).

Sumber : http://hidayatullah.or.id

Tidak ada komentar:

Masjid Nabawi

Masjid Nabawi

Masjidil Aqsa

Masjidil Aqsa